Gemuruh sorai para aktivis terdengar di dalam ruangan, ketika hakim memutus bahwa Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, dua aktivis HAM ini, tak bersalah.
Teriakan yel-yel kemenangan, “Kami Bersama Haris dan Fatia!” kemudian bergemuruh sampai di luar sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, kemarin 8 Januari 2024.

“Kami berterima kasih pada lawyer yang menangani kasus ini, mereka adalah penegak hukum tertinggi saat ini di Indonesia. Mereka bekerja dengan pengetahuan, mereka bekerja dengan skill, dedikasi waktu yang luar biasa… Ini aktivisme yang berpihak pada lingkungan hidup, masyarakat adat,” kata Haris Azhar sesaat setelah kasus ini divonis oleh ketua majelis hakim.
“Ini bukan perjalanan terakhir demokrasi di Indonesia. Saya berterima kasih pada Bang Haris yang selalu menguatkan saya selama ini. Jika tidak berdua, mungkin saya tidak kuat,” Fatia kemudian menambahkan pernyataan Haris. Air matanya menetes.
Baca Juga: Sidang Haris Azhar-Fatia Diwarnai Debat, Mereka Tegas Nyatakan Tak Bersalah

Mobil komando di luar pengadilan lalu dipenuhi dengan orasi para aktivis. Pengadilan penuh dengan aktivis HAM, aktivis Papua, dan para korban HAM. Ada korban penghilangan paksa, korban penggusuran, korban PHK, dan keluarga korban yang selama ini menjadi bagian dari aksi Kamisan Kontras. Mereka tumpah ruah jadi satu.
Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, keduanya didakwa telah melakukan pencemaran nama baik pada Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan sejak setahun lalu. Dakwaan terhadap Fatia dan Haris didasarkan pada paparan diskusi keduanya tentang hasil riset berjudul Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua yang risetnya dilakukan Koalisi Bersihkan Indonesia.
Diskusi tersebut disiarkan lewat akun Youtube milik Haris Azhar. Fatia dan Haris kemudian dituntut melakukan pencemaran nama baik. Jaksa menuntutnya dengan 3 tahun dan 2,5 tahun penjara.
Kasus ini terjadi sejak Maret 2022 atau sekitar 2 tahun lalu. Sidang pertama kasus ini dilakukan 3 April 2023, dan 9 bulan kemudian atau 8 Januari 2024 kemarin, keduanya diputus bebas.
Baca Juga: 5 Pasal Revisi Kedua UU ITE Ini Bisa Ancam Perempuan

Usman Hamid, mantan Direktur Kontras yang saat ini bekerja sebagai Direktur Amnesti Internasional Indonesia, kami temui di sela-sela aksi di luar sidang.
Kemenangan Fatia dan Haris bagi Usman Hamid punya arti. Ada harapan baru untuk perkembangan demokrasi yang sedang mengalami kemunduran sekarang ini. Walau ini harus dikembangkan terus. Karena masih banyak aktivis yang dibungkam karena kritis dan menghadapi proses peradilan dan kriminalisasi seperti yang terjadi pada Fatia dan Haris.
Kasus ini juga punya arti besar untuk memahami Papua. Seluruh amar pertimbangan majelis hakim mengakui soal kebenaran ilmiah dan faktual dari hasil kajian cepat yang dilakukan oleh 9 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Bersihkan Indonesia. 9 organisasi ini adalah Pusaka Bentara Rakyat, LBH Papua, WALHI Papua, Greenpeace Indonesia, YLBHI, WALHI Nasional, KontraS, JATAM dan Trend Asia.
“Amar pertimbangan hakim, baik itu dari kepentingan bisnis dari luar negeri yang berafiliasi dengan para pejabat di Indonesia yang ternyata memiliki saham besar juga. Dan karenanya terdapat benturan kepentingan, dan karena itu harus dikoreksi sebenarnya,” ujar Usman Hamid pada Konde.co
Putusan hakim juga menunjukkan betapa perjuangan untuk mengkritik kebijakan pemerintah seperti operasi militer, tak boleh gentar apalagi dikriminalisasi.
Baca Juga: Kita Mau Dibikin Takut Bersuara, Tuntutan Fatia-Haris Jadi Alarm Bahaya Demokrasi
“Putusan ini justru membuktikan bahwa pejabat yang selama ini menyudutkan LSM sebagai kepanjangan tangan kepentingan asing. Justru dalam amar putusan majelis hakim justru terbukti ada orang-orang yang punya kepentingan membawa modal-modal asing.”
Pendekatan ekonomi Indonesia selama ini masih mendekatkan diri pada para pemodal asing. Ini yang membuat buruh dan para petani yang lahannya selalu kena dampak, dan masyarakat Papua yang terkena dampak bisnis.
“Pengelolaan modal asing dikelola secara tertutup dan memuat atau membawa kepentingan segelintir pejabat yang kebetulan bertugas untuk mengurus bidang-bidang investasi. Harusnya ada koreksi juga bagi pemerintah dalam melakukan pendekatan ekonomi di Papua.”
Jadi Usman Hamid mengatakan bahwa sudah saatnya stop berorientasi ekonomi hanya pada pemodal asing atau mengeruk kekayaan alam saja. Kedua, tidak boleh ada benturan kepentingan antara pejabat yang berinvestasi dan punya kepentingan bisnis yang diuntungkan oleh aliansi dengan pemerintah Indonesia dengan perusahaan asing seperti yang terjadi selama ini.

Vivi Widyawati, aktivis perempuan dari Perempuan Mahardhika mengatakan, bahwa kemenangan ini bukanlah hadiah, tapi ini adalah perjuangan para korban bersama masyarakat.
Sedangkan aktivis buruh, Ilhamsyah di luar pengadilan yang ditemui Konde.co, menyatakan bahwa kebebasan Fatia dan Haris adalah wujud perlawanan dan persatuan rakyat atas rezim yang membungkam.
Baca Juga: Aktivis Perempuan Solidaritas Bebaskan Fatia dan Haris
‘Ini adalah kemenangan rakyat yang terbungkam. Juga perjuangan masyarakat Papua harus didengarkan oleh negara, ada kelompok Papua yang harus didengar dan negara jangan menyikapinya secara represif.”
Suara kritis tak boleh dibungkam. Yunita Penggu, dari Aliansi Mahasiswa Papua, sesaat setelah persidangan, pada Konde.co menyatakan harapannya. Selama ini ruang kebebasan ekspresi di Papua dibatasi. Yang terjadi pada Fatia dan Haris adalah kemenangan.
“Selama ini ruang demokrasi di Papua sangat tertutup, semua bisa saja ditangkap, bisa dianggap makar, bisa rasis. Hari ini di Papua tidak ada kebebasan untuk hidup.”
Fatia dan Haris Tak Gentar Hadapi Tuntutan

Kasus ini pertama kali terjadi ketika mantan Direktur Kontras, Fatia Maulidiyanti dan Direktur Lokataru, Haris Azhar dijadikan tersangka pasca pernyataan keduanya dalam talkshow di Youtube berjudul “Ada Lord Luhut Di balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya! Jenderal BIN Juga Ada!” berdurasi 35 menit yang berujung pada gugatan Menko Marves Luhut Panjaitan atas keduanya.
Mereka terancam dikenai UU pencemaran nama baik dan UU ITE, padahal mereka berdua hanya membahas hasil riset Walhi Indonesia dan beberapa lembaga non organisasi yang mencoba membuktikan bahwa operasi militer di Kabupaten Wabu, Papua Barat, bukanlah dilakukan untuk tujuan perdamaian dan keamanan Papua, melainkan untuk menguasai lokasi bekas tambang emas milik PT. Freeport Indonesia.
Perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Toba Sejahtera Group, PT. Antam Indonesia, PT. Madina Qurrata’ain hingga PT. Freeport Indonesia, masuk ke dalam daftar pemegang saham paling besar pada MIND.ID, pemegang konsesi dan izin untuk melakukan kegiatan pertambangan di daerah Wabu.
Kepemilikan saham yang sebagian besar dikuasai oleh purnawirawan TNI dan polri itu, lantas mengundang kecurigaan tersendiri. Termasuk, nama Luhut Pandjaitan sebagai Purnawirawan TNI yang kini menjabat sebagai komisaris PT. Toba sejahtera group, sekaligus menjabat sebagai Menko Marves di era pemerintahan Jokowi.
Selain itu, Purnawirawan TNI lainnya, Paulus Prananto dan purnawirawan polisi, Widya Tampubolon, juga ditemukan dalam riset itu. Keduanya, pernah masuk dalam tim bravo 5, yakni tim yang pemenangan Joko Widodo pada pilpres 2019.
Baca Juga: Fatia Maulidiyanti: Joget Gemoy? No! Anak Muda Butuh Politik Gaya Baru

“Tobacom Del Mandiri, anak perusahaan Toba Sejahtera Group. Pemegang sahamnya adalah lord Luhut. Selain Toba Sejahtera ada PT FI komisarisnya bekas pangdam cenderawasih. Mind.id sahamnya diisi tobagroup ada Luhut B Panjaitan, Paulus Prananto, Dewan Penasihat bin muhammad munir ada di mind id, di antam ada TNI Agus surya bakti, ada juga komisaris jenderal bambang surya bowo ada juga Donny Donardo dulu di BNPB,” terang Fatia beberapa waktu lalu.
Fatia melanjutkan, operasi militer yang dilakukan di kabupaten Wabu, tak lain adalah upaya untuk mempermudah pelaksanaan izin pertambangan. Menurutnya, operasi militer yang dilakukan pemerintah selama ini diindikasikan untuk keamanan dan kedamaian, yang bahkan sekarang melebar ke isu terorisme di tanah Papua itu tidak benar. Namun, ada indikasi mengkondisikan agar warga lokal mengungsi dan meninggalkan tanah adatnya.
“Kalau kita bicara tanah Papua itukan bukan tanah kosong ya, seharusnya dalam izin tambang perusahaan juga harus mengantongi surat izin yang sudah disetujui oleh warga lokal,” tambahnya.
“Tapi saat ini warga sudah banyak yang lari mengungsi ke daerah lain karena operasi militer itu,” sambung Fatia.
Baca Juga: Fatia dan Haris Didakwa Mencemarkan Nama Baik Lord Luhut, Aktivis: Pemerintah Anti Kritik

Bagaimanapun juga, Fatia menekankan, Pemerintah harus mencabut izin perusahaan, pemerintah perlu menarik TNI dan Polri, pemerintah juga harus menindak tegas aparat yang melanggar HAM. Sebab, operasi tadi hanyalah kamuflase di balik bisnis para purnawirawan TNI.
“Internally displace person, by force, titik awal permasalahan papua adalah militerisme yang katanya demi keamanan dan kedamaian sampai melebar ke terorisme, ternyata dibalik itu ada isu ekonomi,” tegas Fatia.
Pada 21 Maret 2022, polisi menjadikan Fatia dan Haris sebagai tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik dengan UU ITE.