Fatia Maulidiyanti: Joget Gemoy? No! Anak Muda Butuh Politik Gaya Baru

Dikriminalisasi Luhut Binsar Pandjaitan, Fatia Maulidiyanti akan menjalani sidang putusan pada 8 Januari 2024 mendatang. Dengan Pemilu 2024 sudah di depan mata, menurut Fatia, anak muda tidak butuh kampanye model 'kekinian' (meski malah 'cringe'). Mereka butuh akses sejarah dan pendidikan politik yang mumpuni.

Konde.co menyajikan Edisi Khusus Akhir Tahun soal refleksi perempuan muda yang  berjudul: Ini Tahun Politik, Girls, Refleksi Perempuan Muda di Akhir Tahun 2023. Edisi ini bisa dibaca 28 Desember 2023- 1 Januari 2024

Pertama kali mendengar nama Fatia Maulidiyanti, adalah ketika Ia menjadi Direktur Kontras. Ia jadi salah satu perempuan muda pembela HAM.

November 2023 lalu gak disangka, aku melihat Fatia duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. 

Fatia tengah menunggu jaksa menjatuhkan tuntutan terhadap dirinya. Ia yang sebelumnya adalah Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), bersama aktivis Haris Azhar, dituduh mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, lewat sebuah video podcast yang disiarkan di YouTube.

Dalam video tersebut, Fatia dan Haris membahas hasil penelitian yang dilakukan oleh 9 organisasi masyarakat sipil mengenai aspek ekonomi dan politik di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua. Akibat obrolan tersebut dan penggunaan kata ‘Lord’ yang merujuk pada Luhut, Fatia dan Haris dikriminalisasi.

Baca Juga: Kita Mau Dibikin Takut Bersuara, Tuntutan Fatia-Haris Jadi Alarm Bahaya Demokrasi

Sebulan telah berlalu sejak pembacaan tuntutan pada Jumat (15/12/2023), kini Fatia Maulidiyanti duduk di hadapanku. Ia baru saja memberikan orasi di acara peluncuran Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Jakarta 2023 ‘Jalan Asa Demokrasi di Negara Oligarki’ di kantor LBH Jakarta, Menteng. 

Fatia dan Haris juga menerima Penghargaan LBH Jakarta sebagai penghormatan dan dukungan bagi komunitas, klien, paralegal, dan penyintas yang gigih memperjuangkan Hak Asasi Manusia, selain itu juga menerima penghargaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di tahun ini.

“Juga untuk advokasi terkait soal pelanggaran HAM berat, terutama,” kata Fatia saat ditemui Konde.co di LBH Jakarta, Jumat (15/12/2023). Juga beberapa kegiatan-kegiatan lain dalam rangka advokasi dan kampanye hak asasi manusia.

Fatia Maulidiyanti saat ditemui Konde.co di LBH Jakarta (Dok. Salsabila/Konde.co)

Bakal Hadapi Vonis 8 Januari 2024

Sudah dua tahun berlalu sejak Fatia menghadapi gugatan Luhut di pengadilan bersama Haris. “Tanggal 8 Januari (akan sidang) putusan,” kata Fatia.

Pada tahun 2021, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar membahas riset dari sejumlah organisasi dalam sebuah siaran di YouTube. Riset tersebut mencoba membuktikan hubungan antara operasi militer di Kabupaten Wabu, Papua Barat, dengan upaya penguasaan lokasi bekas tambang emas milik PT. Freeport Indonesia.

Namun, hal itu malah berujung pada gugatan Luhut Binsar Pandjaitan terhadap Fatia dan Haris. Pasalnya, namanya muncul dalam pembahasan mereka berdua sebagai Purnawirawan TNI  yang kini menjabat sebagai komisaris PT. Toba Sejahtera Group, sekaligus menjabat sebagai Menko Marves di era pemerintahan Jokowi.

Fatia dan Haris dijerat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Mereka dituduh mencemarkan nama baik Luhut. Hingga saat ini, sidang atas kasus tersebut masih berlanjut.

Di tengah huru-hara perjuangan melawan kriminalisasi yang dialaminya, Fatia juga bertemu banyak orang muda dari berbagai daerah. Mereka saling bertukar pikiran terkait situasi politik terkini.

Demokrasi Indonesia Berjalan Mundur

Lantas, bagaimana Fatia melihat situasi politik Indonesia selama paling tidak setahun terakhir?

Baginya melihat konteks politik tidak bisa hanya dari satu tahun ke belakang. Segala carut-marut dan kemunduran demokrasi Indonesia justru sudah terjadi selama bertahun-tahun.

“Sebenarnya kebebasan sipil yang semakin menyempit dan pembuatan kebijakan yang tidak mengedepankan minimal participation. Lalu juga agenda pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat dan lain sebagainya. Itu sudah terjadi selama kepemimpinan Jokowi, selama sembilan tahun ini,” tegas Fatia.

