Bukan Adu Gengsi, Ini Cerita Bukber Yang Jadi Ruang Perjuangan Buruh Pabrik

Bagi buruh perempuan seperti Anti di Sukabumi dan para buruh di KBN Cakung, Jakarta Timur, bukber bukan sekadar jadi ajang kumpul-kumpul untuk adu gengsi. Dengan kesederhanaan mereka, bukber jadi ruang advokasi untuk memperjuangkan ruang aman dan hidup layak sebagai pekerja.

Ini bukan seperti jepretan estetik momen buka puasa bersama (bukber) yang biasa kamu jumpai di media sosial. Misalnya, ada foto bareng pakai dresscode di kafe kekinian. Atau juga kompakan ambil video ‘shik shak shok’ yang lagi viral di TikTok. 

Apalagi, pamer lanyard korporasi bergengsi dan gadget paling trendi. Sambil tentunya, ngobrolin pencapaian-pencapaian dengan sesekali mengomentari kehidupan pribadi. 

Jauh dari itu, para buruh pabrik di kawasan Sukabumi, Jawa Barat, berkumpul di sebuah petak ruangan sederhana. Mereka memakai pakaian ala kadarnya yang dipunya. 

Tampak ada beberapa plastik gorengan dengan es gocengan. Hidangan beratnya pun, bungkusan makanan yang dibeli di warung terdekat. Secukupnya, tidak sampai lebih-lebih. Sebatas cukup untuk dimakan tak sampai sepuluh orang yang hadir. 

Bukber itu mereka realisasikan, usai menunggu uang THR cair dari pabrik. Tepat di hari terakhir batas maksimal pembayaran yang ditetapkan di aturan ketenagakerjaan.  

Baca Juga: Diputus Kontrak, Dijanjikan Kerja Lagi Usai Lebaran: Akal-akalan Perusahaan Hindari THR Buruh 

Salah seorang buruh perempuan yang hadir, sebut saja namanya Anti. Sehabis bekerja seharian di pabrik garmen, Anti tergopoh-gopoh datang ke bukber itu. Rekan-rekan sejawatnya sesama buruh pabrik sudah menunggunya. Mereka saling bertegur sapa sambil menanti yang belum datang.

Di hari itu, Anti sengaja mengambil keringanan untuk memajukan jam pulang. Beruntung, kali ini dia diizinkan. 

Selama bulan puasa ini, Ia baru kali pertama ada agenda bukber. Selain uang THR yang sudah cair, dia juga baru sempat di tengah jam kerja yang padat dan target yang berat. 

Sehari-hari, Anti bekerja hampir seminggu penuh. Dia masuk hari Senin sampai Sabtu sejak pukul setengah 7 pagi. Dikarenakan jarak rumahnya dengan pabrik jauh, dia harus sudah berangkat sekitar sejam lebih sebelumnya. 

Dalam sehari, paling tidak dia mesti bisa produksi sebanyak 1.260 pakaian/ hari. Anti harus mengejar target sebanyak 180 pakaian per jam. 

“Kalau sekarang target itu sejam 180 (celana) dikali 7 jam (kerja). Lumayan banyak sampai gak bisa buang air kalau nggak dapat target,” cerita Anti kepada Konde.co

Baca Juga: Hutang, Cara Baru Menjerat Buruh Perempuan

Dari kerja itu, Anti tiap bulannya dapat gaji sebatas upah minimum. Sebatas cukup untuk membantu ekonomi keluarga dengan suaminya yang kerja serabutan sebagai kuli bangunan. 

Paling tidak, dia bersyukur, itu bisa menghidupi keempat anaknya yang bersekolah. Meski sesekali, juga gali-lubang-tutup-lubang alias berutang. Apalagi, kalau urusan biaya sekolah anak-anaknya. 

“Tahun kemarin barengan anak kedua masuk SMA, yang kecil masuk TK. Jadi yang SMP (ketiga) saya tunda, baru mau masuk tahun sekarang. Mudah-mudahan anaknya masih semangat untuk belajar,” kata Anti. 

Anak pertama Anti berusia 21 tahun. Dia baru saja menyelesaikan magang 3 bulan di salah satu perusahaan. Kini kontraknya sudah habis, tapi belum juga dapat pekerjaan. 

“Pengalaman masih seumur jagung, kebanyakan cari yang pengalaman,” imbuhnya.  

Bukber Jadi Ruang Perjuangan Advokasi

Bagi Anti, momen bukber jadi semacam jeda untuk berkumpul bersama teman-teman. Bukan untuk adu gengsi, Anti dan kawan-kawannya membicarakan situasi kerja buruh di pabrik. Mulai dari jam kerja yang padat, gaji minim, sampai kekerasan dan pelecehan pada buruh perempuan yang kerap terjadi. 

Dari perbincangan-perbincangan itu, mereka saling menguatkan dan mengorganisir diri bersama serikat pekerja. Momen pertemuan seperti bukber ini juga merupakan bentuk penyadaran satu sama lain di kalangan buruh. 

