Sumber: HRC Youth Report
Bukannya saya tidak mau, hanya saja kasihan jika anak saya hidup di dunia dan bertemu banyak mulut yang memandang negatif terhadap LGBT.
*Anggita A Andari- www.Konde.co
Kalimat tersebut saya lontarkan kepada teman SMA saya ketika ia bertanya bagaimana perasaan saya kalau kelak saya melahirkan anak yang kebetulan Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT).
Saya memang aktif menyuarakan hak kawan-kawan LGBT lewat tulisan saya di blog dan media sosial. Menurut saya revolusi gender itu benar adanya. Saya percaya gender merupakan spektrum yang cair, begitu pula orientasi seksual. Dekonstruksi atas konsep gender dan seksualitas tersebut merupakan bentuk perlawanan saya atas konstruksi gender dan seksualitas bentukan masyarakat patriarkal yang cenderung senang membebankan individu atas nama jenis kelamin.
Selain itu, ketertarikan saya dengan isu-isu LGBT juga berangkat dari banyaknya kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi pada kawan-kawan LGBT di lingkungan saya. Baru-baru ini, gencar pemberitaan di media sosial menyoal diskriminasi yang dilakukan beberapa institusi pendidikan tinggi negeri yang mengharuskan calon mahasiswanya untuk mengisi surat pernyataan yang memastikan bahwa mereka bukanlah LGBT.
Berbagai pernyataan berujar kebencian yang bersifat tidak masuk akal hingga pengazaban juga banyak dilontarkan oleh pejabat pemerintah, baik yang dinyatakan oleh komisi negara, kelompok Islam fundamentalis, hingga organisasi keagamaan arus utama. Dari mulai walikota, anggota DPR, hingga orang sekaliber menteri pun punya pemahaman demikian! Bahkan rektor di kampus saya pun pernah mengharuskan dosen kami untuk memberikan ceramah betapa bahayanya LGBT sebelum jam kuliah dimulai (walau pada akhirnya tidak berjalan).
Banyak dari mereka yang menggunakan agama, dalam hal ini kisah kaum sodom, sebagai justifikasi atas tindakan kekerasan baik verbal ataupun non verbal dan diskriminasi yang dilakukan mereka terhadap kawan-kawan LGBT. Padahal agama pun juga melarang manusia untuk menyakiti dan mendiskriminasi. Dan agama juga menyatakan bahwa Tuhan menciptakan makhluknya setara. Jadi mau menjadi lesbian, interseks, ataupun biseksual, mereka tetap setara dengan makhluk-makhluk heteroseksual lainnya.
Namun, dari segala macam cacian dan pertanyaan sinis yang dilontarkan, hanya satu pertanyaan yang tersangkut di otak saya: bagaimana jika anakmu LGBT?
Saya benci betapa piciknya pikiran teman saya yang menciptakan narasi seolah-olah LGBT merupakan penyakit kronis. Pada dasarnya, saya mafhum benar bahwasanya teman saya masih didominasi oleh propaganda intoleran yang anti-LGBT. Saya mengerti benar bahwa kadar penerimaannya masih belum selapang saya. Sebab sejak kecil kita dicekoki dengan dominasi narasi heteroseksualitas atas nama agama. Hanya saja bedanya saya lebih banyak mempelajari isu ini dan ia tidak.
Jika Anak Saya LGBT
Sesungguhnya saya tidak akan malu apabila kelak memiliki anak seorang LGBT. Orientasi seksual, ekspresi gender, dan identitasnya tidak akan mempengaruhi perkembanganya. Karena sebagaimana manusia pada umumnya, ia akan menjadi kreatif dengan banyak berkarya, dan menjadi pintar ketika ia banyak belajar. Hanya saja, di negara yang bahkan belum bisa melindungi kelompok minoritas dari opresi kelompok dominan seperti Indonesia, tumbuh kembang anak saya nantinya akan terganggu oleh kekerasan baik bersifat verbal ataupun non verbal, diskriminasi, serta stigmatisasi yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya.
Saya tidak sampai hati melihat anak saya nantinya memiliki tekanan mental yang begitu kuat karena lingkungan sekitarnya tidak suportif.
Tak terhitung banyaknya remaja LGBT yang bunuh diri karena bullying yang diberikan oleh lingkungan sekitarnya. Bukannya saya tidak mau, hanya saja saya tidak sanggup melihat anak saya kelak mendapatkan penderitaan sebegitu beratnya.
Jikalau nantinya anak saya seorang LGBT, saya akan tetap melindungi, mencintai, dan mendukungnya sepenuh hati. Saya tidak akan membiarkan anak saya mengakhiri hidupnya sendiri karena mulut-mulut serta perlakuan jahat sekelilingnya.
Pemerintah mungkin telah gagal dalam menegakkan komitmen HAM Internasional dengan melindungi kaum minoritas seperti LGBT, namun hal tersebut tidak akan membuat saya gagal dalam berperilaku welas asih. Tidak akan.
*Anggita A. Indari merupakan
mahasiswi semester akhir yang gemar bermain ‘ABC 5 Dasar’ bersama
kawan-kawannya di Sekolah & Perpustakaan Rakyat Bhinneka Ceria, Purwokerto, Jateng.