Caleg Cantik dan Baliho “Mamah Semok” Menjual Sensualitas Perempuan? Ini Kampanye di Tengah Politik yang Sakit

Baliho “Mamah Semok” dan “Mamah Muda” yang dilekatkan pada Caleg perempuan dalam poster kampanyenya di Pemilu, seperti dilakukan untuk menjual sensualitas perempuan pendulang suara? Baliho ini hadir di tengah politik yang lagi sakit.
Edisi khusus perempuan Konde.co kali ini menyajikan artikel tentang kampanye caleg perempuan di tengah politik yang sedang sakit.

Yuniyanti Chuzaifah tampak gusar ketika membeberkan banyak poster caleg perempuan seperti dipasang untuk “dijual” tampangnya di jalanan.

Ada caleg perempuan yang menampilkan foto di poster agar terlihat lebih muda dari wajah aslinya. Ada juga yang menampilkan foto yang sudah didandani dan disulap. Seolah-olah, muda adalah tujuan, dan menua adalah akhir dari segalanya

Yuniyanti secara kritis mempertanyakan, ini merupakan tuntutan dari partai atau tim sukses yang meminta agar para perempuan ini terlihat cantik dan seksi?

Konde.co menelusuri, di sepanjang Palmerah, Menteng dan Depok, pemantauan menunjukkan ada 2 Caleg perempuan yang menggunakan slogan mamah semok dan mamah muda yang dilakukan Caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Desi Dwi Jayanti yang menulis slogan Mamah muda, dan Lydia Octavia menulis slogan Mamah Semok siap Melayani Depok di poster atau baliho di jalan. 

Di jalanan Jakarta yang lain, banyak poster yang menunjukkan kerapian, kegantengan dan juga kecantikan. Poster ini bertebaran dimana-mana.

Sejumlah aktivis menyatakan bahwa poster ini menunjukkan bagaimana wajah sekaligus juga sensualitas perempuan digunakan untuk mendulang suara.

Apakah partai mengharuskan para perempuan melakukan cara-cara ini untuk memenuhi kuota 3o% perempuan di parlemen? Bagaimana dengan Caleg laki-laki, apakah Caleg laki-laki juga harus melakukan hal yang sama? Bagaimana sikap partai, membiarkan, atau justru mengendorse kondisi ini demi memperbanyak suara partai?

Tim Konde.co melakukan penelusuran yang kami hadirkan dalam edisi khusus ini untuk mengetahui motivasi penggunaan tubuh dan sensualitas perempuan dalam poster atau baliho Pemilu.

Stigma Terhadap Perempuan Merambah ke Pemilu

Dalam sebuah acara yang digelar organisasi perempuan pada Desember 2023 lalu, aktivis perempuan, Yuniyanti Chuzaifah mengungkap tentang stigma yang dilekatkan pada perempuan dalam poster yang bertebaran di jalan ini. 

Stigma ini sama dengan kultur yang dilekatkan pada perempuan selama ini: sebagai perempuan yang diterima masyarakat karena ia cantik, ia seksi dan muda. Kemudian kultur ini dikuatkan dengan musim kampanye Pemilu.

Misalnya, Caleg yang tidak pakai jilbab atau kerudung, lalu dianggap sebagai Caleg yang bukan Islam. Ini merupakan stigma yang lagi-lagi dilekatkan pada perempuan, selain stigma cantik atau tidak cantik tadi, atau muda dan tidak muda tadi.

Stigma inilah yang kemudian dilekatkan pada perempuan, seperti perempuan harus semok atau seksi, atau sebutan mamah muda sebagai mamah yang ganjen dan genit. 

Dalam iklan, ini kerap dinamakan strategi beriklan, padahal yang dilakukan justru menguatkan stigma pada perempuan. 

Baca Juga: Gimana Nasib Perempuan di Pemilu 2024? Kita Hanya Lihat Barisan Bapak-bapak Politisi sampai Politik Dinasti

Yuniyanti menyatakan, seharusnya partai ikut bertanggungjawab untuk ini, karena ini dilakukan di tengah arus politik yang sedang sakit, sehingga mengorbankan para caleg perempuan.

Yuniyanti yang diwawancara Konde.co pada 22 Januari 2024 menyatakan, sejujurnya kondisi ini merupakan problem politik dan partai di Indonesia secara umum karena cara pandang patriarki yang membuat perempuan sebagai korban, termasuk para caleg perempuan. 

