‘Nanti habis lebaran kerja lagi ya”
Begitulah iming-iming yang dijanjikan oleh perusahaan kepada para buruh di salah satu pabrik di kawasan Cakung, Jakarta Timur, jelang lebaran tahun lalu. Walaupun dengan sistem kontrak, puluhan buruh kala itu menerima tawaran itu.
Malang tak bisa ditolak, perusahaan ternyata ingkar dengan janji itu. Panggilan kerja kembali para buruh, ternyata tak didapat. Para buruh itu sudah kadung diputus kontrak dan tidak dapat Tunjangan Hari Raya (THR).
Sayangnya, banyak dari mereka yang tak melaporkan kasusnya ke serikat pekerja. Makanya, tak sempat bisa diadvokasi oleh pengurus serikat di pabrik.
“Perusahaan mengiming-imingi, yaudah kalian putus kontrak gak apa, nanti dipanggil lagi, ga usahlah lapor ke serikat. Nah, akhirnya mereka itu gak lapor, bahkan gak berani diadvokasi,” cerita Jumisih, Ketua Federasi Serikat Buruh Perjuangan Indonesia (FSBPI) ketika berbincang dengan Konde.co, Rabu (3/4/2024).
Bisa dibilang, pola-pola seperti itu adalah akal-akalan perusahaan untuk menghindari pemberian THR kepada para buruh. Janji-janji yang mereka tebar juga digunakan untuk meredam perlawanan. Padahal, tidak ada sama sekali jaminan.
“Intinya, biar gak ada perlawanan buruh. Mereka (perusahaan) bilang, gak usah lapor-lapor serikat,” imbuhnya.
Baca Juga: Komnas HAM Minta Stop Permenaker 5/2023 yang Bikin Buruh Makin Sengsara
Hingga lebaran jelang 7 hari di tahun ini, Jumisih menyebut, setidaknya ada sekitar 3 laporan buruh yang diproses soal THR. Mereka mengadukan ke basis, tim advokasi tingkat pabrik, bahwa THR-nya belum dibayarkan. Meskipun, tidak ada keterangan sampai diputus kontrak seperti pola yang terjadi pada tahun lalu.
Jumlah itu bisa saja lebih banyak, karena tak semua melaporkan kasusnya ke serikat untuk diadvokasi.
“Hari ini mereka menuliskan surat pengaduan untuk diadvokasi oleh teman-teman pengurus di basis,” kata Jumisih.
Pemantauan Jumisih di pabrik sekitaran Cakung, ada pola-pola penerimaan THR pada buruh. Selain ada yang diputus kontrak agar THR-nya tidak dibayarkan, ada juga yang masih bekerja tapi tak dapat THR, sampai THR tidak sesuai dengan nilai proporsional yang diatur dalam aturan.
Ketua Basis di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Sri Rahmawati (45) misalnya. Dia mengungkap, saat ini tengah mengadvokasi para buruh yang bekerja di PT Amos Indah Indonesia selama dua tahun kurang yang terancam tidak mendapat THR tahun ini.
Para buruh itu berstatus terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Pihaknya, kini mengadvokasi bersama FSBPI.
Rahma mengatakan, kasus tersebut seolah terjadi berulang setiap tahunnya. Para buruh diberi kontrak sampai beberapa hari menjelang Lebaran. Dengan demikian, mereka tidak mendapatkan THR dari perusahaan.
“Hampir setiap tahun kami menangani teman-teman buruh yang selesai kontrak kerjanya sebelum Lebaran. Teman-teman secara Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun 2016 dianggap tidak mendapatkan THR,” ujar Rahma kepada Konde.co pada Sabtu (30/3/2024).
Baca Juga: 6 Hari Penting Perempuan di Bulan Mei: Hari Marsinah sampai Hari Kanker Ovarium
Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 Pasal 7 tertulis bahwa buruh PKWT tidak mendapatkan THR jika kontraknya selesai 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Menurut Rahma, aturan tersebut dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menyelesaikan kontrak buruh satu bulan sebelum Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 10-11 April 2024.
Pengaturan THR diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan yang dipertegas melalui Surat Edaran (SE) Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan 2024 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Pekerja/buruh yang bermasa kerja minimal 1 bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan THR secara proporsional. Dengan menghitung jumlah masa kerja dibagi 12 bulan dikali satu bulan upah.
Sementara bagi pekerja dan buruh yang telah memiliki masa kerja selama 12 bulan secara terus menerus atau lebih berhak mendapat THR sebesar satu bulan upah. Guruh pun mengingatkan agar perusahaan atau pemberi kerja wajib membayarkan THR kepada pekerja selambat-lambatnya 7 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri.
Lika-Liku Menuntut THR: Tidak Direspons dan Digantung Perusahaan
Rahma yang mendampingi para buruh berkasus soal THR mengatakan, sebelum maju ke pihak manajemen, para buruh yang kontraknya habis menjelang Ramadan diminta mengisi formulir pengaduan terlebih dulu.
Formulir ini sebagai data yang nantinya akan diajukan ke perusahaan. Data sekaligus menjadi bukti bahwa FSBPI tidak mengada-ada terkait persoalan tersebut.
Selanjutnya, FSBPI mengajukan formulir beserta surat perundingan kepada pihak perusahaan. Dalam hal ini, FSBPI tidak hanya mengadvokasi soal THR, melainkan juga buruh yang dikontrak lebih dari lima tahun agar diangkat menjadi karyawan tetap.
“Kami upayakan (THR) bisa dapat bulan April sebelum libur, karena sebelumnya juga seperti itu. Walaupun beda hari dengan teman-teman (buruh tetap) yang dapat THR,” ujar Rahma.
Di PT. Amos Indah Indonesia terdapat Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Perjanjian tersebut, memudahkan Rahma untuk mengadvokasi hak buruh PKWT agar tetap mendapatkan THR meski kontraknya habis di bulan Ramadan. Namun, ia mengalami kesulitan ketika akan mengadvokasi buruh dari perusahaan lain yang tidak memiliki PKB.
“Kalau di basis yang lain belum punya PKB sampai buruh selesai kontrak di bulan Ramadan tidak mendapatkan THR. Baru di basis Amos yang punya PKB seperti itu,” tambahnya.
Baca Juga: Urgensi Dosen Berserikat: Ini Cerita Para Dosen Perempuan
Baru-baru ini, manajemen di perusahaannya Rahma melakukan tindakan pelanggaran isi PKB dengan mengkondisikan para buruh menandatangani perpanjangan kontrak kerja hanya 1 bulan kepada para buruh yang sudah bekerja lebih dari 9 tahun. Padahal dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Pasal 8 ayat (2) Tentang PKWT menyebutkan:
a.Terkait buruh dengan status PKWT jika masa kerja lebih dari 2 (dua) tahun akan ada pengangkatan menjadi karyawan tetap.
b. Pengangkatan pekerja menjadi karyawan tetap pada ayat (a) tersebut diatas akan
dilaksanakan secara bertahap sesuai masa kerja dan setiap 2 (dua) bulan sekali sebanyak 3 (tiga) orang sesuai dengan perjanjian bersama nomor 02/PB PT. Amos 1.1/V/17.
Para buruh menolak atas perpanjangan kontrak 1 bulan, namun pihak manajemen membalas penolakan ini dengan mengeluarkan kebijakan mutasi kerja kepada Supriyatin dkk pada tanggal 26 Maret 2024. Kasus ini kemudian diadvokasi oleh Rahma dan Pengurus Basis FSBPI PT Amos Indah Indonesia.
Meski begitu, pihaknya masih mengalami kesulitan setiap kali melakukan pendampingan. Upaya yang dilakukan seringkali mentok di manajemen sebagai pihak yang diberi kuasa oleh perusahaan. Sebagai bentuk perlawanan, beberapa buruh melakukan advokasi selama beberapa hari dengan mendatangi pihak HRD. Namun sepertinya pihak HRD belum beritikad baik, sehingga mereka melakukan pressure dengan tetap berada di ruangan HRD selama beberapa hari ini.
“Kita 17 orang mendatangi personalianya HRD, tapi nggak mau ditemui juga oleh Dirut. Padahal Dirut juga tahu kami sedang menunggunya di ruang HRD. HRD juga membiarkan saja kami seharian dari jam 7 sampai jam 4 sore ada di ruangannya,” cerita Rahma.
HRD enggan merespons tindakan yang dilakukan para buruh tersebut. Di hari yang berbeda, Jumat (29/3/2024), para buruh langsung menuju ke depan ruangan Direktur Utama (Dirut). Kali ini, Dirut bersama jajarannya mau menemui para buruh dan berdiskusi terkait THR tersebut.
“Posisinya masih mempertimbangkan. Katanya sih mau membicarakannya ke pihak Presiden Direktur dulu terkait THR,” ujar Rahma.
Baca Juga: 5 Hal yang Mengancam Perempuan dalam UU Cipta Kerja
Tak berhenti sampai di situ, pada 2 April 2024 kemarin, Manajemen melancarkan serangan susulan dengan mengeluarkan Surat Peringatan (SP) kepada 17 buruh yang sedang melakukan advokasi. Ini merupakan bentuk kriminalisasi manajemen kepada para buruh perempuan yang memperjuangkan keadilan.
Sementara itu, melapor ke Dinas Ketenagakerjaan seolah menjadi percuma. Sebab, mereka tak mau tahu dengan permasalahan tersebut. Padahal, apa yang tertulis dalam PKB seharusnya dipatuhi oleh manajemen untuk dijalankan dan mesti diawasi relaisasinya oleh Dinas Tenaga Kerja. Mereka tak mau menelisik lebih jauh mengenai kasus-kasus yang terjadi di lapangan, baik itu PHK, mutasi, diskriminasi, Surat Peringatan, maupun pemutusan kontrak seperti sebelum Lebaran tersebut.
Padahal, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemnaker, Indah Anggoro Putri pada Kompas pada Jumat (29/3/2024). Menurutnya, selagi tidak ada laporan pengaduan PHK ke Kemnaker atau dinas tenaga kerja, artinya proses PHK sudah disetujui oleh buruh dan perusahaan.
Rahma dan teman-temannya masih terus mengupayakan agar semua pekerja mendapatkan THR bisa diberikan sebelum Lebaran. Pun juga kasus mutasi sepihak dan Surat Peringatan dapat dibatalkan. Paling tidak, para buruh mendapatkan haknya dan merayakan Lebaran bersama orang terkasih tanpa terbatas biaya. Setelah Lebaran, Rahma akan kembali menuntut perusahaan untuk mengangkat buruh yang sudah bekerja kontrak lebih dari lima tahun.
Konde.co sudah berupaya menghubungi personalia PT Amos Indah Indonesia, Hastuti untuk meminta keterangan soal itu. Namun sampai tulisan ini tayang, belum ada respons.
Upaya Pemiskinan Perempuan
Pemutusan hubungan kerja pada buruh perempuan membuatnya kehilangan income (pendapatan). Kondisi semakin diperparah menjelang Lebaran. Harga kebutuhan pokok yang meningkat, kebutuhan untuk pulang kampung, atau hanya sekadar merayakan Lebaran di rumah bersama keluarga–semuanya butuh biaya.
“Kita tahu kebutuhan Lebaran itu banyak untuk beli ini dan itu, menyambut tamu yang bersilaturahmi. Jadi secara ekonomi, mereka tidak ter-cover karena dia nggak dapat upah,” jelas Jumisih dari FSBPI.
Selain dampak secara ekonomi, PHK juga bisa berdampak pada psikologis perempuan. Ia bisa saja merasa cemas, takut, stress, kehilangan kepercayaan diri, hingga depresi. Belum lagi jika ia juga seorang ibu rumah tangga dan satu-satunya yang menghidupi keluarga.
“Masyarakat masih mengamini bahwa buruh perempuan itu mengatur ekonomi keluarga, dia yang memanajemen duit. Kalau tidak ada yang diatur, duitnya tidak ada, dia stress. Bagi buruh perempuan, itu tekanan tersendiri,” imbuhnya.
Buruh pabrik yang sebagian besar perempuan dengan status kerja tidak tetap atau kontrak sangat rentan mengalami PHK. Terlebih perempuan yang bekerja di industri manufaktur seperti garmen, tekstil, elektronik, dan minuman. Tak heran jika lebih dari dua juta perempuan menjadi pengangguran menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024.
Baca Juga: BBM Hingga Tarif Ojol Naik: Beban Berat bagi Perempuan Pelaku Usaha Kecil dan Buruh
Kebijakan pemerintah yang ada seringkali merugikan perempuan. Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 yang selama ini menjadi acuan pemberian THR pada pekerja perlu dikaji kembali. Sebab, aturan tersebut justru dimanfaatkan perusahaan untuk memutus kontrak pekerja sewenang-wenang.
Belum lagi jika bicara soal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang juga merugikan buruh perempuan. Ketidakpastian kerja, upah murah, perluasan sistem outsourcing membuat buruh perempuan semakin dieksploitasi.
Jumisih menegaskan, PHK yang dilakukan perusahaan jelang Lebaran tersebut merupakan salah satu upaya agar pihaknya tidak mengeluarkan cost lebih. Cara mengakalinya adalah dengan menghabiskan kontrak sebelum Lebaran, kemudian berlanjut dengan kontrak baru setelah Lebaran.
“Pengusaha juga dilindungi dari regulasi yang ada saat ini. Mereka dilindungi hukum yang berlaku saat ini, bahwa mereka (buruh) kalau sudah selesai kontrak ya di-PHK,” pungkas Jumisih.