Puncaknya adalah ketika Mahkamah Konstitusi membuat putusan terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden yang mencederai konstitusi. Menurutnya, situasi tersebut akhirnya membuat publik menyadari betapa bobroknya demokrasi Indonesia.

“Sekarang kan, bisa dibilang (tahun) 2014, 2019, 2024… Makin ke sini, konteks oligarkinya itu semakin kuat,” lanjut Fatia. “Bahwa kita melihat ada tiga pasangan calon. Tapi kita enggak bisa cuma melihat si calonnya doang sebagai individu, tapi kita juga harus bisa melihat: siapa sih, pihak-pihak yang ada di belakang mereka? Partai-partai apa aja? Gitu.”

Bagi Fatia, di tahun politik, semuanya adalah panggung. Di panggung itu tampil demokrasi yang seakan baik-baik saja, padahal rusak di baliknya.

“Pada akhirnya, kita tidak sadar bahwa kita tidak punya oposisi di dalam partai politik,” ujarnya. “Dan yang menjadi satu-satunya oposisi yang paling real adalah di tangan masyarakat.”

Anak Muda Butuh Pengetahuan Politik, Bukan Politik ‘Gemoy

Saat ini, anak muda bisa mendapatkan berbagai informasi dengan mudah di internet dan media sosial. Termasuk informasi mengenai isu politik dan Pemilu di Indonesia. Namun tetap saja, algoritma media sosial bergerak sendiri, melihat hanya hal-hal yang pengguna sukai. Akhirnya algoritma membentuk pengguna untuk mengikuti informasi apa pun yang muncul di linimasanya.

Fatia menyayangkan hal tersebut. Dalam konteks politik dan anak muda, menurutnya, algoritma kerap membuat persepsi penggunanya—tidak terkecuali orang muda—terbatas dalam melihat isu politik.

Selama tiga putaran Pemilu terakhir, embel-embel ‘anak muda’ selalu dijadikan sasaran hukum untuk mendulang suara. Memang, sebagai pemilih dengan jumlah terbanyak, suara anak muda sangat menentukan arah bangsa ini. Tapi ada yang luput diberikan kepada generasi muda, yaitu sejarah dan pendidikan politik yang mumpuni.

Lekatnya anak muda dengan media sosial membuat mereka kerap ‘ditarik-tarik’ ke dalam konsepsi politik yang sempit. Politik di benak generasi muda tak jarang berhenti semata-mata pada politik praktis, partai politik, dan kewajiban mencoblos. Padahal peran orang muda bisa lebih daripada itu.

“Justru ketika kita bersikap untuk mengkritik terkait sistem politik itu sendiri aja, itu juga udah berpolitik, sebenarnya,” tukas Fatia. “Nah, itu yang menurut saya sesat. Karena anak muda hari ini sengaja dibikin enggak paham soal, apa sih sebenarnya berpolitik itu? Karena seakan-akan berpolitik itu hanya ketika mau pemilu, terus udah.”

“Padahal demokrasi, politik, keadilan itu tuh enggak hanya melulu soal bilik suara. Tapi gimana anak muda ini juga sebetulnya mestinya dilihatin soal sejarah yang riil. Mereka juga dihadirkan soal paradigma politiknya seperti apa, supaya mereka juga bisa menentukan pilihan.”

Baca Juga: Gimana Nasib Perempuan di Pemilu 2024? Kita Hanya Lihat Barisan Bapak-bapak Politisi sampai Politik Dinasti

Alih-alih, yang ditampilkan di media sosial hanya jargon-jargon politik ‘pop’. Kalau tidak, gaya kampanye yang ‘memaksa’ masuk ke selera ‘kekinian’ anak muda. Fatia berpendapat, itu sama saja seperti merendahkan keingintahuan anak muda soal politik. Seakan-akan generasi muda sedangkal itu pemahamannya mengenai partisipasi politik. 

“Untuk mereka bisa mau terjun ataupun mau terlibat dalam politik, ya, enggak dengan lo joget-joget. Enggak dengan lo pakai baju yang warnanya, misalkan, terang dan lain-lain. Atau dengan penampilan dan lain sebagainya,” kata Fatia. “Atau dengan jargon ‘partai muda’, ‘politik santuy’ dan segala macam. Itu omong kosong. Lo enggak memberikan gagasan politik apapun untuk bisa menarik anak muda. Karena apa? Karena mereka dipilih dengan cara-cara yang tua, dengan cara-cara yang otoriter.”

Ditambah lagi, ketika ada anak muda yang menempati posisi politik yang strategis, ia dipilih secara tidak demokratis. Atau hanya dijadikan pelengkap inklusivitas tanpa diberi ruang dan posisi yang leluasa dan demokratis. Sehingga, mereka malah tidak dapat mengkritik karena terjerat oleh feodalisme sistem politik.

“Pada akhirnya, kemiskinan pemikiran akan paradigma politik itu menjadi struktural dan kultural,” Fatia menuturkan. “Karena memang anak muda tidak pernah dilibatkan ataupun dibuat tahu gitu soal ‘apa itu politik?’ Yang pada akhirnya, seakan-akan dengan calon-calon presiden, wapres, atau caleg dengan senyum manis aja kira-kira udah bisa kita, ‘Ah, iya nih, yang ini’, gitu.”

“Padahal kan, ya, masa lu milih orang cuma gara-gara giginya putih?” Ia berkelakar. “Kan, enggak mungkin juga gitu. Ya apa gagasan politiknya dia?”

Harapan Indonesia Ada di Tangan Kita

Fatia menegaskan, banyak anak muda—terutama gen Z—tidak terpapar momen-momen penting sebelum Reformasi, secara langsung maupun tidak langsung. Ini membuat ‘rentang sejarah’ atau ‘history gap’ hadir dan membuat generasi muda tidak tahu ‘dosa-dosa’ para calon pemimpin negara. Di sisi lain, Reformasi dan momen perubahan lainnya di Indonesia kebanyakan dimotori oleh orang-orang muda pada saat itu—meski sebagian di antaranya justru berakhir mengekori sosok yang mencederai demokrasi.

“Akhirnya mereka menjadi kayak mendukung atau berkontribusi atas penghapusan dosa-dosa negara di masa otoritarianisme,” tanggap Fatia.

Ia melanjutkan, “Tapi kan, anak muda juga punya hak buat tau soal itu. Anak muda punya hak soal mendapatkan pengetahuan yang tidak parsial dan lain sebagainya. Dan karena adanya gap sejarah tersebut, dan negara enggak hadir di gap-nya itu, untuk menghadirkan sejarahnya seperti ini.”

Terkait Pemilu 2024, Fatia mengatakan, kita mestinya lebih tahu tidak akan memilih siapa ketimbang siapa yang bisa kita pilih.

“Kita coba, yuk, mendobrak sistem tersebut. Supaya kita juga enggak dibodoh-bodohin sama hal itu,” Fatia meneruskan. “Karena apa? Hutang negara banyak. Yang bayar bukan presiden. Yang bayar kita, dari antar-generasi—dari boomers, millennial, sampai gen Z.”

Baca Juga: Apa Kata Anak Muda Tionghoa Soal Pemilu 2024: Pilih Coblos atau Golput? 

Fatia menegaskan, harapan untuk situasi politik Indonesia yang lebih baik ada di tangan kita sendiri.

“Kalau harapan, sebenarnya justru kitalah yang harus menciptakannya,” ujarnya. “Karena selama 9 tahun ini, kita selalu disodori dengan politik ketakutan. Dalam artian kita bebas bicara, tapi setelah bicara, enggak ada yang menjamin kita: apakah kita akan dipenjara apa enggak?”

Dengan bangkitnya kesadaran anak muda atas urgensi politik di Indonesia, Fatia berharap tidak ada lagi kontribusi atas tipu daya politik selama ini. Sebab, dampaknya bukan hanya akan menyasar anak muda. Tetapi juga kelompok masyarakat yang tertindas dan rentan menjadi korban pelanggaran HAM.

Ia mengajak semua untuk melihat kondisi di akar rumput: melihat banyak sekali masyarakat yang masih tertindas, terpaksa mengemis kembali ke negara karena kemiskinan struktural. Banyak sekali ketakutan, baik mengenai hak sipil politik maupun hak ekonomi sosial. Di sisi lain, negara belum hadir di sana untuk menciptakan politik harapan. Maka dari itu, pilihan untuk menjadi oposisi ada di tangan masyarakat untuk menciptakan harapan tersebut.

Menyoal itu, Ia berharap anak-anak termasuk yang 30% dan selalu jadi incarannya para politisi itu agar tidak tertipu dengan berbagai gimmick politik yang super receh dan menurut saya enggak lucu sama sekali. 

Sebab hal itu, kata dia, justru malah makin merendahkan anak muda. Seakan-akan bisa gitu, digaet cuma gara-gara gimmick lucu-lucuan. 

“Enggak, enggak, coy, mohon maaf. Enggak lucu banget. Kayak, ‘lo tuh cringe’ gitu. Jadi udah, dong! Tolong kasih kita pengetahuan, kasih kita paham. Soal gagasan lo tuh apa? Politik yang lo mau tuh kayak gimana? Gitu. Jadi jangan juga rendahkan posisi kita, anak muda yang enggak hidup di masa sejarah, ” Fatia menutup pembicaraannya.

(Sumber Gambar: Linkedin Fatia Maulidiyanti)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!