Period poverty dan kebutuhan pembalut

Period Poverty: Sediakan Pembalut, Stop Stigma Sebagai Perempuan Kotor karena Menstruasi

Tak semua perempuan di dunia bisa mengakses pembalut ketika menstruasi, bahkan mengakses air bersih pun kadang sulit. Belum lagi stigma yang mereka alami sebagai perempuan kotor.karena menstruasi.

Setiap bulan, para perempuan umumnya mengalami menstruasi yang kadang memiliki kadar kesulitannya masing-masing. 

Tidak hanya mengalami kram perut saja yang menjadi persoalan. Namun juga sulitnya menjangkau sanitasi menstruasi, seperti sulitnya mendapatkan akses pembalut hingga air bersih kala menstruasi.

Period poverty atau kemiskinan menstruasi ini merujuk ke dalam suatu keadaan kurangnya sanitasi menstruasi atas akses produk dan fasilitas untuk menstruasi. Seperti pembalut, kamar mandi, air bersih, pengelolaan limbah, dan edukasi. Tentu saja sanitasi menstruasi harus mudah dicapai oleh para perempuan yang sedang mengalami menstruasi. Sebab hal tersebut dilakukan untuk merawat kebersihan diri dan lingkungan.

Karena kurangnya sanitasi menstruasi ini membuat kemungkinan penyakit dalam yang berhubungan dengan vagina.

Diskriminasi Kala Menstruasi

Maraknya period poverty dan daruratnya sanitasi menstruasi semakin parah kala adanya beban stigma terhadap perempuan saat menstruasi. 

Ini bermula dengan adanya stigma-stigma buruk dari orang-orang terdahulu dengan menyimbolkan bahwa orang yang sedang menstruasi adalah sosok yang lemah dan kotor. Juga memandang peremouan yang sedang menstruasi adalah suatu hal yang tabu dan salah. 

Kemudian stigma ini membentuk adanya paradoks dan membatasi gerak-gerik perempuan yang sedang menstruasi. Produk-produk yang mendukung untuk menstruasi pun dinilai sebagai suatu barang yang memalukan, dengan memberikan istilah-istilah lain kepada pembalut. Seperti sebutan “roti jepang” untuk pembalut.

Baca Juga: Dear Laki-Laki, Kamu Bisa Bantu Perempuan yang PMS Seperti Ini

Hal ini diperparah ketika remaja-remaja yang sedang menstruasi sedang berada di sekolah. Bagi perempuan yang duduk di bangku sekolah, mereka yang sedang mengalami siklus menstruasi seringkali diolok-olok atau dicela. Seolah-olah menstruasi adalah aib dan tidak lazim. Hal ini sering terjadi kepada perempuan remaja yang menstruasi dan menjadi sasaran sebagai bahan perundungan hingga pelecehan.

Fenomena ni tentunya menimbulkan adanya sebab-akibat. Berimbas kepada orang-orang yang sedang menstruasi, merasa malu dan enggan mengakui bahwa mereka sedang menstruasi. 

Padahal, menstruasi adalah hal yang normal dan respons alamiah tubuh. Inilah akibat dari kurangnya edukasi seksual yang ditanam di setiap anak dan membuat semua hal-hal seperti menstruasi menjadi tabu. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab period poverty: kurangnya gerakan untuk membuka mata kepada suatu hal yang sewajarnya dan miskinnya ilmu pengetahuan mengenai siklus normal pada tubuh.

Kemudian, bagaimana bagi mereka yang tidak sanggup membeli pembalut?

Ternyata, sampai sekarang, banyak yang tak bisa mengakses pembalut. Keresahan ini terjadi kala orang-orang yang kurang mampu dari segi ekonomi tidak bisa membeli pembalut yang higienis. 

Dengan membeli pembalut reject atau repackage menjadi jalan keluar yang solutif. Sempat ramai di media sosial menyoal pembalut reject dan repackage dijual secara eceran dan memperlihatkan kualitas pembalut tersebut.