Hingga akhirnya, mereka bisa mengadvokasikan kebutuhan dan keluhan mereka ke pihak manajemen pabrik. 

Sebagaimana Anti, para buruh di Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Cakung, Jakarta Timur, momen bukber juga bisa jadi ruang advokasi. Mereka berkumpul bersama untuk membahas soal strategi atas kasus-kasus yang sedang mereka tangani. Mulai dari THR yang belum cair, PHK sepihak sampai ingkar janji perusahaan atas status kerja para buruh. 

Sekitar 50 orang hadir dalam bukber yang diselenggarakan serikat buruh pada Kamis (4/4). Mereka hadir dari berbagai perwakilan organisasi buruh seperti Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan beberapa organisasi serta individu lainnya. 

Salah satu kasus yang tengah gencar mereka advokasi adalah kasus buruh di PT Amos Indah Indonesia. Pelanggaran ini terkait pengangkatan karyawan dengan kontrak di atas dua tahun. Alih-alih diangkat menjadi karyawan tetap, mereka justru diputus kontrak dan dimutasi secara sepihak oleh perusahaan.

Baca Juga: Kami Merasakan Pahitnya di PHK

Sekretaris FSBPI, Lindah menyampaikan bahwa perusahaan sudah lebih dari melanggar Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Mereka justru mengancam ketujuh buruh tersebut jika tetap menolak perpanjangan kontrak. Mereka akan dimutasi ke tempat yang tidak sesuai dengan asalnya bekerja. Hal tersebut lantas membuat para buruh bersikeras untuk tetap memperjuangkan hak sesuai yang tercantum dalam PKB.

“Karena sama-sama bersikeras, perusahaan tetap ingin teman-teman kami dimutasi, dan kami menolak mutasi tersebut. Karena memang itu bukan berdasarkan kebutuhan perusahaan, tapi dasarnya itu adalah intimidasi dari perusahaan,” ujar Lindah kepada Konde.co.

Akhirnya, 18 buruh PT Amos Indah Indonesia melakukan mogok kerja dan bertemu dengan HRD perusahaan. Mereka nyatanya tidak disambut baik. Tak tanggung-tanggung, sekuriti pun dipanggil untuk mengamankan para buruh. 

Namun, mereka tetap berdiam diri di ruangan HRD meski tak membuahkan hasil.

Keesokan harinya, mereka melakukan mogok kerja di depan ruangan Presiden Direktur. Di sana, para pimpinan perusahaan mau berdialog dengan para buruh. 

Baca Juga: ‘Aku Bunuh Kamu, Aku Gantung Lehermu’ Kesaksian Buruh Perempuan di Balik Tembok Pabrik

Sayangnya, tidak ada kepastian soal kontrak tersebut. Mereka berdalih masih harus berunding sebelum mengambil keputusan.

“Jika kami ber-18 ini tetap melakukan aksi mogok di dalam itu dianggap mangkir. Sanksi-sanksinya itu bisa dianggap mengundurkan diri. Gitu ancamannya, jauh banget dari hasil perundingan,” ujar Lindah.

Perusahaan seolah menyepelekan perjuangan para buruh. Mereka mempermainkan para buruh yang sedang menuntut haknya. Lebih parahnya lagi, perusahaan memanfaatkan aksi mogok kerja untuk memberikan sanksi. Sebab, menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa buruh yang mangkir dari pekerjaan lebih dari 5 hari, maka upahnya tidak akan dibayarkan.

“Apakah ini bagian dari strategi perusahaan untuk mem-PHK sepihak yang secara otomatis itu kesalahan dilakukan oleh kami sendiri,” tambahnya.

Baca Juga: Buruh Perempuan, Keamanan dan Keselamatan Kerja

Akhirnya, para buruh yang mogok kerja ini menyusun siasat. Kebetulan hari Kamis (4/4) saat bukber itu merupakan hari keenam pasca mogok kerja yang dilakukan sejak tanggal 27 Maret lalu. Mereka memutuskan datang ke pabrik untuk bekerja, bukan untuk menuntut pimpinan seperti tempo hari.

Meski harus melalui proses yang berliku, para buruh tidak menyerah. Mereka tetap ingin berjuang mendapatkan hak yang telah dirampas oleh perusahaan.

“Kami akan tetap fokus di jalur litigasi sesuai dengan prosedurnya. Karena kami juga sudah melakukan dua kali perundingan deadlock (kebuntuan). Dan menurut prosedurnya itu sudah bisa maju ke mediasi kalau untuk jalur hukumnya,” katanya. 

Konde.co sudah berupaya menghubungi personalia PT Amos Indah Indonesia, Hastuti untuk meminta keterangan soal itu. Namun sampai tulisan ini tayang, belum ada respons.  

