‘Aku Bunuh Kamu, Aku Gantung Lehermu’ Kesaksian Buruh Perempuan di Balik Tembok Pabrik

Setelah mendapat ancaman di pabrik dari bos-nya, banyak buruh perempuan yang mentalnya down, asam lambung naik. Pernah ada yang pingsan dan ditertawakan. Pernah ada yang diancam mau dibunuh. Tidak ada yang berani mendekat. Mereka dikucilkan.

Dua buruh perempuan, ZY dan LY, mengalami ancaman pembunuhan. 

“Aku pendel (gorok) kepalamu! Aku gantung lehermu, aku bunuh kamu!”

Kalimat-kalimat itu keluar dari mulut feeder (kepala line) mereka. 

ZY dan LY adalah buruh perempuan yang bekerja di line 3 departemen sewing. Keduanya mengaku mendapatkan intimidasi, karena berani membela diri saat dibentak dan dimaki oleh atasan (feeder) mereka yang notabenenya juga sesama perempuan. 

Kejadian tersebut membuat buruh operator lain, yang berada dalam satu line dengan ZY dan LY, tidak berani untuk berteman. 

Para buruh lainnya mengaku takut akan mengalami nasib yang sama seperti ZY dan LY. Bahkan, feeder tersebut menghasut buruh lain agar tidak berteman dengan ZY dan LY.

“Katanya jangan ada yang mau temenan sama ZY. Kalau ada yang deket sama aku atau LY, pasti dia jadi sering dimarahi. Padahal dia gak salah apa-apa. Makanya gak ada yang berani temenan ama kita”, ujar ZY.

Setiap orang memiliki respons yang berbeda-beda terhadap kekerasan yang mereka alami. Respons buruh dibagi menjadi dua, yaitu membela diri atau menolak dan diam atau patuh. 

Pengalaman ZY dan LY merupakan salah satu contoh kasus buruh yang berani membela diri ketika mengalami kekerasan. Intimidasi yang dialami oleh keduanya saat membela diri merupakan salah satu bagian dari cerita pendisiplinan buruh oleh pabrik melalui kekerasan. 

Baca Juga: Sugar Generation, Upah Kecil Bikin Buruh Perempuan Sulit Akses Makanan Sehat

Pada kasus ZY dan LY, buruh yang berani membela diri akan ditaklukkan dengan berbagai cara. 

Namun, pada beberapa kasus seperti kekerasan fisik, kekerasan psikologis, dan lain-lain, buruh masih memilih untuk diam. Sedangkan pada kasus lain seperti kekerasan verbal dan pelecehan buruh, lebih banyak membela diri. 

Lalu bagaimana dengan nasib mereka yang tidak berani melawan? Sikap diam tergambar pada responden lainnya.

“Fast! Fast!” “Cepat!”, serta berbagai makian dalam bahasa India menjadi santapan sehari-hari buruh yang bekerja di pabrik PT S di Grobogan, Jawa Tengah. 

Hal ini dialami oleh DI dan FR. Keduanya perempuan yang bekerja pada satu line yang sama dan cenderung memilih diam ketika dibentak oleh atasannya. 

Terdapat enam buruh yang memilih untuk diam saat mengalami kekerasan verbal. Mereka mengaku takut untuk membela diri. 

“Aku diem aja. Rasanya badanku gemetar dan kaku,” terang DI yang mengalami kekerasan verbal oleh manajer produksi di perusahaan tersebut

Kekerasan Bertubi Dialami di Dalam Pabrik

PT S merupakan pabrik pembuat pakaian jadi. Dari 3000 buruhnya, sebanyak 90 persen merupakan buruh perempuan. 

Para buruh perempuan tersebut dipekerjakan sebagai operator. Sejak PT S beroperasi di Kabupaten Grobogan di tahun 2022, rentetan kasus kekerasan dan pelecehan berbasis gender berlangsung. Hal ini menandakan bahwa kondisi kerja di pabrik semakin buruk. 

Tulisan ini berdasarkan survei yang dilakukan kepada 16 subjek responden yang merupakan anggota dan pengurus serikat pekerja disana, yang berjenis kelamin perempuan. Penelitian ini dilakukan dengan teknis penggalian data menggunakan kuesioner dengan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam secara tatap muka. 

Hasil temuan survei menunjukkan, seluruh responden pernah mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender selama bekerja. 

Pelbagai bentuk kekerasan dan pelecehan dialami oleh para responden, dari kekerasan fisik hingga verbal; baik dilakukan secara luring maupun daring. 

Kejahatan-kejahatan tersebut merupakan gambaran bahwa selain manajemen pabrik abai terhadap hak-hak buruhnya, mereka juga gagal dalam memberikan ruang aman bagi buruh.

