Ayah di Aceh Perkosa Anaknya Hingga Melahirkan, Korban Kesana Kemari Cari Keadilan 

Seorang ayah, JU memperkosa anaknya hingga hamil. Ketika perut korban membesar, JU bersikeras ia yang membawa korban ke dokter. Setelah itu, JU berbohong pada istrinya dan mengatakan bahwa korban sakit perut dan harus diberikan obat pelancar haid.

Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi para penyintas kekerasan seksual.

Sebuah pesan masuk di handphone Roni (bukan nama sebenarnya) sekitar awal Oktober 2023 lalu. 

Pesan itu datang dari kakaknya Ana (nama disamarkan), yang tinggal di Aceh.

“Tolong selamatkan Ririn.”

Ririn—bukan nama sebenarnya—adalah anak perempuan Ana yang saat ini duduk di kelas 2 SMA. Roni tak paham maksud WhatsApp/WA kakaknya.

“Kok diselamatkan memang kenapa?,” tanya Roni.

“Di sini anak-anak tuh bodoh, sekolahnya nggak pandai-pandai, lingkungannya nggak bagus,” jawab Ana.

“Kalau yang kamu maksud itu nggak ada biaya, saya kirimkan uang,” balas Roni.

Ana bersikeras agar Roni menyelamatkan keponakannya, Ririn. Selain kepada Roni, Ana juga mengirim WA ke adik perempuannya yang tinggal di Batam.

“Sudah nggak bisa nafas, nggak bisa bertahan hidup. Selamatkan Ririn,” begitu isi pesan Ana kepada adiknya.

Selang beberapa waktu Ana kembali mengirim WA kepada Roni yang intinya mengatakan sudah tidak kuat.   

“Kenapa? Apa ada kekerasan dalam rumah tangga?” tanya Roni.

Ana tak menjawab. Akhirnya Roni mengirimi Ana uang. Ia mengatakan jika memang sudah tidak bisa dipertahankan, anak-anak harus dibawa ke Batam. 

Baca Juga: Korban Perkosaan Cilacap Berhenti Sekolah, Para Pelaku Berkeliaran Dimana-mana

Tapi jika suami Ana, JU tidak mengizinkan, Roni menyarankan Ana agar tetap berangkat, yang penting bisa sampai di Batam dengan selamat. Roni juga minta Ana membawa ijazah sekolah anak-anaknya.

Akhirnya Ana dan keempat anaknya berangkat ke Batam menumpang kapal laut dengan baju yang melekat di badan. Mereka berangkat Rabu dan sampai di Batam pada hari Kamis. Roni lalu menyusul ke Batam.

Dalam perjalanan dari bandara menuju rumah adiknya, sang adik yang menjemput bercerita kejadian yang dialami Ririn.

“Ririn dirusak bapaknya (JU), sampai di sana ada bayi,” tuturnya.

Roni kaget tiada kepalang mendengar cerita adiknya. Ia tak menyangka tindakan terduga pelaku akan sejauh ini. Namun informasi dari sang kakak atau ibu korban cukup terbatas. Pasalnya anak korban atau Ririn juga belum bisa terbuka pada ibunya ketika masih di Aceh karena ketakutan.

Roni menunggu beberapa hari hingga kondisinya memungkinkan untuk mengajak Ana dan anak-anaknya mengobrol. Ia tidak berani banyak bertanya pada korban. Ia khawatir kalau salah bertanya justru bisa menimbulkan trauma baru pada korban.

Perangkat Desa Tak Peduli

Selang sehari Roni menghubungi kakak pelaku di Aceh via telepon, mengabarkan tindakan pelaku JU yang sudah memperkosa anak kandungnya. Roni menyesalkan kejadian seperti ini terjadi di Aceh yang notabene merupakan daerah yang syariatnya kuat.

“Kalian laki-laki di sana, pamannya, atuk-nya kok nggak bisa menjaga anak gadisnya! Harusnya kalian malu,” kata Roni.

Kakak pelaku lalu mendatangi rumah kepala dusun. Setelah itu kepala dusun menelepon Roni menanyakan hal yang terjadi. Roni lalu menceritakan pemerkosaan yang dilakukan terduga pelaku JU terhadap anaknya hingga hamil dan melahirkan.

“Kami tidak bisa berbuat banyak kalau ibu korban dan korban tidak dibawa ke Aceh,” ujar Kepala Dusun.

“Kalau saya bawa ke Aceh, siapa yang bertanggung jawab atas keselamatannya?,” tanya Roni.

Roni menyarankan agar kepala dusun dan kakak pelaku membuat laporan dahulu ke kepolisian. Kalau nanti berdasarkan arahan dari kepolisian mengharuskan anak korban dan ibunya yang melapor, Roni akan mengurus hal tersebut.

Namun kepala dusun justru minta Roni untuk datang ke Aceh dan membicarakan persoalan ini secara kekeluargaan dahulu.

“Kalau cuma menyelesaikan secara kekeluargaan, keluarga yang mana?,” kata Roni.

Ia tak habis pikir kasus anak kandung diperkosa ayahnya sendiri mau diurus secara kekeluargaan. Kepala dusun beralasan perangkat desa tidak bisa membawa kasus ini ke jalur hukum karena korban tidak berada di Aceh.

Baca Juga: Wisatawan Diperkosa di Labuan Bajo, Polisi Bias Gender dan Hentikan Kasus

Besoknya terduga pelaku, JU mengirim pesan WA ke Roni. Ia mengatakan pasrah, minta maaf dan mengaku salah.

“Saya pantas disebut anjing babi,” kata JU.

“Kamu bukan anjing babi, malah lebih terhormat anjing sama babi. Kau ini iblis, biadab perlakuanmu itu. Kamu nggak boleh memanggil mereka anak lagi,” kata Roni.

Ia lalu mengambil screenshot percakapan tersebut dan mengirimkannya ke kepala dusun (kadus). Percakapan tersebut menunjukkan pelaku mengakui perbuatannya. Tapi tanggapan Kadus tetap sama.

“Coba abang jadi saya, apa yang bisa saya lakukan?,” kata Kadus.

Roni mengatakan kalau kearifan hukum lokal di sana membiarkan pelaku, ia tidak bisa apa-apa. Hanya saja kalau terduga pelaku bisa memperkosa anaknya sendiri dan merasa aman, kemungkinan hal yang sama bisa terjadi pada anak-anak tetangga.

“Jangan sampai anak-anak perempuan di sana dirusak oleh pelaku karena dia merasa aman,” ujarnya.

Roni lalu mencoba berkomunikasi dengan beberapa tokoh masyarakat di sana yang sekiranya mau membantu proses pelaporan kasusnya. Ini lantaran Roni melihat ada dua hukum yang berlaku di sana, syariat dan hukum positif nasional.

Baca Juga: Praperadilan Ditolak, Korban Perkosaan di Kemenkop UKM Buat Laporan Baru

Seorang tokoh masyarakat yang berhasil ia hubungi berjanji akan membantu. Tapi karena saat ini tokoh tersebut masih ada kesibukan pekerjaan, ia menjanjikan beberapa waktu ke depan setelah urusan pekerjaannya agak longgar.

Sementara dari tokoh masyarakat yang lain, Roni mendapat informasi jika pelaku JU menitipkan bayinya pada salah satu tetangga. Kepada tokoh masyarakat tersebut, pelaku JU menyampaikan jika ia mau merantau untuk mengubah nasib.

Sedang pada tetangga-tetangganya JU mengatakan anak istrinya kabur. Alasannya karena mereka tidak setuju jika JU memungut anak yang ditinggal oleh kedua orang tuanya. 

Jadi terduga pelaku JU mengarang cerita seolah-olah dia menolong bayi seseorang.

Roni lalu teringat pada seorang temannya yang memang fokus pada isu perempuan, Sultan Fariz. Ia pernah bertemu dengan Fariz sekitar 2015. Roni lalu menghubungi Fariz untuk minta bantuan. Karena Fariz sedang studi di Inggris, ia pun menghubungkan Roni dengan LBH Banda Aceh dan Konde.co. 

Lapor Polisi

Awal Desember 2023, Siti Farahsyah Addurunnafis, advokat LBH Banda Aceh mendapat kabar ada seorang ibu korban (Ana) dalam perjalanan menuju Aceh. Ana cerita jika ia mau melaporkan kasus perkosaan yang dilakukan suaminya sendiri terhadap anak mereka.

Saat itu Farah sedang berada di Aceh Timur untuk menangani sebuah kasus. Diperkirakan Ana akan sampai di Aceh pada dini hari. Karena itu Farah menyarankan agar laporan dilakukan setelah si ibu cukup beristirahat. Pasalnya laporan di kepolisian biasanya lama dan melelahkan, sedang Ana baru saja melakukan perjalanan jauh.

Mereka kemudian sepakat bertemu di Langsa, kota yang letaknya tak jauh dari Aceh Timur. 

Keesokan paginya, Farah bertemu Ana dan menggali informasi tentang kejadian kekerasan seksual itu. Ana mengaku dirinya tidak mengetahui kronologi kejadian secara mendetail. Ini lantaran setiap kali Ana mencoba bertanya pada anaknya, korban menangis dan tidak bisa menjelaskan.

Dengan informasi yang minim, si ibu memberanikan diri membuat laporan ke Polres Aceh Timur dengan didampingi LBH Banda Aceh. Awalnya penyidik Polres Aceh Timur menolak laporan tersebut karena bukan korban yang melapor.

“Jadi mereka (penyidik) mau menerima laporan dan mengeluarkan surat tanda terima laporan apabila korban hadir secara langsung pada saat itu. Dengan alasan mereka harus melakukan visum,” ujar Farah.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Pejabat Negara: Bupati Maluku Tenggara Perkosa Pegawai Kafenya

Farah menyanggah argumen penyidik dan menjelaskan untuk membuat laporan tidak mesti dilakukan oleh korban karena yang dilaporkan adalah kasus kekerasan seksual. Selain itu dalam kasus ini korban masih berusia 16 tahun, artinya dia masih di bawah pengampuan ibunya. Sementara ibunya sudah memberikan kuasa ke LBH Banda Aceh.

“Korban ada di sini atau tidak si ibu ini tetap berhak untuk melakukan pelaporan,” ujar Farah kepada penyidik.

“Nggak bisa, ini harus ada korbannya karena kita harus melakukan visum secepatnya apabila dilakukan pelaporan,” penyidik bersikeras.

Farah mengatakan di dalam KUHAP tidak ada pernyataan yang mengharuskan ketika membuat pelaporan harus ada korban pada saat itu juga. Ia menambahkan hasil visum dan keterangan dokter visum memang dibutuhkan saat penyidikan atau persidangan, bukan pada proses pelaporan.

Setelah perdebatan panjang akhirnya penyidik mau menerima laporan ibu korban. Pemeriksaan berjalan hampir 12 jam, dari pukul 1 siang hingga 12 malam. Prosesnya cukup berbelit, dari bagian SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) dipindahkan ke bagian PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) lalu kembali ke SPKT.

Dalam proses pemeriksaan, penyidik sempat menanyakan soal saksi yang melihat kejadian secara langsung. Kuasa hukum korban menanggapi dengan mengatakan pada setiap kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan, tidak pernah ada orang yang melihat secara langsung. Karena tindak pidana seperti ini selalu dilakukan di area privat.

Baca Juga: Kasus Dugaan Perkosaan Terjadi di TNI: Awalnya Perkosaan, Lalu Dibilang Suka Sama Suka

Namun penyidik bersikeras agar ibu korban memberikan satu atau dua nama orang yang mengetahui kasus tersebut. Akhirnya si ibu menuturkan ada tetangga di depan rumah pernah bertanya soal korban yang sering tidur satu kamar dengan pelaku. Dia tahu karena melihat dari jendela. Menurut penyidik keterangan tersebut bisa membantu proses penyelidikan. Penyidik juga minta ibu korban untuk menghadirkan adik korban.

Pemeriksaan yang panjang membuat ibu korban kelelahan. Informasi dan keterangan yang disampaikan ibu korban terkait korban dan kejadian yang sepenggal-sepenggal membuat si ibu merasa ditekan penyidik.

Farah berinisiatif meminta penyidik mengakhiri pemeriksaan karena ini baru keterangan awal. Untuk informasi lebih mendalam bisa dilakukan dalam pemeriksaan selanjutnya.

“Bapak tulis saja apa yang dikatakan oleh ibu ini. Untuk proses lebih lanjut bisa nanti, ini sudah jam 12 malam,” katanya.

Akhirnya penyidik menghentikan pemeriksaan. Mereka memberikan Surat Tanda Terima Bukti Lapor dengan nomor: STTLP/217/XII/2023/SPKT/POLRES ACEH TIMUR/POLDA ACEH. Laporannya mengenai tindak pidana jarimah pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dan pemerkosaan terhadap anak.

Baca Juga: ‘Apakah Harus Jadi Korban Yang Sempurna agar Dibela?’ Pertanyaan Mitos yang Harus Disudahi

Farah sempat mewanti-wanti ibu korban perihal keamanan selama di Aceh. Pasalnya Ana adalah pendatang di Aceh dan tak ada keluarga selain keluarga besar suami alias terduga pelaku. Ia menikah dengan JU di Batam, kemudian dibawa pulang ke Aceh Timur.

Sebelum berangkat ke Aceh, Ana sudah menghubungi salah satu keluarga pelaku. Mereka setuju pelaku diproses secara hukum karena itu mereka bersedia menampung Ana selama proses pelaporan.

Namun tak berapa lama saat berada di rumah kerabatnya tersebut, ibu korban didatangi pelaku dan keluarganya. Mereka mau melakukan mediasi dan menyelesaikan persoalan tersebut secara kekeluargaan. Mereka juga malah menyalahkan korban.

“Selama ini bisa kejadian kasus seperti ini kan karena memang anak itu yang sodorkan diri,” ujar terduga pelaku.

Kehadiran pelaku dan keluarganya membuat Ana ketakutan. Farah yang mendengar kabar tersebut berusaha menenangkan Ana.

“Walaupun mereka mau mengatakan apapun segala macam, tapi korban ini posisinya seorang anak. Tetap orang dewasa ini yang bersalah,” paparnya.

Penjelasan Farah membuat Ana tampak lega. Roni lalu berinisiatif memindahkan ibu korban ke tempat yang aman di daerah Sumatra Utara.

Baca Juga: Perempuan di Jabodetabek Paling Banyak Jadi Korban Penyebaran Foto Bernuansa Seksual

Beberapa hari setelah itu pada Rabu (6/12/23) anak korban didatangkan ke Aceh. Ia kemudian dimintai keterangan oleh polisi dan melakukan visum pada Jumat (8/12/23). Hasil visum keluar hari itu juga dan diserahkan ke penyidik.

Setelah itu korban dijadwalkan menjalani pemeriksaan psikologis pada Rabu (13/12/23). Namun kemudian diundur pada Jumat (15/12/23). Ternyata pemeriksaan psikologis dilakukan terhadap 7 orang anak pada kasus yang berbeda di hari yang sama. Korban sendiri dijadwalkan akan diperiksa pada malam hari.

Farah sempat meminta penyidik menjadwal ulang proses pemeriksaan untuk korban karena khawatir jika dilakukan malam korban kondisinya sudah tidak fit. Penyidik menolak masukan tersebut dan meyakinkan seluruh pemeriksaan akan selesai pada hari itu.

Malam sekitar pukul 8 kuasa hukum dan korban baru dipanggil Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak/ PPA untuk dilakukan reschedule. Korban dijadwalkan kembali untuk pemeriksaan psikologis pada Sabtu pagi. 

Namun besoknya korban baru diperiksa sekitar pukul 2 siang. Pemeriksaan berjalan sekitar 6 jam hingga selesai pukul 8 malam.

Dari keterangan penyidik hasil pemeriksaan akan selesai sekitar 5 hari kemudian. Pemeriksaan dilakukan oleh psikolog dari Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Banda Aceh dengan didampingi penyidik. Selama pemeriksaan, kuasa hukum dan Ana tidak diperbolehkan masuk ruangan pemeriksaan, jadi korban menjalani pemeriksaan sendiri.

Baca Juga: 25 Penyintas Kekerasan Seksual Tuntut Keadilan di Panggung Perempuan Merdeka 2023

Menurut Farah berdasarkan keterangan korban, pertanyaan yang diajukan sama seperti waktu di BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Saat itu polisi awalnya curiga korban hamil bukan hanya dengan ayahnya tapi dengan laki-laki lain.

Namun korban mengungkapkan ia diperkosa oleh ayahnya, sedangkan pacar dia tidak punya. Interaksinya dengan teman laki-laki hanya ngobrol melalui media sosial, itupun posisi lawan bicaranya di Kalimantan.

Sementara proses penyelidikan kasus ini masih berjalan di tempat. Penyidik belum bisa menangkap pelaku karena masih kurangnya keterangan saksi. Sejauh ini pihak yang sudah dimintai keterangan adalah pelapor yakni ibu korban dan korban. Dua orang saksi yang diminta oleh penyidik yakni tetangga dan adik korban belum bisa memberikan kesaksian.

Tetangga yang pernah melihat korban berada dalam kamar dengan ayahnya tidak berani menjadi saksi dan memberikan keterangan. Pasalnya masih ada stereotipe di gampong tersebut yang menganggap pemerkosaan sebagai aib gampong. Sementara adik korban statusnya masih anak-anak dan usia sekolah. Selain itu posisinya saat ini tidak berada di Aceh. 

Selain keterangan pelapor dan korban sebenarnya ada hasil visum et repertum yang bisa menjadi alat bukti. Begitu juga dengan hasil visum et repertum psychiatricum. Farah menjelaskan kemungkinan penyidik baru bisa mengambil tindakan setelah hasil visum psychiatricum-nya keluar.

Penyidik menggunakan Qanun Jinayat dalam penyelidikan kasus ini. Untuk saat ini hukuman yang berlaku pada kasus kekerasan seksual terhadap anak bukan berupa cambuk melainkan hukuman penjara. Ketentuan ini diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor SE-2/E/Ejp/11/2020 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2020.

Baca Juga: Kekerasan Seksual di Kantor Toksik: Saya Tak Bisa Lapor HRD dan Kena Victim Blaming

Meski ada aturan khusus seperti UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tapi yang berlaku di Aceh Qanun Jinayat.