Selama ini misalnya, ada banyak perempuan cakap, pintar, namun dalam seleksi Pemilu, partai tidak sungguh mencari, tidak sungguh mengkader perempuan. Maka kondisinya, jika yang dimunculkan adalah perempuan, maka mereka adalah yang punya kapital ekonomi dan modal untuk mendulang suara secara cepat. Sedangkan di satu sisi partai minim memberikan pendidikan politik perempuan.

Selain itu karena seleksi cepat, yang dipilih yang muda dan good looking, atau jika laki-laki, yang dipilih adalah yang ganteng, punya kuasa.

“Jadi ada di pertemuan di Sulawesi, ada yang bilang, pilih aja yang cantik ya, muda dan menawan.”

Lalu yang sering terpilih adalah mereka yang punya hubungan biologis, anaknya orang terkenal, ada hubungan keluarga atau suami, anaknya mantan pejabat yang melanjutkan posisi itu. Kekuasaan untuk memilih ada di partai.

“Ini memang dilema di tengah politik yang maskulin dan patriarki. Bukan berarti semuanya buruk, karena kalau disuruh berkompetisi di pasar yang maskulin, bisa perempuan tidak lolos, kadang ada politik dinasti, pernah ada yang bilang: kalau disuruh kompetisi pasti gak bisa.”

Baca Juga: Caleg Perempuan Minim di Pemilu 2024, Hanya 1 dari 18 Parpol Penuhi Kuota 30%

Yang harus ditelisik menurut Yuniyanti, apakah perempuan ini memang ingin merepresentasikan dirinya, ataukah ini didorong memenuhi keinginan maskulin yang seksis sehingga kewarasan intelektual tidak menjadi visi yang mengedepankan nilai?.

“Yang kedua, cara seperti ini memperkokoh seksisme dan juga di dunia politik. Ini seperti menjajakan perempuan dalam dunia hiburan, padahal ini kontestasi untuk jadi perempuan pemimpin.”

Yuniyanti mempertanyakan, sebenarnya ini muncul darimana? Apakah dari partai yang meminta, atau dari tim sukses mereka yang meminta mereka biar ada kejutan di tengah semua poster dan baliho yang semuanya bergambar laki-laki?

“Jadi ini menunjukkan perempuan harus berjuang di tengah politik yang sakit.”

Kultur Patriarki Di Balik Sensasional Baliho Caleg Perempuan

Konde.co kemudian mewawancarai dua caleg perempuan PSI, Desi Dwi Jayanti dan Lydia Octavia, yang poster atau balihonya menggunakan slogan ‘Mamah Muda’ dan ‘Mamah Semok’ ini. Kami ingin mengetahui motif penggunaan slogan yang banyak dianggap menjual sensualitas dan sensasional untuk mendulang suara itu, apakah ini keinginan pribadi, keinginan tim sukses atau suruhan partai?

Desi Dwi Jayanti, mengatakan pemilihan branding Mamah Muda ini sebagai bentuk penggambaran atas identitas pribadinya. Yaitu, sebagai ibu muda 35 tahun dengan satu orang anak. Ia menikah muda ketika berusia 22 tahun, makanya ketika punya anak, sebutan Mamah Muda itu sudah akrab dengannya. 

“Sebutan Mamah Muda tuh sudah melekat di aku dari teman-teman, keluarga, sahabat, itu sudah sejak lama. Ditambah kenapa makin mantap menyematkan kata muda karena aku berasal dari partainya anak-anak muda, PSI, yang branding-nya memang muda gitu,” ujarnya ketika dihubungi Senin (29/1/2024).

Ide yang muncul darinya itu didiskusikan dengan tim sukses (timses). Hingga menjadi strategi kampanye untuk memikat perhatian masyarakat. 

“Dengan menggunakan psikologi terbalik atau jenis marketing yang terbalik,” katanya.

Baca Juga: Pemilih Perempuan Jadi Sasaran Politik Uang dan Janji Manis Kontestan Pemilu

Dalam istilah pemasaran (marketing), psikologi terbalik (reverse psychology) ini berarti taktik persuasi, dimana para pembeli mencari penjual yang menawarkan produk. Ini berkebalikan dengan strategi pemasaran umumnya, bahwa penjual mencari pembeli.

Kaitannya dengan kampanye politik, strategi itu bisa dimaknai promosi lewat alat peraga kampanye (APK) dengan memunculkan slogan yang mencolok —-bahkan berpotensi jadi kontroversi, untuk menarik perhatian target pemilih. Menyambung soal branding untuk kampanye yang mengikuti standar maskulin yang menempatkan perempuan sebagai objek sensualitas, ini bisa jadi melanggengkan kultur patriarki. 

Dalam prosesnya, Desi mengaku sebetulnya ada perdebatan yang cukup panjang dengan timses. Awalnya, Ia mengusulkan agar muncul barcode yang berisi penjelasan lebih lanjut soal penjelasan Mamah Muda seperti program prioritas yang diusung, namun tak jadi ditampilkan. 

“Tadinya aku sudah masukin (di baliho), kemudian dibikin barcode yang gede gitu supaya orang lari ke website itu lebih mudah. Tapi ada pertimbangan-pertimbangan visual yang menurut tim tuh, kalau baliho jangan terlalu padat, konten harus clean, harus compact, harus simpel dan konsisten untuk membuat orang tuh mudah ingat,” ceritanya. 

(Baliho Desi Dwi Jayanti versi awal (kiri) dan versi sekarang (kanan). Dok. Pribadi)

Strategi kampanye lewat balihonya pun mengerucut: lebih baik masyarakat mengingat branding yang menarik disertai nama dan nomor di baliho. Daripada baliho jadi penuh informasi, yang orang pun tidak dapat pesannya karena keterbacaan baliho di jalan hanya sekian detik. 

“Desain-desain awal yang ada barcode-nya, yang ada apanya (informasi lanjutan), itu gak approved semua sampai akhirnya final kita sepakati dengan desain yang ada di pinggir-pinggir jalan hari ini,” kata perempuan kelahiran Kediri itu. 

Dengan strategi itu, pada masa awal kampanye pihaknya memang sengaja hanya memberikan pancingan melalui slogan. Kemudian setelah perhatian publik tertarik, secara bertahap dia akan menjelaskan secara rinci. 

“Nah, aku menjawab secara rincinya tuh ada di websitenya aku. Sehingga, baliho itu ada call to action menuju web-nya,” imbuhnya.  

Ditelusuri dari website Desi Dwi Jayanti, ada 7 isu prioritas yang jadi andalannya. Mulai dari hak setara ekonomi, pendidikan, kesehatan dan ruang publik anak muda, sampai isu perempuan harus berperan yaitu memastikan kesetaraan akses ke sumber daya sosial hingga politik. 

Baca Juga: Debat Capres Cawapres Minim Soroti Isu Hak Perempuan

Momen viralnya baliho Mamah Muda yang sempat ramai karena di-roasting seorang influencer @rereanggara pun, Ia jadikan sebagai ruang memberi penjelasan lebih lanjut. Dari situ, dia membikin konten collabs yang disebarkan di sosmed. Di samping, juga menambahkan tambahan penjelasan ‘Memberi Akses Setara Perempuan di DKI Jakarta’ pada baliho yang mengusung Mamah Muda.  

Desi mengaku paham dan tahu betul, istilah Mamah Muda di tengah masyarakat bisa dianggap berkonotasi negatif dan sensual. 

“Tapi aku tidak dengan sengaja memakai itu untuk memang benar-benar bernada seksual. Tapi itu tadi, menggunakan strategi marketing terbalik,” ucap Caleg DPRD untuk Dapil DKI I (Jakarta Pusat) ini. 

Rujakan warganet, kritik aktivis perempuan, perhatian media, sudah pihaknya petakan sebagai hal yang bakal terjadi. Ini akibat konotasi negatif yang muncul dari penggunaan istilah Mamah Muda. 

Namun Desi bilang, selama ini Mamah Muda sebagai branding dirinya itu, tidak Ia maksudkan untuk objektivikasi perempuan secara seksual. Ia mengklaim, tidak ada satupun konten-konten di sosmed yang mengobjektifikasi diri secara seksual. Narasi yang ingin diberikan kepada publik adalah narasi tandingan dari konotasi negatif itu. 

“Mamah Muda yang benar-benar seorang ibu berusia muda yang berdaya, punya pekerjaan, punya karir yang sekarang banting setir jadi politisi. Mendengar aspirasi warga, blusukan, ngasih nomor teleponnya ke warga, ada aduan yang ditindaklanjuti. Ya itu narasi yang diberikan, ” ujar perempuan yang lama menjadi karyawan swasta di bidang media itu. 

Tak Mudah Berjuang Sebagai Caleg Perempuan

Sebagai caleg perempuan, Desi mengungkap memang tak mudah terjun di dunia politik. Di dapilnya saja, dia harus berkompetisi dengan 216 caleg, yang didominasi laki-laki dan punya kapital pendanaan besar. Banyak mereka juga punya privilese sebagai anak pejabat, selebriti, tokoh yang dihormati sampai incumbent.  

Itulah mengapa, caleg yang baru terjun di dunia politik seperti dirinya, perlu memikirkan strategi kampanye yang efektif dan sekreatif mungkin. Termasuk menarik perhatian publik seperti yang saat ini Ia dan timnya lakukan. 

“Strategi-strategi kreatif sengaja dirancang, sengaja didesain untuk merebut ruang itu. Dan ketika ruang itu sudah terbuka untuk kami, walaupun tone-nya negatif,  ya sekaranglah waktunya menjawab pancingan baliho itu. Terbukti efektif lho, makanya sampai bisa bikin konten collabs dengan influencer dan wawancara media. Bagus banget reach-nya, dan gratis,” katanya.

Baca Juga: Khristianti Weda Tantri: Dear Calon Presiden 2024, Sudahkah Anda Peduli dengan Isu Kekerasan Seksual?

Sama halnya dengan Desi Djayanti, yang makin dikenal dengan kampanye Mamah Muda. Lydia Octavia yang kini jadi Caleg DPRD Kota Depok Dapil Sukmajaya, juga jadi banyak menarik perhatian dengan kampanye Mamah Semok-nya. 

Dia menceritakan awal mula munculnya istilah ‘Mamah Semok’ itu, Ia katakan berasal dari sapaannya sebagai Mamah-mamah dari dua anak dengan postur tubuh agak berisi. 

That’s why kenapa dipanggil semok. Kalau di tempat gym suka fitness, aku juga runner, and then, gimana caranya kita coba biar diingat gitu, Mamah Semok kan,” katanya saat dihubungi Konde.co, Jumat (26/1/2024).

Lydia beranggapan, istilah dalam kampanyenya, Mamah Semok, bukanlah diksi negatif. Dia merujuk pada KBBI, istilah semok punya arti kembung atau gembung (tentang pipi orang gemuk). “Orang gemuk gitu kan alias chubby, jadi aku pun udah punya reason gitu atas perbuatan aku,” katanya.  

Maka dari itu, Ia bersama timses menggunakan strategi kampanye Mamah Semok, yang adalah plesetan dari kata Siap Melayani Depok (SMEOK). Dengan slogan ini, menurutnya bisa tampak ‘beda’ jika disandingkan dengan baliho-baliho caleg lainnya di Depok. 

“Memang Mamah Semok ini menjadi something new, karena sebelumnya itu gak ada tuh di Depok yang kayak gini, standar-standar aja,” katanya. 

(Baliho ‘Mamah Semok’ Lydia Octavia yang berada di kawasan Depok, Jawa Barat. Sumber: Twitter Titik Terang) 

Persepsi ‘Semok’ yang melekat di masyarakat yang merujuk pada seksualisasi perempuan ‘seksi dan montok’ itu, punya makna lain di matanya. “Semok sekarang bukan seksi dan montok doang lho, Semok itu Semangat Depok,” imbuh dia. 

“Mereka punya pandangan tersendiri terhadap aku, karena kita tidak pernah bisa memaksa setiap individu untuk melalui menyukai kita. Aku sih berpandangan seperti itu ya, kalau pas ke lapangan,” katanya. 

Sama halnya dengan Desi, Lydia tak memungkiri branding ini berpengaruh pada semakin dikenalnya dia. Kebanyakannya adalah kalangan muda yang melek sosial media. Tak sedikit dari mereka yang bahkan mengendorse ke lingkungan pergaulan atau pun keluarga. 

Sementara buat yang tidak suka dengan branding itu, Lydia bilang, ada saja komentar yang menghujat bahkan melecehkan. “Aku tetap menjawabnya dengan emoji love gitu, kadang kalau sungguh terlalu, aku jawabnya dengan hal-hal yang lucu aja sih,” katanya.  

Ditanya soal pelayanan kepada Depok jika dia terpilih jadi anggota legislatif, dia bilang akan berfokus pada pengembangan sumber daya manusia (SDM). Itu sesuai latar belakang pendidikan S1 dan S2 yang mengambil Psikologi. 

Pada anak muda, SDM yang ingin ditingkatkan ini soal kesempatan kerja dan pengembangan keterampilan. Dia misalnya saat ini, menginisiaikan #PSIBerkarir untuk menjadi ruang anak muda untuk itu. 

Dalam hal strategi kampanye ini, baik Desi maupun Lydia mengaku dipersiapkannya dengan timses. Partai tak banyak cawe-cawe untuk kampanye caleg. 

“Ini pure kampanye ranahnya Caleg dan tim suksesnya gitu ya. Selama tak merugikan partai dan tak melanggar hukum,” kata Desi. 

Baca Juga: Feby Damayanti: Bagaimana Hidup Transpuan di antara Janji Capres dan Caleg

Ketua DPP PSI Bidang Perempuan, Anak dan Kesehatan Imelda Berwanty Purba,  mengamini hal itu. Dia bilang, PSI sebagai parpol yang identik dengan kebebasan berkreasi, membuka ruang seluas untuk untuk caleg perempuan maupun kader untuk mengekspresikan otentifikasi dirinya masing-masing. 

“Narasi “Mamah Muda” dan “Mamah Semok” merupakan dua dari berbagai bentuk kemauan dari para caleg untuk mampu menginternalisasi dalam kultur atau kearifan lokal di daerah masing-masing, dan semoga upaya tersebut bisa mendapat tempat, bahkan diharapkan masyarakat di dapil yang dituju itulah yang menjadi bagian utama dari perjuangan masing-masing caleg,” ujar Imelda kepada Konde.co, Jumat (2/2/2024).

Dia melanjutkan, berbagai bentuk kreatifitas maupun upaya proaktif setiap caleg untuk memastikan PSI dan dirinya hadir di Masyarakat, pasti dipengaruhi juga oleh karakteristik masyarakat di dapil masing-masing. Ini bukan hanya sebagai gimmick semata, tapi merupakan salah satu bentuk pendekatan kreatif akan local wisdom di daerah masing-masing. 

Imelda yang kini juga mencalonkan caleg DPR RI DKI Jakarta II (Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Negeri) itu pun mencontohkan, dirinya mengusung Narasi “Stop Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak!” yang menjadi visi-misi dan sasaran utamanya. 

Baca Juga: Fatia Maulidiyanti: Joget Gemoy? No! Anak Muda Butuh Politik Gaya Baru

Hal itu menurutnya sangat penting, tidak hanya mengemuka sebagai jargon, melainkan merupakan salah satu pendekatan yang dia lakukan. Tujuannya, untuk terus memperjuangkan upaya perlindungan perempuan dan anak dari semua bentuk kekerasan.

“Ini isu yang konsisten kusuarakan dan kuperjuangkan sejak aku menjadi domestic violence survivor (penyintas KDRT) di 2015,” katanya. 

(Baliho kampanye yang mengusung slogan ‘Stop Kekerasan terhadap perempuan dan anak’. Dok Pribadi Imelda Berwanty Purba)

Ditanya soal upaya PSI mendorong kader-kader perempuannya sebagai caleg di pemilu 2024, dia bilang, PSI sebagai partai prinsip kesetaraan dalam mekanisme 

rekrutmen caleg, dan berupaya memenuhi standar minimal kuota caleg perempuan sesuai ketentuan yang ada yaitu 30% keterwakilan caleg perempuan. 

Dia berharap soal keberadaan caleg perempuan tidak hanya mampu menjadi aspirator bagi masyarakat. Tidak hanya untuk memenuhi kuota persentase keterwakilan Perempuan 30% di parlemen. 

Caleg perempuan PSI juga agar tidak untuk menjadi pelengkap kontestasi politik dalam pemilu, dan bukan untuk menjadi pilihan kedua setelah caleg laki-laki. 

“Bagi saya, politik bukan soal gender. Menjadi wakil rakyat bukan soal perdebatan tentang gender. Lebih dari itu, sebagai caleg perempuan, saya berharap publik dapat menerima kami sebagai pribadi-pribadi yang mau, mampu dan berani menjadi wakil rakyat berdasarkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan demokrasi yang mampu bersama masyarakat,” katanya. 

Menagih Tanggung Jawab Parpol: Penguatan Ideologi dan Mengikis Bias 

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, memandang saat ini kualitas demokrasi kita memang buruk. Itu tampak pada masih berseliwerannya narasi-narasi yang tak menjunjung tinggi kebebasan dan kesetaraan. 

Dalam hal kebebasan, hak-hak politik warga negara untuk bersuara dan menyampaikan pendapatnya masih belum terjamin. Pun masih ditemui banyak bias-bias dalam berkampanye. 

Dia mencontohkan, pemolesan kampanye caleg yang harus ‘cantik’ ‘ganteng’ ‘muda’ ‘agamis’ ataupun stereotip yang meminggirkan perempuan yang dianggap tidak cakap banyak sekali kita jumpai. 

“Kita memang tidak lepas dari kualitas demokrasi Indonesia yang buruk, sehingga yang namanya bias, ketidaksetaraan, jadi bagian dari narasi kampanye. Terus ini konsekuensi juga dari sistem pemerintahan dan pemilu (politik) yang berpusat pada sosok personal,” kata Usep kepada Konde.co, Kamis (1/2/2024).

Sistem pemilihan calon eksekutif dan eksekutif secara langsung ini, menurutnya, membuat kita terjebak pada sentimen personal demi meraih suara. Misalnya, caleg ini terkenal, kaya, rupawan, punya hubungan apa dengan siapa, dan lain-lain. 

“Jadi di antara ratusan caleg ini, mendorong orang itu tidak rasional lagi melihat kemampuan peserta pemilu. Karena lebih melihatnya ke sisi sentimen personal dari masing-masing, yang sebenarnya lebih tepat ada di ranah privat,” terangnya. 

Baca Juga: Fatum Ade: Wahai Presiden Baru, Isu Disabilitas Mental Bukan ‘Objek Jualan Politik’

Parpol menurut Usep Hasan memegang peran penting dan tanggung jawab soal ini. Pertama soal penanaman ideologi dan kaderisasi, yang selama ini justru tak sedikit yang kalah dengan aspek personal tadi. Dampaknya, parpol bisa terus melanggengkan bias-bias personal caleg untuk mendompleng suara. 

“Asal dia terkenal, asal artis, pesohor, entah itu dia bagian dari dinasti politik ataupun keluarga elit partai, maka dia mendapat prioritas dibandingkan kader-kader yang loyal dengan proses pendidikan dan pengkaderan parpol,” imbuhnya. 

Hal tersebut menurut Usep Hasan tak bisa dilepaskan juga dengan sistem yang ada saat ini. Bagaimana sistem pemilihan juga tidak mendorong partai untuk menjalankan peranan yang semestinya. Yaitu, selain menjadi wadah rekrutmen politik termasuk menyiapkan calon-calon anggota legislatif, juga meningkatkan partisipasi politik yang berkeadilan. 

Imbasnya, para parpol pun akhirnya banyak yang mengambil jalur pintas. Dibandingkan harus melalui proses kaderisasi yang panjang. Ini salah satunya dengan meningkatkan elektabilitas dan popularitas melalui hal yang kontroversial ataupun sensasional. Karena bisa lebih cepat dikenal masyarakat. 

Usep Hasan menilai, perempuan mengalami kerentanan yang berlapis di situasi ini. Bukan saja mereka terbebani ranah domestik yang masih timpang, tapi juga tantangan berat di sektor publik. Seperti halnya saat kontestasi politik yang membuat mereka harus ‘memutar otak’ agar menarik publik.

“Perempuan harus bersaing bukan hanya antar partai, tapi juga di dalam partai itu sendiri. Itu merugikan semangat solidaritas perempuan. Alih-alih saling support, perempuan ini saling ‘injak’ di dalam sistem ini,” katanya. 

Perjuangan untuk Berkampanye soal Gagasan

Konde.co lalu mewawancarai Eva Sundari (23/01/2024), seorang aktivis perempuan dan Caleg dari Partai Nasdem yang juga pernah duduk di parlemen. Slogan ‘Mamah Muda’, ‘Mamah Semok’ ini juga mendapat sorotan darinya. 

Eva mengaku sedih atas adanya fenomena ini, baginya kampanye yang mengarah kepada hal seksualistik justru merugikan caleg perempuan itu sendiri.

“Saya sedih ya, karena ada kontradiktif begitu. Dia (caleg) ini kan mau masuk ke politik tapi menggunakan simbol-simbol domestik, dan mengarahnya ke seksualistik. Padahal orang masuk ke parlemen ini kan karena gagasannya ya, karena gagasan kesetaraan dan lain-lain. Tapi kalau politiknya ini politik ‘kasur’ ini mengganggu perempuan. Nanti distigma semua sama” jelas Eva.

Hal lain yang disoroti Eva adalah minimnya gagasan dalam kampanye dan malah mengedepankan unsur seksualitas. Hal ini dianggap kemunduran karena tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat atau pemilih

“Ketika dia menggunakan istilah-istilah itu memperkuat domestik gender rule, seolah perempuan ya cuma dapur, kasur, pupur, sumur. Jadi kalau dia membawa itu dia seperti merendahkan perempuan. Begitu kan dia nggak punya gagasan ya, nggak siap bertarung. Ya mohon maaf itu jualan diri jadinya, ini pendidikan politik yang jelek kepada masyarakat. Jadi ini kemunduran, karena kita bertemu caleg yang vulgar. Harusnya partai memprotes sendiri bukan dari pihak luar. Saya juga memprotes sebagai aktivis perempuan bukan sebagai caleg,” lanjut Eva.

Baca Juga: Nenden Sekar Arum: Ini Tahun Politik, Perempuan Jadi Korban Digital, Tapi Tak Dianggap Vital

Lebih lanjut, ketika ditanya apakah alat peraga kampanye (APK) dipantau oleh partai pengusung? Eva menjawab bahwa hal ini harusnya menjadi komitmen bersama bahkan sudah diatur dalam undang-undang. 

Dalam alat peraga kampanye harusnya caleg meletakkan gagasan agar bisa ditangkap oleh masyarakat, bukan hal-hal yang justru merendahkan martabat perempuan itu sendiri.

“Harusnya jadi komitmen bersama, bahkan ada di UU membawa pemilih menjadi rasional bukan emosional. Takutnya ini politik dianggap guyon, padahal kita ingin menaikkan kualitas demokrasi, kualitas pemilu di mana ukurannya adalah mencerdaskan dan relasinya dengan gagasan. Politisi itu kan dilihat dari platform, apa yang akan ia perjuangkan di parlemen, harusnya caleg menunjukkan gagasan di APK masing-masing. Politik itu basisnya gagasan, bekas penjahat pun juga boleh ikut pemilu tapi harus ada gagasannya, pekerja sekspun boleh ikut pemilu asal ada gagasan, misalnya melawan drop out kepada perempuan karena apa? Karena dia korban para pekerja seks kelas bawah ini. Jadi ada gagasannya, membawa pemilih pada kesadaran,” jawab Eva.

Foto: Stiker Eva Sundari saat kampanye pertamanya (Doc. pribadi Eva Sundari)

Gagasan yang ditekankan Eva tidak terbatas pada hal-hal umum yang seperti selama ini kita pahami. Gaya menyampaikan gagasan bisa berbagai macam, Eva mencontohkan bagaimana seorang pekerja seks yang membawa gagasan di parlemen dengan gayanya sendiri. Meskipun hal itu tidak bisa diterapkan di Indonesia, tapi gagasan adalah hal yang bisa disampaikan dengan berbagai cara kreatif.

“Ada dulu pekerja seks, perempuan Italia mau masuk parlemen dengan telanjang dada, dia memang pekerja seks, dia mau perlindungan untuk pekerja seks, hak kerja formal. Itu ndak apa-apa tapi kan ada gagasannya. Kalau ndak punya program pribadi kan minimal jualan program partai” lanjut Eva.

Terakhir, Eva merasa seksualisasi tubuh perempuan dalam kampanye bukanlah hal yang lucu, justru menakutkan. Bagaimana legislator bisa membawa aspirasi jika hanya berisi guyonan. Hal seperti itu dirasa justru mengganggu.

“Ini sama sekali ndak lucu, malah menakutkan. Gimana kalau senayan nanti rumah rakyat jadi isinya lelucon. Ini nasib rakyat lo. Terus jangan fotonya dibikin lucu, komik dll. Jangan rendahkan anak muda dengan hal seperti itu. Itu kan mempermalukan diri sendiri, mengganggu jadinya,” pungkas Eva Kusuma Sundari. 

(Sumber Gambar: Twitter Titik Terang News)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!