Buruh Perempuan Rentan atas Kekerasan di Dunia Kerja 

Riset Konde dan Voice “Derita Pekerja: Praktik Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” menunjukkan pekerja di Indonesia banyak mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Mereka juga mengalami diskriminasi perlakuan dan eksploitasi kerja. 

Dalam penelitian terungkap, banyak pekerja di Indonesia yang mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk, yaitu kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual. Selain itu para pekerja juga mengalami diskriminasi perlakuan, serta eksploitasi kerja.

Penelitian ini dilakukan terhadap 108 responden pekerja dan diskusi terfokus yang diikuti pekerja di berbagai sektor di Jabodetabek dan Serang, Banten. Dengan menggunakan metode survei dan diskusi terfokus secara daring, penelitian melibatkan para pekerja di berbagai sektor seperti manufaktur, sektor jasa, gig economy, penyandang disabilitas, pekerja rumah tangga dan LGBTIQ+.

Para peneliti, Lestari Nurhajati, Luviana Ariyanti, Syarif Arifin, Esti Utami dan Dwi Ayu Tisna Andini menemukan, sebanyak 34 persen responden buruh pernah mengalami kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Angka ini sangat signifikan, karena terjadi di Jabodetabek dan Serang Banten, yang merupakan miniatur profil representasi dari Indonesia. Mereka juga mengalami kekerasan dan pelecehan ketika melamar kerja, sejak berangkat kerja, ketika bekerja, pulang kerja, dan pengakhiran hubungan kerja.

Baca Juga: Riset Konde.co Paparkan Soal Derita Pekerja: Praktik Kekerasan Dan Pelecehan Di Dunia Kerja

Di era Cipta Kerja, buruh perempuan mengalami kerentanan yang berlipat. Ada beberapa ancaman yang muncul dalam Perppu Cipta Kerja termasuk mereka yang bekerja di pabrik. Mulai dari perluasan sistem outsourcing, politik upah murah, sampai semakin tidak pastinya bekerja. 

Soal sistem outsourcing, UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerjaan alih daya (outsource) dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi. 

Dalam Perppu Ciptaker tidak ada lagi penjelasan ketentuan yang mengatur batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat dialih daya. Sehingga, Perppu Ciptaker dapat memberi peluang bagi perusahaan alih daya untuk dapat memberikan pekerjaan kepada pekerja berbagai tugas hingga tugas yang ranahnya bersifat bukan penunjang. 

Sistem ini justru dapat membuat membuat sistem alih daya menjadi tidak terkontrol, apalagi Pasal 64 Perppu Cipta Kerja yang semula dihapus dalam UU Cipta Kerja. 

Pasal ini, tentu saja bisa  berdampak sangat merugikan utamanya bagi buruh perempuan di perkebunan sawit yang berstatus lepas. Praktik eksploitasi terhadap buruh perempuan akan semakin meluas dalam bentuk hubungan kerja prekariat (tidak menentu). 

Baca Juga: 5 Hal Yang Ancam Perempuan Dalam Perppu Cipta Kerja 

Pada pasal 88C ayat (3) UU/Perppu Cipta Kerja dan Pasal 25 ayat (2) PP No. 36 Tahun 2021 skema kebijakan pengupahan yang dirumuskan merujuk pada kepentingan pelaku usaha, khususnya kondisi bisnis perusahaan dan juga pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. 

Padahal, jika berbicara mengenai kebijakan pengupahan, mestinya merujuk pada kondisi objektif dan riil pekerja, di mana upah pekerja diproyeksikan agar pekerja dan keluarganya mendapatkan upah yang layak untuk penghidupannya, sehingga kehidupan lebih sejahtera.

Kondisi tersebut, menunjukkan UU/Perppu Cipta Kerja meletakkan kebijakan pengupahan sebagai sebuah ongkos produksi yang menjadi beban bagi perusahaan. Jika selama ini, kesenjangan upah buruh perempuan masih terjadi, maka dengan adanya Perppu ini kondisi buruh akan semakin buruk sistem pengupahannya. 

Baca Juga: Dear Pekerja, Ini Yang Harus Kamu Waspadai Dari Perppu Cipta Kerja

Persoalan lainnya yang jadi ancaman bagi buruh adalah adanya Ketidakpastian Kerja.

Pada penjelasan Perppu Cipta Kerja bagian Umum disebutkan, alasan dibutuhkannya penciptaan kerja salah satunya karena Penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, di mana sebanyak 81,33 juta orang (59,97%) bekerja pada kegiatan informal. 

Padahal, hal tersebut hanyalah pembenaran atas adanya praktik-praktik hubungan kerja non-standar (informalisasi) yang sekarang menjadi tren seiring dengan adanya disrupsi teknologi. 

Dalam Pasal 6 PP No. 35 Tahun 2021 diatur PKWT dilaksanakan paling lama 5 (lima) tahun, sehingga membuat kepastian Hak atas Pekerjaan semakin dijauhkan bagi para Pekerja/Buruh. Tak terkecuali, buruh perempuan. 

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular