Ilustrasi femisida

Kamus Feminis: Apa Itu Femisida? Kekerasan Berbasis Gender Berujung Kematian

Misogini membawa berbagai petaka bagi perempuan, salah satunya femisida. Kekerasan berbasis gender yang berujung kematian akibat kebencian terhadap perempuan.

Konde.co menyajikan kamus feminis sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata feminis agar lebih mudah dipahami pembaca.

Pada Kamus Feminis edisi sebelumnya, kita telah belajar tentang misogini atau kebencian terhadap perempuan. Dalam konsep misogini, perempuan dibenci karena ia perempuan. Nah, misogini tersebut sering kali termanifestasi dalam berbagai bentuk. Salah satunya—yang paling ekstrem—adalah kekerasan berbasis gender berujung kematian atau femisida.

Ini bukan sekadar istilah untuk ‘pembunuhan terhadap perempuan’. Ketika muncul istilah tersebut, berarti perempuan dibunuh karena ia adalah perempuan. Ini merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terwujud dari misogini atau kebencian terhadap perempuan.

Yang dimaksud ‘perempuan’ di sini bukan cuma perempuan cis dewasa. Transpuan, anak perempuan, hingga bayi perempuan juga rentan menjadi korban.

Mirisnya, pembunuhan berbasis gender masih sangat marak terjadi di Indonesia. Komnas Perempuan pada tahun 2023 menemukan, femisida terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Temuan mereka juga melihat femisida intim menjadi kasus yang paling banyak terdokumentasikan oleh media. Lebih parah lagi, kasus belum terdata dengan baik oleh institusi hukum sehingga mereka tidak memiliki data terpilah kasus.

Perempuan Dibunuh karena Ia Perempuan

Penulis feminis Diana Russell adalah orang pertama yang mencetuskan istilah femisida pada 1976. Dalam buku ‘Femicide: the Politics of Woman Killing’, Russell dan kriminolog Jill Radford mendefinisikan femisida sebagai, “Pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki.” Di tahun 2001, Russell mendefinisikan ulang istilah itu menjadi, “Pembunuhan perempuan oleh laki-laki karena mereka perempuan.”

Russell sendiri menekankan perbedaan antara femisida dan homicide (pembunuhan). Ia memang mengakui bahwa perempuan sendiri bisa jadi pelaku pembunuhan berbasis gender. Namun, bagi Russell, pembunuhan yang dilakukan oleh perempuan pada akhirnya juga menandakan bahwa mereka menjadi agen laki-laki atau patriarki.

“Bagaimana pun, banyak dari para perempuan ini beraksi sebagai agen dari laki-laki atau patriarki,” kata Russell dalam pidatonya di Simposium PBB tentang Femisida, November 2012.

“Sebagai contoh, laki-laki tidak akan menikahi perempuan dalam kebudayaannya yang belum dimutilasi genital. Para ibu di negara-negara yang memilih-anak-laki-laki terancam mengalami femisida jika tidak membunuh anak-anak perempuan mereka.”

Baca Juga: Laporan Femisida 2023: Suami Bunuh Istri Jadi Kasus Terbanyak

Selain Russell, sejumlah tokoh lainnya juga pernah membahas soal kekerasan berbasis gender berujung kematian. Salah satunya Catharine MacKinnon, ahli hukum sekaligus tokoh feminis radikal. MacKinnon melihatnya sebagai bagian dari kelanjutan kekerasan terhadap perempuan, yang juga mencakup pemerkosaan, penyerangan, dan pelecehan. Dia berpendapat bahwa femisida adalah bentuk kontrol laki-laki atas perempuan dan merupakan cara untuk menegakkan subordinasi perempuan.

Dalam buku-bukunya, MacKinnon menganalisis tindak kriminal tersebut dari perspektif hukum, politik, dan sosial. Dia berpendapat bahwa femisida adalah masalah global yang harus ditangani dengan serius. MacKinnon telah mengkritik hukum karena gagal melindungi perempuan dari pembunuhan berbasis gender seperti ini. Menurutnya, hukum sering kali bias terhadap perempuan dan pelaku sering kali lolos dari hukuman.

Melansir dari siaran pers Komnas Perempuan, Jamshed M. Kazi selaku Representasi UN Women Indonesia dan Liaison untuk ASEAN melihat pembunuhan terhadap perempuan berdasarkan gender kerap dipengaruhi oleh ideologi yang merendahkan perempuan. Kazi menyebut, perempuan dianggap tidak berharga hanya karena mereka tidak mematuhi norma sosial yang berlaku di masyarakat, norma-norma mengenai maskulinitas, dan relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan.

Bentuk dan Keterbatasan Data

Yang jelas, femisida adalah masalah global yang berdampak pada jutaan perempuan setiap tahun. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun sekitar 66.000 perempuan dibunuh oleh laki-laki. Tindak pelanggaran hak asasi manusia ini harus ditangani dengan serius.

Ada banyak bentuknya. Misalnya, pembunuhan perempuan karena ia menolak lamaran pernikahan atau hubungan seksual. Atau perempuan dibunuh karena tidak setia. Pembunuhan perempuan sebagai tanda ‘kehormatan’ hingga mutilasi alat kelamin perempuan juga merupakan bentuk femisida.

Namun, bukan berarti seluruh kasus pembunuhan perempuan adalah femisida. Hal itu disampaikan oleh Komnas Perempuan dalam siaran pers tentang Laporan Kekerasan Berbasis Gender Berujung Kematian (Femisida).

“Dalam konteks femisida, pembunuhan terhadap perempuan tidak bisa dilihat sebagai satu pembunuhan biasa,” tulis Komnas Perempuan. “Pun juga tidak semua pembunuhan terhadap perempuan dapat kita kategorisasikan sebagai femisida.”

Pembunuhan berbasis gender dapat terjadi di mana saja. Tapi temuan Komnas Perempuan pada tahun 2023 menunjukkan, kasus femisida intim jadi yang paling banyak teridentifikasi. Ia juga cenderung terjadi di ranah domestik. Pelakunya tak jarang adalah pasangan atau mantan pasangan korban sendiri.

Baca Juga: Viral Suami Pelaku KDRT dan Bunuh 4 Anak Kandung, Apa Hukuman Yang Tepat? 

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi dalam siaran pers, menyebut jenis femisida intim menempati pemberitaan tertinggi. Yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi yang mencapai 67% dari keseluruhan kasus diberitakan.

Di sisi lain, data pasti mengenai kasus seperti ini di Indonesia masih sulit diakses. Laporan Femisida 2023 Komnas Perempuan, misalnya, masih didasarkan pada pantauan pemberitaan media daring. Ini karena data terpilah tidak tersedia di institusi hukum. Hal tersebut menandakan bahwa penyelenggara negara maupun publik luas masih belum mengenali femisida dan urgensinya.

Pentingnya Mekanisme Perlindungan Sementara

Kekerasan berbasis gender adalah satu masalah dan tentu jangan sampai ia mengalami eskalasi sampai terjadi femisida. Pembunuhan terhadap perempuan karena gendernya sebagai perempuan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun.

Tindakan dan pembiaran terhadap femisida adalah tanda bahwa masyarakat dan negara masih sangat lekat dengan patriarki dan misogini. Alhasil, perempuan jauh dari ruang aman yang menjadi hak dasarnya sebagai manusia.

Seluruh pihak mesti berkolaborasi demi memutus rantai kekerasan berbasis gender dan menghentikan femisida. Efektivitas mekanisme perlindungan sementara bagi perempuan harus lebih diperhatikan. Apa lagi, hal itu telah terjamin dalam UU PKDRT dan UU TPKS. Mekanisme perlindungan sementara berarti memastikan ketersediaan rumah aman, pendamping korban, serta mekanisme kolaborasi di berbagai daerah.

Selain itu, pencatatan dan pengumpulan data kasus femisida juga harus dilakukan. Mestinya ada sistem pelaporan yang dapat mengidentifikasi hal itu sehingga kategorisasi data kasus lebih spesifik. Dengan demikian, data tentang femisida di Indonesia tidak harus merujuk pada pemberitaan di media, yang sangat mungkin tidak dapat memetakan situasi yang sebenarnya terkait darurat femisida.

Terakhir, tentunya, adalah kesadaran kita untuk membedakan kasus pembunuhan berbasis gender dari kasus pembunuhan lainnya. Jangan sampai kita membiarkan femisida terus terjadi. Perempuan juga berhak atas hidup dan ruang aman—dan, dengan alasan apa pun, tidak seharusnya dibunuh hanya karena dirinya eksis sebagai perempuan.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!