Kamus Feminis: Apa Itu Surrogate Mother atau Ibu Pengganti

Surrogate mother adalah metode yang dilakukan oleh seorang perempuan yang melahirkan bagi pasangan lain yang tidak bisa punya anak.

Konde.co menyajikan kamus feminis sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata feminis agar lebih mudah dipahami pembaca.

Kamu mungkin pernah mendengar istilah surrogacy atau surrogate mother (ibu pengganti). Beberapa waktu terakhir, isu surrogacy cukup ramai dibahas di media sosial.

Banyak orang menentang surrogate mother dari segi hukum, kesehatan, hingga agama. Di sisi lain, beberapa orang justru menyatakan bahwa perempuan berhak atas otonomi tubuhnya sendiri. Termasuk dengan menjalani praktik surrogate mother. Namun, apa sebetulnya yang dimaksud dengan surrogate mother?

Secara medis, sejumlah portal kesehatan, salah satunya Halodoc.com menuliskan, proses ini dimulai dari permintaan oleh pasangan laki-laki dan perempuan yang biasanya sulit punya anak. Cara melakukan ini adalah surrogate mother atau ibu pengganti dihamili melalui inseminasi buatan. Saat hamil, sel telur istri dan sperma suami (pasangan tersebut) menjalani fertilisasi in vitro, dan embrio yang dihasilkan dapat ditanamkan pada sang surrogate mother atau ibu pengganti. Biasanya dalam prosedur yang dijalankan, ibu pengganti yang telah berhasil melahirkan bayi dari kandungannya, akan menyerahkan bayi tersebut pada pasangan tersebut atau orangtua asli bayi.

Rosemarie Tong dalam bukunya, ‘Feminist Thought’, menjelaskan tentang surrogate motherhood. Menurut Tong, surrogate motherhood adalah pengaturan kontrak saat pihak ketiga dipekerjakan dan biasanya dibayar untuk melahirkan seorang anak. Kemudian anak itu akan dibesarkan oleh pasangan yang terikat kontrak. Terkait istilah, banyak feminis pada masanya lebih cenderung menyebut ‘contracted mother’ atau ‘gestational carrier’ ketimbang ‘surrogate mother’.

Dalam surrogate motherhood, Tong menulis, ibu kandung (perempuan yang layanan kehamilannya telah dikontrak) adalah ibu biologis secara penuh dari anak tersebut (baik ibu genetik maupun ibu kehamilan). Atau, dalam kasus yang lebih sering terjadi, ia menjadi ibu yang hamil, tetapi bukan ibu genetik dari anak tersebut.

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Femisida? Kekerasan Berbasis Gender Berujung Kematian

Proses surrogacy kerap melibatkan berbagai aspek hukum dan etika. Peraturan surrogacy sendiri dapat bervariasi di setiap negara atau yurisdiksi. Beberapa pasangan memilih surrogacy karena mereka menghadapi kesulitan biologis untuk memiliki anak, seperti infertilitas atau kondisi medis tertentu yang membuat kehamilan menjadi tidak mungkin. Surrogacy juga kadang menjadi pilihan untuk pasangan LGBTQ+ atau individu yang ingin menjadi orang tua.

Kendati demikian, surrogacy dan surrogate motherhood sering menjadi kontroversi. Bukan hanya di kalangan masyarakat luas, surrogate motherhood juga menuai perdebatan di kalangan feminis. Bagaimana feminisme melihat surrogacy dan surrogate motherhood?

Pro dan Kontra Feminisme Terkait Surrogate Motherhood

Terdapat sejumlah perdebatan mengenai surrogate motherhood dalam feminisme. Diskursus ini terutama muncul dalam spektrum feminisme radikal yang terbagi antara feminisme radikal-kultural dan feminisme radikal-libertarian.

Secara umum, feminis radikal-kultural menentang surrogate motherhood atau ‘ibu pengganti’. Sebab, hal itu menciptakan pembagian destruktif atas perempuan, terutama akibat perbedaan dan pembedaan kelas sosial dan ekonomi. Surrogate motherhood memisahkan antara perempuan berprivilese dengan perempuan yang memiliki keterbatasan ekonomi.

Menurut mereka, pada praktiknya, perempuan yang lebih mampu secara ekonomi bisa membayar perempuan miskin untuk memenuhi kebutuhan reproduksinya. Ini justru memperkuat ketidaksetaraan gender dan membuat situasi perempuan semakin rentan. Selain itu, kontrol atas tubuh perempuan juga tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga perempuan dengan kekuasaan sosial-ekonomi yang lebih tinggi.

Salah satu feminis radikal yang menentang surrogate motherhood adalah Andrea Dworkin. Dalam karya-karyanya, Dworkin kerap mengkritik institusi-institusi yang dia anggap memperkuat dominasi patriarki. Termasuk dalam konteks reproduksi dan seksualitas. Misalnya, ini memperkuat konstruksi jika perempuan harus melahirkan dan punya anak

Ia menyebut sistem surrogate mother atau ‘ibu pengganti’ sebagai eksploitasi terhadap perempuan yang rentan secara sosial dan ekonomi.

Dalam buku ‘Woman Hating’ (1974), Dworkin mengeksplorasi berbagai aspek seksisme dan patriarki. Termasuk tentang institusi perkawinan dan reproduksi yang dapat menjadi instrumen untuk mengekang perempuan. Di dalamnya, ia menyoroti surrogate motherhood sebagai bagian dari sistem yang menindas perempuan dan menguntungkan laki-laki.

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Personal is Political? Betapa Politisnya Pilihan Perempuan

Selain Dworkin, feminis Gena Corea juga tidak menyukai gagasan surrogate motherhood. Menurut Corea, reproduksi disegmentasi sehingga seolah-olah ia hanya sekadar tentang cara produksi. Dalam bayangannya, di masa depan, tidak ada satu pun perempuan yang akan beranak-pinak, melahirkan, dan membesarkan anak. Malah, perempuan yang secara genetis lebih unggul akan menghasilkan embrio secara in vitro, perempuan yang bertubuh kuat akan melahirkan bayi tabung, dan perempuan yang ‘manis’ akan membesarkan bayi-bayi ini hingga dewasa. Pembagian kerja gender (gender division of labor) seperti itu mirip dengan distopia gambaran Margaret Atwood dalam ‘The Handmaid’s Tale’.

Namun, feminis radikal-libertarian tidak sepakat. Mereka merasa pembagian peran kerja dalam surrogate motherhood tidak mesti dilihat sebagai bentuk manipulasi laki-laki, seperti penilaian feminis radikal-kultural. Feminis radikal-libertarian berargumen dalam beberapa kasus, ibu ‘kontrak’ dan pasangan yang mengontraknya bisa tinggal berdekatan dan membesarkan anak secara kolaboratif. Jadi surrogate motherhood, dengan penanganan yang tepat, dapat mendekatkan perempuan antara satu sama lain.

Feminis radikal-libertarian menawarkan cara pandang lain. Yaitu dengan melihat para perempuan berkumpul (seperti para ibu yang sedang mengandung anak perempuan mereka) untuk mencapai, secara serempak, sesuatu yang tidak dapat mereka capai tanpa bantuan satu sama lain. Selama perempuan mengendalikan pengaturan reproduksi-kolaboratif, peran sebagai surrogate mother akan meningkatkan kebebasan reproduksi perempuan. Jadi, menurut feminis radikal-libertarian, hal itu bukan malah mengurangi kebebasan perempuan.

Surrogate motherhood juga dibahas dalam feminisme Marxis dan sosialis. Di satu sisi, ideologi liberal di negara-negara kapitalis memandang praktik seperti prostitusi dan surrogate mother sebagai bentuk kebebasan otonomi tubuh. Namun, feminis Marxis dan sosialis melihat bahwa ketika keputusan perempuan untuk menjual kapasitas seksual atau reproduksinya dilatarbelakangi kondisinya yang miskin, buta huruf, dan tidak memiliki keterampilan, kemungkinan besar hal itu lebih bersifat terpaksa alih-alih bebas.

Baca Juga: Kamus Feminis: Bagaimana Pandangan Feminisme Terhadap Aborsi Aman Bagi Korban Perkosaan?

Jadi, dari perspektif feminisme, surrogate motherhood menimbulkan berbagai variasi pandangan. Memang tidak semua feminis liberal mendukung gagasan ini, tapi secara umum mereka menekankan pentingnya hak individu dan otonomi perempuan dalam membuat pilihan reproduksi mereka sendiri. Oleh sebab itu, beberapa di antara mereka mendukung surrogate motherhood sebagai pilihan yang sah.

Sementara itu, feminisme radikal melihat surrogate motherhood mencerminkan fokus mereka pada akar penyebab ketidaksetaraan gender. Ini juga mendorong upaya mereka untuk merombak struktur masyarakat yang memperkuat dominasi patriarki. Mereka cenderung melihat surrogate motherhood sebagai fenomena yang memerlukan perubahan struktural dalam masyarakat. Di sisi lain, feminis Marxis dan sosialis menilai persoalan surrogate motherhood lebih lekat dengan isu ketimpangan kelas dan gender yang tumpang tindih.

Kerentanan Surrogate Mother

Selain kontroversi gagasan surrogacy motherhood yang digaungkan oleh para feminis, ada pula kerentanan lain yang dihadapi surrogate mother. Ini khususnya terkait isu kesehatan hingga jaminan hukum.

Dari segi kesehatan, salah satu risikonya ada pada proses kehamilan dan melahirkan bagi surrogate mother. Termasuk komplikasi seperti preeklamsia, diabetes gestasional, dan persalinan prematur. Kesehatan mental juga terancam karena proses surrogacy kerap memberikan tekanan emosional dan mental yang signifikan. Apa lagi terkait dengan ikatan emosional dengan bayi yang dilahirkan dan proses melepaskan bayi tersebut setelah lahir.

Kerentanan kesehatan reproduksi juga muncul pada prosedur medis dalam surrogacy. Fertilisasi in vitro, salah satunya, dapat berdampak panjang pada kesehatan reproduksi perempuan. Selain itu, surrogate mother tak jarang mengalami eksploitasi emosional, selain tentunya eksploitasi reproduksi. Hal ini terjadi ketika ia merasa dipaksa atau ditekan untuk menjadi surrogate oleh faktor-faktor ekonomi atau sosial.

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Misogini Atau Kebencian terhadap Perempuan

Dari aspek hukum, sampai saat ini belum ada hukum yang secara jelas mengatur tentang surrogacy. Perjanjian hukum yang dilibatkan biasanya kompleks karena berkaitan dengan hak dan kewajiban surrogate mother, pasangan yang menyewa, dan status hukum anak yang dilahirkan.

Di Indonesia sendiri, pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) mengatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:

  1. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
  2. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
  3. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Maka hukum di Indonesia hanya membolehkan metode bayi tabung. Dalam hal ini, pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.

Sering pula terjadi pengabaian kontrak dalam praktik surrogacy. Meskipun surrogate mother dan pasangan yang menyewa mungkin telah menandatangani kontrak surrogacy, kontrak tersebut tidak selalu diakui atau dilindungi oleh hukum. Terutama jika terjadi perselisihan antara pihak-pihak yang terlibat.

Dalam kasus surrogacy lintas kewarganegaraan, status hukum dan kewarganegaraan anak juga menjadi rumit. Ini kerap terjadi di beberapa yurisdiksi, apa lagi jika surrogate mother adalah warga negara yang berbeda dengan pasangan yang menyewa. Atau jika surrogacy dilakukan di negara yang memiliki peraturan yang berbeda tentang masalah ini.

Yang paling penting dan membahayakan bagi surrogate mother adalah ketiadaan perlindungan hukum baginya. Hal tersebut membuat surrogate mother rentan dieksploitasi dan jasanya disalahgunakan oleh pasangan penyewa atau pihak lain yang terlibat dalam proses surrogacy.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!