Di Balik Romantis Film Ancika, Ada Bad Boy dan Maskulinitas Toksik

Kisah cinta romantis anak muda ‘Dilan 1991’ (2019) sukses di pasaran. Kini, trilogi film terbarunya, Ancika: Dia yang Bersamaku 1995, sedang tayang di bioskop. Apa yang bisa kita pelajari dari film ini? Alih-alih menganggapnya sebatas film romantis SMA.

Menonton film Ancika: Dia yang Bersamaku 1995’ (2024), sekilas memang berhasil membawaku bernostalgia pada kisah cinta masa SMA.

Serupa Ancika, aku pernah mengagumi laki-laki yang bisa diidentifikasi sebagai bad boy

Tipikal bad boy ini lekat dengan pribadi berkarakter pembangkang, tidak suka menyesuaikan diri dengan norma, sering nongkrong dengan teman-temannya tak tahu waktu, dan biasanya diasosiasikan dengan geng anggota motor. Tak selalu suka tebar pesona atau sporty, sosok mereka bisa juga misterius. 

Sosok seperti ini biasanya memang bikin penasaran. Makanya, tak jarang ia akan tampak lebih menarik. Ini kesan yang aku sematkan ke Dilan, kenapa mungkin saja dia banyak digandrungi. Termasuk di kalangan para penonton film ini yang mayoritas anak muda. 

Saat aku masih sekolah, standar bad boy tak jauh berbeda dari yang divisualisasikan Benni Setiawan, sutradara ‘Ancika’. Mereka biasanya naik motor saat ke sekolah. Motornya pun tak jauh-jauh dari Ninja, Vixion, RX King, dan sejenisnya. Para bad boy biasanya mengenakan jaket, berpenampilan tidak rapi, serta rambutnya yang berantakan dan hanya disisir menggunakan jari tangan.

Mereka banyak menghabiskan waktu di kantin atau warung dekat sekolah. Bahkan, mereka seringkali terlihat akrab dengan penjaga warung. Di sekolah, mereka juga terlihat ‘lebih berkuasa’ dibanding anak-anak Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Siapapun tidak ada yang berani melawan mereka, kecuali perempuan yang disukai atau diseganinya.

Baca Juga: ‘Sehidup Semati’ Buktikan Perempuan Korban Bisa Melawan KDRT

Sebuah studi menunjukkan bahwa perempuan ‘baik-baik’ bisa jatuh hati dengan bad boy. Perempuan seringkali dituntut untuk memiliki kepribadian yang lembut dan patuh. Tak jarang mereka dikekang aturan yang justru membatasi ruang geraknya. Perempuan seakan tidak memiliki pilihan dan tidak bebas.

Pembatasan tersebut bisa jadi membuat perempuan tertarik kepada bad boy. Perempuan melihat kebebasan sebagai sebuah pemberontakan. Apabila perempuan tidak bisa mengekspresikan kebebasan tersebut, maka tertarik dengan bad boy adalah cara mengagumi kebebasan yang diidamkannya.

Suatu ketika, Ancika yang diperankan Azizi Asadel/Zee JKT48, bertemu dengan bad boy legendaris se-Bandung Raya. Dia adalah Dilan (Arbani Yasiz), teman sekolah kakak Ancika bernama Anwar (Dito Darmawan). Ancika tidak pernah takut kepada siapapun, termasuk Dilan. Sikap inilah yang membuat Dilan kagum dengan Ancika.

Pesona Bad Boy di Pusaran Maskulinitas Toksik

Pesona bad boy yang dielu-elukan, bisa jadi tak jauh dari standar patriarki yang menuntut laki-laki harus terlihat maskulin. 

Maskulinitas toksik menggambarkan laki-laki yang dianggap bad boy ini, seolah disegani dan tidak takut pada ancaman apapun. Mereka harus bisa melindungi perempuan ketika dalam bahaya. Dengan begitu, perempuan akan merasa aman ketika bersamanya.

Hal itu tampak pada momen saat Dilan melihat Ancika bersitegang dengan Bono di warung pinggir jalan. Dilan merasa harus “menyelamatkan” Ancika. 

Sutradara film menggambarkan Dilan sebagai bad boy yang merasa tidak bisa tinggal diam. Ia harus membalas tindakan Bono yang menyakiti Ancika–orang yang disayangi Dilan–bagaimanapun caranya. Apalagi Dilan tahu, Bono adalah anggota geng motor sekaligus juniornya di sekolah.

Keesokan harinya, Bono dipersekusi oleh anggota geng motor lain. Banyak siswa di sekolahnya yang menyaksikan kejadian tersebut, termasuk Ancika. 

Baca Juga: Tahun Baru, 4 Film Perempuan Ini Akan Tayang Januari 2024

Tak berapa lama, Dilan datang dan menyerahkan diri ke polisi. Alih-alih meneruskan laporannya, Bono justru mencabut laporan dengan alasan karena Dilan adalah seniornya di sekolah dan geng motor.

Pengaruh Dilan yang cukup besar ini membuat siapapun tak berani mendekati dan menyakiti Ancika. Bahkan Yadit (Daffa Wardhana), lelaki yang dijodohkan dengan Ancika pun mengurungkan niat untuk pendekatan (PDKT) dan mengusik hidup Ancika lagi.