Kondisi pembalut-pembalut itu dapat dikatakan jauh dari kata layak untuk digunakan karena pembalut yang dijual eceran tersebut terdapat bercak merah muda, jingga, hingga biru di permukaan pembalut. Bercak-bercak tersebut adalah tinta dari produk gagal pabrik. Naasnya, pembalut-pembalut itu dijual oleh berbagai toko daring dan sudah terjual banyak.

Banyak yang berkomentar bahwa hal tersebut tidak lazim jika membeli pembalut dengan kualitas rendah, tetapi perlu diingat bahwa kondisi finansial semua orang berbeda-beda. Harus diakui bahwa Indonesia masih kurang melek menyoal adanya period poverty dan fasilitas sanitasi yang menunjang.

Dari fenomena ini pun membuktikan bahwa minimnya sanitasi menstruasi yang setara dan merata kepada seluruh perempuan yang sedang menstruasi. Sedangkan, vagina harus berada dalam kondisi yang bersih dan higienis untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan adanya penyakit kelamin.

Baca Juga: Yuk, Berani Bersuara Menentang Hoaks Pembalut dan Seksisme Kesehatan Reproduksi

Akan tetapi, bagaimana dengan nasib para homeless dan perempuan yang sedang di daerah sulit mendapatkan akses sanitasi menstruasi?

Merujuk dari buku bertajuk “Go With The Flow”, seseorang yang menstruasi tetapi kurang beruntung secara finansial, tidak memiliki rumah (homeless), atau sedang dalam daerah konflik, mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan akses sanitasi menstruasi. Sebab, semuanya serba sulit dan keadaan pun tidak mendukung. 

Dalam keadaan yang kurang menguntungkan itu, mereka akan menggunakan koran bekas sebagai pengganti pembalut. Pun dengan memanfaatkan kaos kaki bekas, kain perca yang sudah lama, potongan-potongan kain, tisu toilet, dan kantong plastik. Hal ini mendasari karena tidak adanya fasilitas yang mendukung untuk sanitasi menstruasi secara gratis.

Dapat dikatakan seseorang yang bisa membeli pembalut yang nyaman dan higienis adalah sebuah keistimewaan. Keistimewaan itu harus didapatkan dan dirasakan oleh siapa saja yang mengalami siklus bulanan tersebut.

Lantas, isu ini tanggung jawab siapa?

Period poverty tentu saja menjadi isu global sebab semua negara harus memerangi isu ini. Fenomena ini menjadi tanggung jawab bersama untuk menghadapi isu global period poverty.

Akan tetapi, perlu adanya dukungan dari pemerintah dan harus mengambill kebijakan yang serius untuk menanggulangi isu ini. Selain menyediakan sanitasi menstruasi yang baik, pun adanya edukasi seks di pendidikan inklusi dan dukungan moral untuk semakin menyadarkan bahwa period poverty itu penting dan perlu difasilitasi. 

Contoh baik dari negara Skotlandia yang memberikan akses sanitasi menstruasi gratis kepada warganya. Dengan menyalurkan pembalut-pembalut gratis di setiap toilet-toilet sekolah, universitas, dan fasilitas umum. Tentu saja hal ini efektif untuk memberikan layanan sanitasi menstruasi kepada seluruh orang yang sedang menstruasi.

Orang yang sedang menstruasi akan sangat terbantu dengan adanya boks berisikan pembalut-pembalut gratis yang tersedia di fasilitas umum. 

Baca Juga: Sulitnya Menstruasi di Antartika, Minim Toilet dan Dianggap Tabu

Sayangnya di Indonesia belum banyak penerapan pemberian sanitasi menstruasi secara gratis. Hanya beberapa sekolah atau universitas yang melek dengan isu ini, dengan menyediakan pembalut gratis di setiap kamar kecil perempuan.

Akan tetapi, kamu juga dapat melakukan gerakan-gerakan kecil untuk membantu orang-orang yang sulit mendapatkan pembalut yang higienis, dengan menyumbangkan pembalut-pembalut dalam wadah di setiap toilet  umum. 

Aqeela Ara

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang kini magang sebagai reporter di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!