“Penyidik yang ada di Aceh ini seolah-olah memang masih mengharamkan penggunaan undang-undang yang bersifat khusus. Misalnya Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang TPKS, karena adanya kekhususan Aceh tadi itu, Kak. Jadi kalau ada suatu perkara pidana, mereka menggunakan Qanun Jinayat,” terang Farah.

“Itulah kegalauan kita sebenarnya terhadap penyidik yang ada di Aceh,” katanya.

LBH Banda Aceh sendiri ikut mendorong revisi Qanun Jinayat yang saat ini prosesnya sudah ada di Kementerian Dalam Negeri. Revisi dilakukan terhadap beberapa pasal terutama yang berkaitan dengan kasus anak.

Untuk kasus ini sendiri Farah dan tim LBH Banda Aceh siap untuk terus mengawal hingga tuntas.

Pada Senin 8 Januari 2024 Konde.co menghubungi Humas Polres Aceh Timur, Iwan Gunawan menanyakan perkembangan kasus ini via pesan singkat. Dalam pesan balasannya Iwan mengatakan akan berkoordinasi dengan penyidik terlebih dahulu.

Konde.co kembali mengirim pesan pada Iwan Gunawan pada Rabu (10/1/24) menanyakan tanggapan penyidik. Iwan kembali berjanji akan berkoordinasi dengan penyidik.

“Siap kak. Mohon waktu ya kak karena beberapa hari terakhir padat kegiatan terkait pergantian Kapolres. Besok siang saya koordinasi dengan penyidik dan segera saya sampaikan ke kakak,” balasnya.

Namun hingga artikel ini terbit, Polres Aceh Timur tidak menanggapi pertanyaan Konde.co terkait perkembangan kasus dan status terduga pelaku JU.

Informasi terakhir yang didapat keluarga korban, saat ini terduga pelaku kabur dari kampungnya setelah menerima surat panggilan dari Polres Aceh Timur. Sudah sekitar seminggu terakhir ia kabur. Tapi sejauh ini belum ada kejelasan langkah yang diambil penyidik.

Modus Kekerasan Seksual Terduga Pelaku JU

Tindakan kekerasan seksual yang dilakukan terduga pelaku JU sudah berlangsung sejak korban kelas 5 SD. 

Awalnya JU melakukan pelecehan seperti menyentuh alat kelamin anak korban. Terduga pelaku juga biasa mengiming-imingi.

Ketika korban kelas 1 SMP, JU membelikan handphone untuk membuat anak korban lalai. Ia memutar video Youtube agar anak korban fokus menonton sehingga mengabaikan tindakan terduga pelaku. Saat JU melakukan aksinya, anak korban mencoba melawan tapi terduga pelaku selalu mengancam.

“Awas ya, kalau kamu tidak mau menuruti apa yang aku bilang, rumah ini akan aku bakar ketika kalian lagi tidur,” ancamnya.

Karena itu anak korban tak berani bercerita pada siapapun. Ia mempertimbangkan keselamatan ibu dan saudara-saudaranya. Korban juga ingin melihat keluarganya seperti keluarga orang lain yang selalu harmonis.

Sehari-hari JU berjualan sayur di pasar, sedang istrinya atau Ana, ibu korban seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT). Ia biasa mencuci dan menyetrika baju di rumah tetangga. JU sering cekcok dengan istrinya dan suka memukul anak-anaknya, terutama abang dan adik korban.

Baca Juga: Catahu Kekerasan Seksual di Kampus: Seksisme Banyak Terjadi di Guyonan Tongkrongan

Terduga pelaku selalu menyuruh anak korban untuk tidur satu kamar dengan dirinya di kamar depan. Di kamar tersebut juga tidur adik korban nomor 3, laki-laki masih SD. Sedang istri dan anak-anak yang lain tidur di kamar yang satunya. Ketika korban menolak melakukan hal yang diperintahkan terduga pelaku, ia selalu mengancam.

“Ini rumah saya, kalian cuma menumpang di sini. Kalau kalian memang tidak mau mengikuti apa yang saya sampaikan, rumah ini akan saya bakar,” ancam terduga pelaku.

Bagi anak korban ancaman ini bukan main-main. Pasalnya terduga pelaku pernah membakar rumahnya.

Ketika itu korban masih SMP, ia ketahuan chatting dengan teman laki-lakinya oleh terduga pelaku. JU marah dan cemburu, ia lalu membanting HP korban, membakar isi lemari dan rumah.

Dalam kondisi ketakutan karena rumahnya dibakar, ibu korban mendatangi kepala lorong (keplor) atau kepala dusun untuk minta bantuan. Tapi perangkat gampong (desa) justru menganggap si ibu yang bersalah. Ini lantaran ibu korban dianggap mengizinkan anaknya bermain media sosial dan pacaran.

“Jadi karena memang sudah ada trauma, si anak ini tidak berani ngomong apa-apa, tidak berani ngasih tahu orang-orang lain. Jadi dia memikirkan keselamatan dirinya, ibunya, adik dan abangnya juga,” ungkap Farah.

Anak korban diperkosa terduga pelaku alias ayahnya sendiri hingga berkali-kali.

“Mungkin sudah lebih dari 10 kali sampai akhirnya dia mengandung,” papar pendamping hukum korban.

Awalnya ibu korban sempat curiga terhadap terduga pelaku. Korban sempat mengatakan kepada ibunya kalau ia sudah tidak haid selama dua bulan. Ibunya sempat kebingungan. Biasanya mereka haid di tanggal yang sama.

Untuk menghindari kecurigaan karena selama ini anaknya disuruh tidur di kamar ayahnya, ibu korban berinisiatif membeli test pack. Hasil test pack positif.

Baca Juga: KDRT Perempuan Seniman: Konten Intim Disebar Mantan Suami, Niat Lapor Polisi Barang Bukti Hilang

Si ibu memberi tahu suaminya atau terduga pelaku bahwa korban dalam kondisi hamil. Ia sudah tidak haid 2 bulan dan hasil test pack-nya positif.

Terduga pelaku sempat menyangsikan perkataan ibu korban. Ia lalu membawa anak korban ke dokter.

“Biar saya saja yang bawa ke dokter kandungan,” kata terduga pelaku.

Sepulang dari dokter, terduga pelaku mengatakan anak korban bukan hamil melainkan sakit.

“Sudah periksa ke dokter kandungan. Hasilnya itu bukan hamil, si korban ini sakit, ada tumbuh daging dalam kandungannya,” jelasnya.

Untuk meyakinkan kebohongannya, terduga pelaku membeli obat-obatan lalu dibuka bungkusnya. Setelah itu pil-pil tersebut dimasukkan ke dalam plastik obat yang bening.

“Obat-obatan yang dia beli itu hanya obat demam, paracetamol, pelancar haid dan sejenisnya,” terang Farah.

Ibu korban sempat percaya dengan muslihat pelaku. Ia mengira anaknya memang sakit. Apalagi ada saudaranya yang juga mengalami hal yang sama. Dia tidak haid tapi kemudian kembali haid setelah 6 bulan.

Seiring berjalannya waktu si ibu melihat perut anaknya makin membesar. Pada satu kesempatan saat si ibu sedang berlibur dengan anaknya di Sabang, ia menyentuh perut korban. Namun perutnya terasa sangat keras.

“Ada yang nggak beres nih sama perut kamu. Habis ini kita berobat lagi ya ke dokter yang kemarin,” kata sang ibu.

“Ya,” jawab si anak.

Sepulang dari Sabang, dengan uang sendiri dan tanpa bertanya pada suaminya, si ibu membawa anak korban ke dokter.

“Ibu tahu anak ibu ini kenapa? Ini bukan penyakit, bu. Anak ibu sudah hamil 8 bulan,” terang dokter.

Karena ancaman ayahnya atau terduga pelaku, ketika si anak ditanya oleh ibunya, anak siapa yang dikandungnya, ia menjawab tidak tahu. Begitu juga saat ditanya, nama dan tempat tinggal teman cowok yang menghamilinya serta kapan kejadiannya. Lagi-lagi anak korban menjawab, tidak tahu.

Baca Juga: Kalau Kamu Jadi Korban Kekerasan Seksual, Pilih Lapor Satgas TPKS atau Polisi?

Saat itu ayahnya langsung marah. Ia mengambil pisau lalu diasah. Kemudian, terduga pelaku mengajak korban untuk bertemu dengan teman cowoknya di sebuah lapangan. Padahal sebelumnya si anak tidak pernah menyebut nama lapangan tersebut. Tapi terduga pelaku seolah-olah mengarahkan bahwa laki-laki yang menghamili dan kejadiannya berlangsung di lapangan tersebut.

Melihat tindakan suaminya, si ibu berpesan, “Yang penting jangan bunuh anakmu!.”

Saat dibawa ke lapangan, terduga pelaku kembali mengancam anak korban.

“Ini pisau ada aku bawa, kalau kamu berani bilang ini anak aku, habis kamu. Mamamu juga, aku bakar waktu lagi tidur,” kata ayahnya.

Saat mereka kembali ke rumah, si ibu menanyakan apakah berhasil menemui orang yang dimaksud. Terduga pelaku mengatakan dirinya sudah berkeliling lapangan mencari tapi tidak menemukan laki-laki tersebut. Ia lalu menyuruh ibu korban untuk ikhlas.

“Yaudah kita ikhlasin aja. Kalau memang dia sudah hamil ya udah,” ujarnya.