Jebakan maskulinitas toksik, bahkan yang seringnya tidak kita sadari, bisa berdampak buruk. Tak hanya pada perempuan akibat terbentuknya perilaku seksis termasuk perlakuan kasar atau kekerasan terhadap perempuan. Namun juga pada laki-laki karena norma-norma stereotip sempit yang membatasi. 

Laki-laki selalu dituntut untuk mempertanggungjawabkan ucapannya. Bagaimana jika ada kejadian yang membuatnya terpaksa mengingkari ucapan tersebut? Apakah ia lantas disebut sebagai lelaki yang tidak maskulin? Justru dengan mengakui kesalahan dan menjelaskan penyebabnya adalah bentuk tanggung jawab.

Perempuan Rentan Dimanipulasi dan Terjebak Hubungan Toksik

Tak pernah terbesit dalam pikiran Ancika bisa dekat dengan Dilan. Sebab sedari awal, dia memang tidak menyukai anggota geng motor. Pun tidak berniat mau berpacaran dengan siapapun. 

Ancika ingin fokus sekolah. Sebagai siswi kelas 12, ia harus mempersiapkan ujian kelulusan dan ujian masuk perguruan tinggi. Salah langkah sedikit, Ancika tidak bisa masuk ke perguruan tinggi impiannya, Universitas Padjadjaran (UNPAD).

Namun, rasa cinta bersemi seiring berjalannya waktu. 

Pasca kejadian di kantor polisi, Dilan tidak pernah menghubungi Ancika lagi. Setiap hari, Ancika selalu menunggu kabar Dilan. Selang beberapa waktu, Dilan menelpon Ancika dan bercerita bahwa ia kehilangan “dirinya”.

Dilan menjanjikan akan menemui Ancika esok hari setelah “mengurus negara”. Ancika bertanya-tanya, apa maksud Dilan berkata seperti itu? Yang Ancika tahu, Dilan akan menemuinya sore hari saat Ancika sudah pulang sekolah. Sayangnya, Dilan tak kunjung datang. Hal ini lantas membuat Ancika kembali marah dan kecewa.

Sikap ‘pasif agresif’ yang dilakukan Dilan ke Ancika itu terjadi berulang kali. Dalam film ini, aku juga merasa sudut pandang penceritaan lebih condong pada Dilan. Bagaimana dia bisa berbuat sesukanya dan memutus komunikasi tiba-tiba, sementara Ancika diposisikan hanya menunggu dan menuntut kepastian. 

Baca Juga: Perlawanan Seksisme Dalam Serial ‘Merajut Dendam’

Dalam hal ini, sutradara Benni Setiawan juga menyajikan konflik yang serba tanggung. Tidak ada konflik yang membekas dalam benakku. Yang ada justru pertanyaan-pertanyaan yang tak menemukan jawab. Karakter Ancika seolah tidak bisa melawan tindakan Dilan. Padahal, ia juga berhak mendapat kejelasan.

Dalam hubungan, tarik ulur tentu menjadi hal yang sangat melelahkan secara mental. Tak jarang, muncul pertanyaan-pertanyaan yang menumbuhkan perasaan bersalah. Padahal sebetulnya, dia sedang dimanipulasi. 

Pola seperti ini sering disebut ghosting. Ghosting adalah tindakan mengakhiri komunikasi secara tiba-tiba dengan seseorang tanpa penjelasan. Hal ini juga termasuk salah satu strategi manipulasi untuk menarik ulur perasaan seseorang. 

Sama seperti Ancika, saat aku duduk di bangku kelas 12, aku sedang menjalin hubungan dengan kakak kelasku. Ia berkuliah di salah satu universitas swasta di Bandung. Aktivitas anak sekolah dan mahasiswa tentu saja berbeda. Kondisi ini membuat perempuan–terutama yang lebih muda–rentan dimanipulasi.

Aku tidak pernah membayangkan bagaimana kehidupan mahasiswa ketika masih duduk di bangku sekolah. Yang aku tahu, setelah selesai kuliah, mereka akan mengerjakan tugas di kos atau di kampus, atau mengikuti organisasi. Aku tidak menyangka bahwa mereka akan berkegiatan sampai lewat dari tengah malam.

Baca Juga: ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’ Mungkin Cinta Tidak Harus Memiliki

Sayangnya, Ancika–dan aku pribadi–tidak menyadari bahwa ghosting ini termasuk ciri-ciri hubungan toksik. Perempuan seolah dibuat bergantung dengan laki-laki dan tidak bisa lepas dari lingkaran beracun tersebut. Perasaan marah dan kecewa tidak semata-mata mampu menjadi alasan untuk pergi.

Bagian film inilah yang membuatku sebal ketika mengingat kisah cintaku di masa SMA. Saat itu aku jadi korban manipulasi akibat ghosting, dan aku tak menyadarinya. Aku bertahan meski lelaki ini sering menghilang secara tiba-tiba. Bahkan saat dia muncul, tidak ada kata maaf terucap dari mulutnya.

Sungguh, kisah cinta yang melelahkan, tetapi sering terjadi di sekitar kita.

Bagaimana hubungan cinta Dilan dan Ancika selanjutnya? Tonton film Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 di bioskop ya. 

(Sumber Gambar: IG Ancika Movie Official)

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!