Care Work Pada Komunitas Tak Dianggap Kerja, Padahal Ini Kerja Tambahan Perempuan

Banyak kerja-kerja perempuan yang tak pernah diakui sebagai pekerjaan. Kerja sebagai ibu rumah tangga di rumah, dianggap tak bekerja. Begitu juga kerja merawat komunitas seperti komunitas Posyandu, tak pernah dianggap sebagai kerja.

Perempuan punya beban ganda kerja. Sejarah mencatat perempuan selalu bekerja di dalam dan di luar rumah. Jadi, perempuan punya beban produksi dan reproduksi. 

Bahasan inilah yang kemudian sempat menjadi riset akhir saya ketika masih berkuliah di Universitas Antwerpen, Belgia kemarin.

Dalam kajian perempuan dari Antropolog Sosial Perkotaan di Universitas Manchester bernama Caroline Moser, banyak perempuan memiliki beban lain di luar rumahnya. Yaitu peran dalam merawat komunitas di masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Kajian tersebut kemudian ditulisnya dalam Gender Analysis Framework di tahun 1980-an tentang tiga peran perempuan. Yaitu reproduksi, produksi, dan merawat komunitas.

Dari sini kita belajar bahwa keterlibatan perempuan dalam merawat komunitas tidak bisa lepas dari stereotip gender yang secara sosial sengaja dikonstruksi. 

Menurut Kulmala, ini bisa dilihat dari bagaimana perempuan dianggap memiliki pribadi keibuan, mengasihi, dan memiliki tanggung jawab yang terlihat ‘lebih superior’ dibanding laki-laki. Meskipun keterlibatan perempuan di luar rumah dianggap memberdayakan, Moser justru menyarankan kita untuk tidak terkecoh.

Baca Juga: ‘Harus Berhenti Kerja, Urus Orang Tua’ Kerja Perawatan Masih Dipikul Perempuan

Ini dikarenakan kenyataannya banyak ditemui perempuan yang dipekerjakan merawat komunitas, tetapi hanya ditempatkan pada jabatan rendah dan dibayar murah. Sehingga, Moser menganggap peran merawat komunitas masih melanggengkan divisi gender dimana perempuan tetap memiliki daya tawar kuasa rendah.

Lagi-lagi, pihak yang paling diuntungkan dari hal ini adalah laki-laki. Karena menganggap perempuan lebih banyak memiliki waktu bebas dan mengakibatkan peran merawat komunitas dibebankan kepada perempuan.

Menariknya, Freeman dan Dodson sebagai dosen Sosiologi di Amerika Serikat menambahkan bahwa tidak semua perempuan yang terlibat dalam merawat komunitas melakukannya dengan senang hati. Sebagian dari mereka tidak memiliki opsi lain agar tidak dicap sebagai perempuan pemalas dan tidak berpendidikan oleh masyarakat sekitar. Sedangkan, sebagian lainnya mempertimbangkan jam kerja yang fleksibel. Meskipun pada akhirnya mereka dituntut untuk bekerja lebih banyak dengan upah yang rendah.

Dari buku Jan Newberry dan Saskia Wieringa, mereka menganggap bahwa negara bertanggung jawab dalam permasalahan ini. Sebab melalui hegemoninya, negara seringkali menjadikan perempuan sebagai alat politik dan pendukung ekonomi kapitalis. 

Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana negara yang jarang membuat kebijakan menguntungkan bagi perempuan. Karena belum menempatkan peran merawat komunitas sebagai bagian pekerjaan produktif yang layak dihargai.  

Menelusuri Perempuan Merawat Komunitas di Indonesia

Di Indonesia sendiri, kita tentunya tidak asing pada keterlibatan perempuan dalam komunitas. Seperti pada kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang memiliki unit terkecil Dasawisma, Jumantik, hingga Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). 

Sebagai organisasi semi-pemerintahan yang pertama kali didirikan tahun 1960-an di masa Orde Baru. Beberapa akademisi sosial menganggap bahwa pembentukan PKK ini menjadi alat hegemoni negara dalam memproduksi beban kerja tambahan perempuan sebagai kodrat perempuan untuk merawat komunitas. 

Bagi jurnalis dan akademisi Indonesia, Julia Suryakusuma, negara juga sengaja membangun narasi perempuan sebagai ‘fondasi pembangunan negara’ karena hal tersebut adalah manifestasi dari ideologi Ibuisme negara. Singkatnya, ideologi inilah yang kemudian memasukkan perempuan sebagai pekerja domestik di luar rumah yang dibayar murah atau tidak sama sekali dibayar karena sistem kapitalisme yang masih diproduksi hingga kini.

Bila kita melihat para perempuan pekerja di komunitas, atau disebut sebagai kader, kegiatan kemasyarakatan yang mereka lakukan masih terbatas pada kegiatan yang berhubungan dengan domestifikasi peran perempuan. Jarang ditemukan para kader ini ditempatkan pada posisi tinggi sebagai pengambil keputusan.

Baca Juga: Riset Konde.co: PRT Dianggap Unskilled Labour Dan Alami Penindasan Berulang

Padahal, melalui berbagai publikasi yang membahas kinerja para kader di masyarakat mengatakan kehadiran mereka cukup membantu dalam penurunan jumlah stuning anak, pencatatan administrasi pemerintahan daerah, hingga pencegahan wabah COVID-19 kemarin. Mereka pun seringkali dibebankan dengan pekerjaan tambahan di luar pekerjaan domestik. Seperti sosialisasi masyarakat untuk membayar pajak kendaraan, BPJS Ketenagakerjaan, dsbnya.

Sayangnya, bagaimana negara memberikan penghargaan atas peran perempuan di masyarakat masih minim. Hal ini dapat dilihat bagaimana promosi peran merawat komunitas sebagai pekerjaan beramal sebagai tabungan di akhirat untuk mendapatkan tenaga kerja murah. 

Seperti halnya dalam berbagai narasi para pejabat daerah maupun pernyataan Ibu negara Iriana Joko Widodo yang beberapa waktu lalu. Ia dengan bangganya ‘memanfaatkan’ loyalitas kerja para kader meskipun tidak dibayar. Belum lagi dengan adanya Permendagri No.36 Tahun 2020  yang mengatur tentang PKK dan kadernya sebagai pekerja sosial lepas yang sangat rentan untuk tidak mendapatkan perlindungan sosial yang layak.

Dari peraturan tersebut, maka semakin menjustifikasi bahwa kader PKK sebagai tanggung jawab dari tiap pemerintahan daerah (Pemda). Sehingga, ketimpangan penghasilan para kader antar daerah jadi hal yang tidak bisa dihindarkan. 

Baca Juga: Kritik Feminis: Pekerjaan Perempuan di Rumah Tak Pernah Dianggap Sebagai Kerja

Kini, masih ditemui Pemda yang tidak memiliki anggaran untuk PKK. Namun juga terdapat beberapa yang sudah memberikan PKK insentif dengan kisaran Rp 50.000 550.00 tiap bulannya. Alih-alih mendapatkan hak kerja yang layak, peran merawat perempuan pun masih dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi karena gaji para kader yang tak kunjung dibayar. Seperti yang terjadi di Takalar, Dompu, Deli Serdang, hingga Bekasi.

Tentunya, beberapa realitas tentang kader PKK di atas memperlihatkan kita akan beban kerja ketiga perempuan yang terlewatkan dari perhatian publik. 

Kehadiran mereka yang begitu dekat dengan masyarakat belum diimbangi dengan penghargaan yang setimpal. Karena terus dimanfaatkan oleh negara sebagai tenaga kerja murah. 

Selain mengharapkan negara untuk bisa merekognisi dan meningkatkan kesejahteraan para kader. tulisan ini menjadi pengingat bahwa peran perempuan menjaga komunitas sama pentingnya dengan kerja perawatan lain yang masih jauh dari prioritas negara.

Fitri Ayunisa

Mantan mahasiswi di studi pembangunan yang sedang menyibukkan diri sebagai peneliti kualitatif lepas dengan isu perempuan dan kelompok minoritas seksual.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular