Mimbar Feminis Melani Budianta: Tahun 2024, Hati-hati Pada Penggerusan Demokrasi

Dosen dan aktivis perempuan, Melani Budianta menceritakan pengalaman, kekhawatiran, dan ajakan kepada aktivis perempuan untuk membangun kekuatan bersama melawan kekerasan dalam acara MIMBAR yang digelar Sekolah Pemikiran Perempuan.

Memasuki tahun 2024, rasa trauma akan penggerusan demokrasi masih menghantui masyarakat Indonesia, khususnya perempuan.

Kondisi ini bisa dilihat mulai dari proses menuju pencalonan presiden yang banyak menuai kontroversi hingga munculnya memori-memori kelam masa lalu.

Melani Budianta, seorang dosen sekaligus aktivis perempuan mengungkapkan kekhawatirannya akan proses pemilihan umum (Pemilu) 2024. Menurutnya, figur politik yang muncul dalam panggung pemilu kali ini akan membangkitkan traumanya terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat tahun 1998 dan polarisasi masyarakat tahun 2014.

Seperti pada Mei 1998, kasus perkosaan massal terjadi di Indonesia. Sebagian besar korbannya adalah perempuan etnis Tionghoa yaitu sebanyak 150 orang. Jumlah tersebut bisa saja lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak terverifikasi. Mereka ditemukan dengan berbagai kondisi: pandangan kosong, diam, stress, pingsan bersimbah darah, hingga meninggal karena dianiaya.

Kemudian pada tahun 2014, Pemilu diwarnai dengan ujaran kebencian akan ras dan agama tertentu. Bahkan ujaran kebencian ini juga merembet hingga pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta yang banyak beredar di media sosial. Politik identitas ini tentu dapat memecah belah persatuan masyarakat Indonesia.

“Ketika getaran ingatan itu menubuh dalam mimpi buruk dan penderitaan yang berkepanjangan, dan itu masih dalam proses pemulihan, kita khawatir bahwa kekerasan atas kemanusiaan itu dilupakan oleh generasi muda dan bisa terulang,” ujar Melani Budianta secara daring pada Sabtu (16/12/2023).

Baca Juga: ‘Diarak dan Dibuka Jilbab Secara Paksa’ Pemulung Tua Jadi Korban Kekerasan di Yogyakarta 

Orasi Melani ini disampaikan dalam edisi MIMBAR bertajuk “Meramu Kerja Feminis di Indonesia” yang digelar pada Sabtu (16/12/2023) di Pendapa Dalem Jayadipuran, Yogyakarta. 

Diadakannya MIMBAR di Pendapa Dalem Jayadipuran bukan tanpa alasan. Pada tahun 1928, Kongres Perempuan pertama berlangsung di sana dan dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan di seluruh Jawa dan Sumatera. Kongres ini bertujuan untuk menyatukan cita-cita dan usaha memajukan perempuan Indonesia.

Berangkat dari sejarah tersebut, Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) juga melakukan hal yang sama pada tahun 2023 lewat acara MIMBAR. MIMBAR sendiri adalah forum orasi atau kuliah publik yang digagas Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) untuk menampilkan pemikiran perempuan global.

Lembaga Pendidikan Masih Diskriminatif

Orasi Melani Budianta sekaligus mengingatkan bahwa masih banyak ancaman kekerasan terhadap perempuan dan kelompok marjinal yang seharusnya menjadi refleksi bersama. 

Ia menyontohkan diskriminasi terhadap transpuan di Yogyakarta pada tahun 2016. Kampus yang seharusnya bisa menjadi ruang aman dan nyaman bagi semua orang justru bertindak sebaliknya. Kampus justru mendiskriminasi seseorang yang ingin menggali pengetahuan di sana. Tentu saja ini adalah ancaman karena masyarakat menjadi tidak bebas mengakses pendidikan.

“Saat ini ada ancaman bahwa kampus menjadi tempat yang meminggirkan dan saya kira posisi kita jelas bahwa menolak diskriminasi dalam bentuk apapun,” tegasnya.

Belum lama ini, Dekan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada menandatangani surat edaran pada 1 Desember 2023. Surat edaran tersebut menyoal pencegahan penyebarluasan paham, pemikiran, sikap, dan perilaku yang mendukung dan/atau terlibat dalam lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

Organisasi Gaya Nusantara merespon surat edaran tersebut. Menurutnya, dunia pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi ruang inklusif dan aman bagi semua orang justru belum sepenuhnya bebas dari diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksual. Bahkan, dosen dan sosiolog, Dede Oetomo juga menyayangkan sikap UGM.

Baca Juga: Agresif di Media Sosial, Ini Bentuk Maskulinitas Toksik?

“Sangat memprihatinkan bahwa lembaga pendidikan tinggi, alih-alih mendasarkan pendidikannya pada sains, malah mendasarkan kebijakannya pada moralitas yang penuh kebencian pada orang yang berbeda,” ujar Dede Oetomo, Sosiolog Universitas Airlangga dalam unggahan Yayasan Gaya Nusantara.

Anggota Perkumpulan Suara Kita, Hartoyo memperingatkan agar UGM lebih waspada. Sebab, bisa jadi ada kelompok konservatif atau intoleran dengan isu LGBT di balik kebijakan diskriminatif tersebut. Kepada Konde.co, Hartoyo menyebut bahwa kepentingan ini tergolong politik negara.

“Mereka adalah kelompok-kelompok yang juga pendukung para teroris dalam beragam bentuk. Maka, jangan kasih ruang sedikit (pun) pada kelompok-kelompok intoleran atau konservatif,” ucap Hartoyo kepada Konde.co pada Senin (18/12/2023).

Sejatinya, musuh kelompok intoleran dan konservatif ini bukanlah LGBT, melainkan politik bangsa. Mereka menginginkan negara berbasis agama versi mereka. Terang saja, mereka akan terus agresif memperjuangkan kepentingannya sekalipun harus mendiskriminasi kelompok minoritas gender dan seksualitas.

Melani juga menceritakan pengalaman temannya yang berasal dari keluarga dengan pandangan berbeda: feminis dan konservatif. Alih-alih bertikai, mereka justru bisa menghormati satu sama lain. Mereka sepakat bahwa perbedaan tidak menghalangi seseorang untuk memperjuangkan kemanusiaan.

“Kampus sebagai pusat pengetahuan seharusnya memberikan rasa aman, nyaman bagi semua orang tanpa memperhitungkan dia latar belakangnya apa, orientasi seksualnya apa. Seharusnya pendidikan tinggi menjadi tempat menggali pengetahuan dan semua bisa nyaman di situ,” tegasnya.

Membangun Jaringan Melawan Kekerasan

Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) adalah ruang yang berdiri dari serangkaian lokakarya proses kreatif berperspektif feminis yang digagas para pengelola hibah Cipta Media Ekspresi (CME). Hibah ini diberikan kepada para perempuan pencipta, peneliti, dan pegiat komunitas seni dan budaya.

Sejak tahun 2020, Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) terus berusaha mengintervensi produksi pengetahuan yang mengerdilkan, menghapuskan, dan meminggirkan perempuan. Melalui edisi MIMBAR, SPP ingin meramu kerja para feminis di Indonesia lintas batas dan benua.

Cara meramu kerja feminis ini juga beragam. Mulai dari mengenali dan memetakan kerja feminis di berbagai lini seperti seni, teater, dan lain-lain. Hal ini secara otomatis akan menciptakan jaringan antar feminis lintas bidang yang saling berkaitan.

Beberapa jaringan yang disebut oleh Melani Budianta adalah Kalyanamitra, sebuah Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan yang memiliki referensi soal perempuan dan feminisme cukup lengkap. Ada pula Rahima yang mendekonstruksi fikih patriarkal dan mengembangkannya menjadi lebih egaliter dan berperspektif keadilan.

Dengan membangun jaringan, maka akan timbul rasa solidaritas antar kelompok. Hal ini sangat berguna untuk membangun kekuatan bersama sehingga bisa mengantisipasi segala sesuatu yang terjadi, khususnya kemungkinan adanya kekerasan terhadap perempuan dan minoritas.

“Mencegah agar pasca Januari Februari 2024 tidak terulang lagi (kekerasan terhadap perempuan dan minoritas), dan kalau perlu menghentikan sekarang juga proses-proses yang bertentangan dengan demokrasi dan kemanusiaan,” pungkas Melani.

(sumber foto: Sekolah Pemikiran Perempuan)

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!