Kasus Dugaan Perkosaan Terjadi di TNI: Awalnya Perkosaan, Lalu Dibilang Suka Sama Suka

Kasus dugaan perkosaan terjadi di tubuh TNI. Perkosaan diduga dilakukan BF, seorang anggota Paspampres. Namun kemudian Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan, kasus tersebut bukan merupakan tindakan perkosaan, melainkan dilakukan atas dasar suka sama suka. Aktivis perempuan mempertanyakan hal ini.

Kasus dugaan perkosaan terjadi di tubuh Tentara Nasional Indonesia/ TNI. Kasus ini melibatkan anggota Paspampres Mayor (Inf) BF yang diduga memperkosa Letda G.

Perkosaan diduga terjadi di sebuah hotel saat keduanya tengah menjalankan tugas pengamanan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada pertengahan November 2022 lalu.

Proses penyidikan kasus ini dilakukan di Makassar, Sulawesi Selatan, mengingat korban merupakan prajurit yang bertugas di sana. Namun kemudian kasus ini diambil alih penanganannya oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI karena pelaku merupakan anggota Pasukan Pengamanan Presiden/ Paspampres yang berada di bawah Mabes TNI.

BF ditahan di Pomdam Jaya sejak Sabtu (3/12/22). Ia ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal pemerkosaan yakni pasal 285 KUHP. BF terancam pidana penjara paling lama 12 tahun dan sanksi pemecatan dari anggota TNI oleh institusinya.

Namun dalam perkembangannya, hasil penyidikan berubah. Kepada media, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan, kasus tersebut bukan merupakan tindakan perkosaan, melainkan tindakan asusila karena dilakukan atas dasar suka sama suka. Hasil penyidikan sementara yang dilakukan Puspom TNI mengindikasikan tidak ada unsur paksaan. Dengan demikian tidak ada kasus perkosaan.

Untuk itu pelaku yang sebelumnya dijerat dengan pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan akan disangkakan dengan pasal 281 KUHP tentang asusila. Selain itu keduanya, baik BF dan G juga akan dijatuhi hukuman pemecatan tidak dengan hormat.  

Penanganan Kasus Oleh TNI Belum Mengacu Pada UU TPKS

Menyikapi perkembangan kasus ini Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) menyoroti proses penyelidikan yang dilakukan TNI yang belum mengacu pada ketentuan yang tertuang dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). UU TPKS sendiri sudah diundangkan pada 9 Mei 2022 dan diberlakukan sejak diundangkan.

UU TPKS menetapkan bahwa relasi kuasa merupakan unsur tindak pidana kekerasan seksual sehingga unsur ini perlu menjadi dasar dalam proses penyidikan. Seperti diungkapkan Sri Nurherwati, anggota Jaringan Pembela Hak Perempuan bahwa dalam hal perkara yang melibatkan perempuan, apalagi antara Mayor BF dan Letda G terdapat relasi kuasa dalam ranah pekerjaan dan ranah sosial.  

“Terdapat dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan BF selaku senior dalam kedinasan yang memiliki kewenangan dalam pelaksanaan tugas yang sedang dilakukan Letda G, maupun dalam relasi laki-laki terhadap perempuan, sehingga penanganannya tidak dapat dilakukan seperti penanganan perkara lainnya,” ujar Nurherwati.

Lebih lanjut Nurherwati menjelaskan, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi dalam UU Nomor 7 tahun 1984 memandatkan agar negara melindungi perempuan korban dalam pengadilan nasional, termasuk dalam Polisi Militer. Konvensi tersebut juga memandatkan penggunaan analisis gender dan sosial sebagai salah satu kekhususan bagi perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh keadilan.

Nurherwati juga menegaskan Aparat Penegak Hukum (APH) harus menerapkan prinsip- prinsip dan pedoman dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Selain itu UU TPKS juga mensyaratkan penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara tindak pidana kekerasaan seksual harus memenuhi persyaratan memiliki kompetensi penanganan korban yang berperspektif hak asasi manusia dan sensitivitas gender dan telah mengikuti pelatihan penanganan perkara TPKS.

“Aparat POM yang menangani perkara ini tak terkecuali juga harus memiliki kompetensi pelatihan terkait penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual, menjunjung tinggi HAM, tanpa intimidasi, tidak menjustifikasi kesalahan, dan tidak melakukan viktimisasi,” papar Nurherwati.

Tak kalah penting adalah pemenuhan hak-hak korban baik dalam proses penanganan, perlindungan maupun pemulihan seperti diamanatkan UU TPKS. Nurherwati mengungkapkan jika layanan tersebut belum dimiliki TNI, POM TNI dapat bekerja sama dengan layanan yang sudah ada.

“Apabila belum tersedia, dapat berjejaring dengan layanan berbasis masyarakat dan/atau pemerintah daerah,” katanya.

Untuk itu JPHPKKS mendesak POM TNI agar dalam melakukan pemeriksaan terhadap Letda G dengan menggunakan analisis gender dan sosial sebelum menentukan statusnya sebagai korban atau pelaku. 

POM TNI juga didesak untuk berkoordinasi dengan pendamping korban, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/ LPSK, layanan pendamping berbasis masyarakat dan/atau pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan saksi dan/atau korban, serta dengan KemenPPPA sebagai penyelenggara pelayanan terpadu tingkat pusat.

Pimpinan dan institusi TNI juga didesak untuk memastikan bahwa proses penanganan kasus ini menjamin asas transparansi dan akuntabilitas sejalan dengan arah reformasi TNI dan kesetaraan gender.

Komnas Perempuan Minta Klarifikasi TNI

Sementara terkait adanya perbedaan penanganan kasus antara Detasemen Polisi Militer TNI (Denpom TNI) yang menggunakan tindak pidana perkosaan dengan Mabes TNI yang menggunakan tindak pidana kesusilaan, kini Komnas Perempuan tengah meminta klarifikasi kepada TNI.

“Terkait perbedaan penanganan antara Denpom Militer Makassar yang menggunakan sangkaan tindak pidana perkosaan sedangkan Mabes TNI menggunakan sangkaan kesusilaan, Komnas Perempuan sedang berupaya untuk melakukan klarifikasi,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi kepada Konde.co pada Rabu (14/12/22).

Siti Aminah menjelaskan, data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2021 terdapat 57 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan dengan pelaku TNI. Jumlah kasus tersebut merupakan jumlah tertinggi dari pengaduan selama 5 tahun terakhir.

Peningkatan jumlah kasus ini menjadi perhatian khusus Komnas Perempuan karena menunjukkan bentuk keberanian korban untuk menyampaikan KBG yang dialaminya, kebutuhan dukungan, bantuan hukum dan psikologis untuk menghadapi pilihan dan proses penyelesaiannya secara “kedinasan” di institusi TNI ataupun penyelesaian hukumnya.

Desakan agar TNI menggunakan UU TPKS dalam menangani kasus kekerasan seksual di internal institusinya juga disampaikan Siti Aminah.

“Karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah diundangkan pada 9 Mei 2022 maka sebagaimana undang-undang lain, UU TPKS berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia tak terkecuali institusi militer dalam pencegahan, penanganan, pemulihan serta membangun lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual,” ujarnya.

(Ilustrasi/foto: Freepik)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!