Terduga pelaku juga minta pada istrinya agar merahasiakan hal tersebut terutama dari tetangga-tetangganya.

Bulan berikutnya ketika anak korban melahirkan dan rumah sakit menanyakan suami korban untuk minta tanda tangan, terduga pelaku pasang badan. Ia mendatangi perawat dan mengatakan anaknya kawin siri dan suaminya kerja di Batam. Jadi untuk tanda tangan biar diwakili orang tuanya saja.

Baca Juga: Cara Pemulihan Reputasi Korban Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual 

Anak korban melahirkan di Rumah Sakit Umum Aceh Timur. Terduga pelaku minta anaknya melahirkan lewat bedah caesar.

Setelah melahirkan, anak korban juga tidak diperbolehkan untuk memberikan Air Susu Ibu/ ASI kepada bayinya tersebut. Alasan terduga pelaku untuk menutupi agar anak korban tidak ketahuan sudah punya bayi. Karena anak korban masih sekolah, dikhawatirkan air susunya merembes saat di sekolah. Jadi dari awal bayi tersebut sudah diberikan susu formula oleh terduga pelaku.

Saat bayi itu berusia sekitar 2 bulan, ia dicampakkan di atas kasur oleh terduga pelaku. Hari itu terduga pelaku menggendong si bayi, entah karena kecapekan atau kesal, bayi tersebut lalu dibanting di atas tempat tidur. Melihat itu anak korban jadi histeris dan menangis.

Saat itu dia menjerit, “Kok kayak gitu ayah, aku laporin perbuatanmu ke pak Keuchik C.”

Pak keuchik yang disebut anak korban adalah mantan keuchik atau kepala desa yang disegani oleh terduga pelaku. Mendengar teriakan anaknya, si ibu jadi bertanya-tanya, perbuatan apa yang mau dilaporkan ke pak Keuchik.

Baca Juga: Pameran ‘Speak Up’, Anak-Anak Bersuara Melawan Isu Kekerasan Seksual

Saat terduga pelaku tidak di rumah, si ibu kembali bertanya pada anak korban, bayi siapa yang dilahirkannya dan siapa yang melakukannya. Anak korban lalu menyebut nama terduga pelaku.

Setelah anak korban mengatakan akan melapor ke mantan Keuchik, terduga pelaku sering melakukan kekerasan pada anak korban dan bayinya. Seperti menyiram susu basi ke mereka karena dianggap akan mengadukan perbuatannya.

Sejak menikah dengan terduga pelaku, ibu korban diboyong ke Aceh. Praktis tak ada sanak keluarga di Aceh selain keluarga suaminya. Selama menjalani pernikahan ia tidak pernah menceritakan kekerasan juga hal-hal ganjil dalam rumah tangganya. Ia menutup rapat-rapat kondisi rumah tangganya.

Setelah mendengar pengakuan anaknya, ibu korban mengirim pesan ke adik perempuannya yang tinggal di Batam dan adik laki-lakinya, Roni. Ia minta tolong mereka menyelamatkan anak korban.

Saat ibu korban beserta keempat anaknya melarikan diri dari rumah terduga pelaku, bayi tersebut sedang tidur dalam ayunan di kamar pelaku. Saat itu pelaku juga sedang tidur siang. Karena itu mereka tidak bisa membawa serta bayi tersebut.

“Jadi pada hari itu, korban dan ibunya memutuskan untuk meninggalkan bayi itu di dalam kamar bersama dengan pelaku. Karena kalau mereka ambil, tentu keselamatan mereka juga akan terancam,” kata Farah.

Melanjutkan Sekolah

Roni mengajak korban dan adik korban ke Jawa karena ketika ia tanya keponakannya satu per satu, korban mengaku ingin ikut omnya. Roni pun menyanggupi menyekolahkan keponakannya dan membantu menata kembali hidupnya.

Begitu juga dengan adik korban yang masih duduk di bangku kelas 3 SD. Ia ingin ikut Roni. Selama ini adik korban juga mengalami eksploitasi. Ia suka bikin layangan dan bantu-bantu tetangga. Ketika mendapat uang, ia tabung. Tapi uang yang ia tabung dan kumpulkan tersebut sering diambil terduga pelaku.

Untuk mengurus pindah sekolah korban, ada salah satu guru yang bersedia membantu. Roni sempat kecewa dengan wali kelas keponakannya yang sedikit abai. Meski begitu Roni berterima kasih pada sekolah asal keponakannya yang sudah membantu proses kepindahan korban.

Roni menghubungi guru keponakannya dan menceritakan anak korban mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Untuk itu anak korban dibawa keluar Aceh demi keselamatannya. Setelah menceritakan situasi yang dialami korban, guru tersebut mau membantu mengurus surat pindahnya.

Namun karena ada perbedaan kurikulum, korban tidak bisa pindah ke sekolah negeri. Sekolah asal korban masih memakai kurikulum 2013 sedang sekolah yang baru sudah menerapkan kurikulum Merdeka.

Baca Juga: ‘Korban Tapi Dituduh Pelaku’ Ini Kisah Perempuan Yang Dituduh Lecehkan Anak-anak di Jambi

Roni sempat berkonsultasi soal ini dengan salah satu kenalannya di Kementerian Pendidikan yang mengatakan perbedaan tersebut sebenarnya tidak ada masalah. Tetapi ia dan keluarga tidak ingin memaksakan yang nanti justru akan menjadi beban bagi guru di sekolah yang baru.

Karena itu korban pindah ke sekolah swasta. Walaupun sekolah tersebut memakai kurikulum Merdeka, jadi ada perbedaan kurikulum dengan sekolah lama tapi pihak sekolah tidak mempersoalkan.

“Kami bersyukur ada sekolah swasta yang meskipun juga menggunakan kurikulum Merdeka, tapi bersedia menerima korban,” ujar Roni.

Saat ini korban sudah bisa melanjutkan sekolah. Demi melindungi masa depan korban, Roni tidak menceritakan permasalahan yang dihadapi korban ke pihak sekolah.

Sementara adik korban yang kelas 3 SD sempat kesulitan saat mengurus kepindahan. Pasalnya surat pindah dari sekolah lama belum bisa didapat. Alasannya karena kepala sekolahnya masih ada di Malaysia untuk berobat. Sedang guru-gurunya abai jadi sulit diajak komunikasi.

Baca Juga: Diancam Pacar Sebar Konten Intim Non-Konsensual? Jangan Panik, Lakukan Hal Ini

Pihak sekolah minta orang tua siswa datang ke sekolah jika mau mengurus surat pindah. Roni lalu menyarankan adiknya yang berkomunikasi dengan pihak sekolah untuk menceritakan situasi yang terjadi. Setelah itu baru sekolah mulai merespons.

Selain itu rapor adik korban ini tertinggal di rumah terduga pelaku dan tidak terbawa saat mereka melarikan diri dari rumah pelaku. Roni lalu minta bantuan ke salah satu tokoh di sana. Tokoh tersebut mau meluangkan diri mendatangi rumah terduga pelaku untuk meminta rapor adik korban dan oleh terduga pelaku diberikan.

Sementara untuk sekolah yang baru Roni menjelaskan tidak ada persoalan. Baik kepala sekolah maupun dinas pendidikannya sangat kooperatif. Begitu Roni menyampaikan situasi yang dialami keponakannya, mereka menanggapinya dengan baik.

“Saya bilang ini ada kekerasan dalam rumah tangga di sana. Maka saya selaku pamannya mencoba menyelamatkan anak ini yang kebetulan keponakan saya,” tuturnya.

Roni mengaku dirinya dibantu dinas pendidikan dan kepala sekolah sesuai dengan prosedur. Dan saat ini adik korban yang kelas 3 SD sudah bisa kembali bersekolah.

Begitu juga dengan adik korban yang terakhir yang masih kelas 2 SD. Saat ini adik korban sudah diterima di sekolah yang baru tanpa banyak hambatan. Sedang kakak korban yang sudah lulus SMA diajari keterampilan agar bisa mandiri.

Baca Juga: Kasus Sebaran Video Artis RK, Framing Media Punya Kekuatan Besar

Fariz juga membantu menghubungkan Roni dengan lembaga pendamping terdekat untuk membantu pemulihan korban. Tim pendamping sudah berkomunikasi dengan korban dan melakukan asesmen.

“Saya minta pendampingnya ini untuk menyimpan nomor anak korban. Karena mereka yang lebih paham (aspek) psikologi,” papar Roni.

Roni berharap pendampingan tersebut dapat memulihkan kondisi psikologis korban, sehingga mental korban terjaga dan tetap optimis dengan masa depannya.

Bagi Roni, upayanya mendorong penyelesaian kasus ini secara hukum adalah ikhtiar menyelamatkan anak korban. Bukan semata-mata karena anak korban adalah keponakannya. Ini lantaran tindakan yang dilakukan terduga pelaku berpotensi dialami juga oleh anak-anak perempuan yang lain.

Dari pengakuan anak korban, ayahnya atau terduga pelaku ini selalu memantau media sosialnya. Terduga pelaku juga sering scrolling dan stalking ke akun media sosial teman-teman perempuannya lewat akun media sosial anak korban. 

JU juga sering mengirim pesan dan mengajak chatting teman-teman anak korban yang perempuan. 

Roni melihat kalau aparat kepolisian tidak serius menangani kasus ini, muruah Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekah bisa tercoreng.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!