‘Saya Jalan Lebih Jauh’ Cerita Perempuan Hindari Pelecehan di Ruang Publik

Banyak perempuan bahkan sejak mereka masih berseragam sekolah, menjadi korban pelecehan di ruang publik. Mereka ada yang rela berjalan lebih jauh dibanding harus lewat 'jalan kecil' agar tak mendapatkan pelecehan di jalan.

Apakah kamu ingat saat pertama kali mengalami pelecehan di ruang publik? Apa yang muncul di benak kamu? Apakah kamu ingat saat itu umur berapa, atau kamu sedang apa? Bisa jadi juga, kamu belum pernah mengalami ini.

Di negara seperti Australia, tempat kami mengajar, sebanyak 87% perempuan muda sudah pernah mengalami pelecehan di tempat umum.

Dalam riset terbaru kami terkait pelecehan di jalanan, kami berbicara dengan 47 perempuan dewasa dan individu LGBTQ+. Ini tentang ingatan paling awal mereka ketika merasa menjadi objek seksual, tidak nyaman, atau tidak aman di jalan.

Banyak partisipan mengatakan mereka pertama kali mengalami pelecehan di jalan ketika sedang memakai seragam. Kami mendengar variasi frase seperti “kejadiannya ketika saya memakai seragam sekolah” berulang kali dari para responden.

Bagi banyak orang, pelecehan di jalan mulai terjadi atau menjadi lebih sering ketika memakai seragam saat tingkat pendidikan menengah atas. Tapi, beberapa partisipan merefleksikan pengalaman ketika mereka bahkan lebih muda lagi, ketika memakai seragam pada jenjang sekolah dasar.

Berbagai studi dari Inggris telah menunjukkan bahwa 35% anak perempuan yang memakai seragam sekolah pernah dilecehkan secara seksual di ruang publik. Sayangnya, meski sekolah punya peran penting dalam kehidupan sehari-hari anak muda, dan meski mereka banyak mengalami insiden di jalanan. Saat ini masih minim perhatian terhadap pelecehan yang dialami remaja dan anak muda saat memakai seragam.

Temuan dari riset baru kami menunjukkan bahwa pelecehan yang terkait dengan pengalaman sekolah adalah isu serius yang selama ini jarang dibahas.

Di luar gerbang sekolah

Kita tahu bahwa anak muda mengalami pelecehan seksual, homofobik, maupun transfobik dari rekan sejawat mereka dan bahkan guru ketika di sekolah.

Tapi, para partisipan juga memberi tahu kami terkait pelecehan yang terjadi di luar lingkungan sekolah. Pelakunya adalah orang asing (biasanya laki-laki dewasa, atau sekelompok laki-laki dewasa), ketika mereka mengenakan seragam dan, oleh karena itu, dengan jelas dikenali sebagai anak sekolahan.

Ini bentuknya beragam, dari catcalling (melontarkan komentar seksual ketika berpapasan), memelototi, bersiul, membuntuti dengan kendaraan, masturbasi di tempat umum atau menggesekkan kemaluan pada korban atau penyintas (biasanya ketika berangkat ke sekolah memakai transportasi umum), hingga serangan seksual dan pemerkosaan.

Salah satu responden tingkat pendidikan menengah atas mengatakan:

berjalan dari sekolah ke rumah […] itulah saat paling sering terjadi pelecehan yang saya alami […] Begitu saya berhenti memakai seragam, kejadiannya berkurang. Jadi, ini menjijikkan karena beragam alasan.

Sebagaimana ungkapan responden lain, pengalaman-pengalaman ini sangat menakutkan tidak hanya karena apa yang sedang terjadi saat itu, tapi juga karena pelaku bisa “tahu kamu sekolah di mana” dengan melihat seragam.

Dianggap ‘seksi’

Kenapa anak muda – terutama perempuan muda dan anak perempuan – secara rutin sering mengalami pelecehan saat memakai seragam sekolah? Kami menemukan bahwa hal ini didorong secara kebudayaan melalui stigma “anak sekolahan (perempuan) yang seksi” (“sexy school girl”).

Sebagaimana dijelaskan salah satu narasumber:

ketika kita ke pencarian gambar Google dan mencari “murid laki-laki” (school boy), hasil yang akan keluar adalah gambar anak laki-laki berusia lima tahun, tapi kemudian pencarian “murid perempuan” (school girl) akan menghasilkan foto kostum anak sekolah perempuan yang seksi.

Para partisipan mendiskusikan pengalaman mereka menjadi sasaran karena dilihat sebagai sosok yang rentan dan (secara paradoks) polos sekaligus objek seksual.

Ini adalah bagian dari daya tariknya bagi mereka (para pelaku), kepolosan seorang anak sekolah perempuan, dan seorang anak perempuan yang merasa takut dalam situasi itu tampak menggairahkan bagi mereka, dan mereka benar-benar menikmati itu.

Baca Juga: Kurir Sebar Foto Pelanggan Tanpa Consent Untuk Objek Pelecehan, Gimana Melaporkannya?

Narasumber lain menceritakan pada kami:

Saya berubah dari anak yang polos jadi anak yang merasa tidak nyaman dan tidak tahu kenapa saya dijadikan objek seksual – dan saya tidak memahami itu karena saya belum paham makna dari seks yang sebenarnya.

Karena berusia sangat muda, banyak partisipan seringkali tidak memiliki kerangka atau bahasa untuk memahami pengalaman mereka. Bagi banyak di antara mereka, pengalaman ini merupakan rutinitas yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka begitu saja.

Seringkali, baru setelah bertahun-tahun setelah pengalaman membekas ini, mereka kemudian bisa mengartikulasikannya sebagai pelanggaran seksual dan merefleksikan dampaknya.

Mencoba menghindari pelecehan

Sepanjang riset wawancara kami, banyak partisipan mendiskusikan bagaimana mereka mengubah penampilan mereka atau mengubah rute yang mereka tempuh ke sekolah. Mereka kerap fokus pada mengubah perilaku mereka sendiri dan membuat hidup mereka lebih sengsara sebagai upaya menghindari pelecehan lebih lanjut. Misalnya:

Saya memilih jalan lebih jauh. Saya pergi melewati jalanan utama, menghindari jalan kecil, bahkan ketika jalannya lebih jauh, agar bisa ekstra aman.

Dalam jangka panjang, para partisipan umumnya mendeskripsikan perasaan tidak aman, senantiasa terjaga, dan cenderung tidak mempercayai laki-laki di ruang publik.

‘Bagaimana jika ada pedofil di kereta?’: respons sekolah

Sayangnya, ketika ada laporan, sekolah kerap melanggengkan pandangan bahwa para korban-penyintas adalah pihak yang bertanggung jawab atas pelecehan yang mereka alami.

Berbagai partisipan memberi tahu kami bagaimana mereka kerap diingatkan tentang kebijakan seragam sekolah (misalnya kewajiban terkait panjang rok atau seragam) ketika mereka meminta bantuan dari guru.

Seorang partisipan menceritakan pengalaman ketika guru mereka bertanya:

Kenapa kamu memakai rok (pendek) seperti ini? Kamu sedang mencoba menarik perhatian siapa? Bagaimana jika ada pedofil di kereta saat pulang dari sekolah dan mereka berpikir “ini hari keburuntunganku”.

Beberapa yang lainnya tidak mencari bantuan dari guru karena masalah terkait penampilan di sekolah – mereka merasa pasti akan disalahkan atas apa yang terjadi.

Respons semacam ini mengajarkan pada anak muda untuk berpikir bahwa pelecehan di jalanan, dan bentuk-bentuk lain dari kekerasan berbasis gender, adalah salah mereka. Ini juga memberi tahu mereka bahwa tubuh mereka adalah titik risiko yang perlu dikelola dan dijaga supaya menghindari pelecehan.

Pelecehan berseragam tidaklah ‘normal’

Meski sekolah dan konteks yang berkaitan dengan sekolah sering menjadi tempat terjadinya gangguan (harm) bagi para partisipan kami, sekolah tetap punya peran yang sangat penting. Pelecehan terhadap murid berseragam tak seharusnya dipandang sebagai bagian yang “normal” dalam proses pendewasaan anak.

Ada kebutuhan mendesak untuk menghadirkan suatu kerangka bagi anak muda untuk memahami pengalaman-pengalaman mereka.

Upaya pendidikan harus menantang ide bahwa pelecehan sebaiknya ditahan-tahan dan dilewati saja sebaik mungkin. Sebaliknya, sekolah harus membantu anak muda memahami bahwa pelecehan adalah bentuk kekerasan, dan menawarkan ruang yang aman dan mendukung untuk bisa berbicara dengan rekan sejawat dan orang dewasa tenang pengalaman mereka.

Ini harusnya dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan seks dan hubungan (relationships) yang sudah ada, dengan cara yang tepat usia.

Yang juga penting, respons terhadap pelecehan tak boleh menyalahkan anak muda itu sendiri. Sudah saatnya praktik-praktik usang, seperti mengukur panjang seragam, tak lagi dilakukan.

Seperti ungkapan salah satu partisipan riset kami, “panjang rok saya tidak mempengaruhi seberapa baik saya belajar”.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Bianca Fileborn dan Jess Hardley

Senior Lecturer in Criminology, The University of Melbourne & Research Assistant in Criminology, The University of Melbourne
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!