Dalam penelitian ini, kami mengelompokkan jenis-jenis kekerasan berdasarkan Konvensi ILO 190 (KILO 190) stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. 

Baca Juga: Buruh Perempuan Dipaksa ‘Staycation’: Kontrak Kerja Jadi Celah Eksploitasi

Jenis kasus kekerasan terbanyak adalah perampasan hak-hak buruh perempuan, seperti cuti haid, cuti melahirkan, cuti sakit, dan pemaksaan jam molor. Seluruh responden pernah mengalami perampasan hak, terutama pada kasus jam molor yang tidak terbayarkan. 

Angka kekerasan terbanyak selanjutnya adalah kekerasan verbal yakni sebanyak 14 responden. Diikuti oleh kekerasan psikologis 10 responden, pelecehan fisik 7 responden dan terakhir kekerasan fisik dan pelecehan verbal 4 responden.

Berdasarkan hasil data yang terhimpun, dari seluruh praktik kekerasan dan pelecehan, sebesar 92 persen kasus terjadi di dalam pabrik dan sebanyak 90 persen terjadi saat jam kerja. Artinya, kekerasan di dalam pabrik merupakan bagian yang melekat di dalam proses kerja produksi. 

Maka selain manajemen pabrik, brand atau pemegang merek dagang–yang memiliki kewenangan dalam menentukan jumlah produksi–juga bertanggung jawab terhadap kekerasan dan pelecehan yang dialami oleh para buruh selama waktu kerja.

Tingginya kasus kekerasan dan pelecehan berbasis gender di PT S di Grobogan ini diperparah dengan tidak adanya regulasi atau peraturan yang mencegah kekerasan dan pelecehan. 

Sebanyak 16 responden mengaku bahwa tidak ada peraturan yang melindungi buruh dari kekerasan dan pelecehan di dalam pabrik. Bahkan, seluruh responden juga mengaku belum pernah mendengar ada pelaku kekerasan dan pelecehan yang dihukum atau mendapatkan sanksi dari manajemen pabrik. 

Artinya, manajemen perusahaan PT S memang tidak memiliki itikad baik untuk menghapus kekerasan dan pelecehan. Dengan kata lain, manajemen pabrik sengaja melakukan pembiaran terhadap kekerasan dan pelecehan. 

Kekerasan untuk Kontrol Tubuh

Di lingkungan pabrik, kekerasan digunakan untuk melakukan kontrol dan pendisiplinan terhadap tubuh buruh. 

Kekerasan dan pelecehan yang dialami oleh buruh dapat berdampak terhadap kehidupan sosial hingga kesehatan buruh. 

Kekerasan dan pelecehan paling banyak berdampak pada pekerjaan buruh, yakni mencapai 9 responden yang terdampak. Diikuti oleh dampak terhadap kehidupan pribadi dan kesehatan. Responden mengaku kekerasan yang mereka alami mengganggu kehidupan sehari-hari mereka. 

Perasaan takut dan cemas setelah mengalami kekerasan mengakibatkan mereka  menjadi mudah melamun dan sedih. Peristiwa ini mengakibatkan pekerjaan yang dilakukan menjadi tidak optimal, karena dikerjakan dalam keadaan takut dan cemas. 

Hal ini menandakan bahwa penggunaan unsur-unsur kekerasan pada proses produksi atau saat jam kerja, untuk meningkatkan produktivitas buruh, justru berdampak menghambat kerja buruh. 

Baca Juga: Eksploitasi Buruh Perempuan di Tengah Gemerlap Bisnis Fesyen Busana Muslim

Kekerasan di pabrik paling banyak menyebabkan sakit pusing. Selain pusing, mereka juga mengaku mengalami kelelahan secara fisik dan psikis. 

Beberapa responden mengaku mengalami satu atau lebih jenis penyakit setelah mengalami kekerasan. FR misalnya, setelah mendapatkan kekerasan berupa bentakan dan diteriaki oleh supervisor, kepala FR terasa pusing dan mendadak tubuhnya gemetar selama dua hari. 

Selain FR, beberapa di antaranya juga mengaku menjadi murung dan melamun seharian setelah mengalami kekerasan verbal. 

“Rasanya mentalku jadi down karena kepikiran terus. Kerjaanku jadi buyar dan hasil jahitanku jelek,” terang DI yang bekerja di line yang sama dengan FR. 

Tidak hanya DI, responden lain yaitu ZY juga mengalami reaksi tubuh setelah mengalami kekerasan. 

Ia mengaku mengalami asam lambung ketika berhadapan dengan feeder yang memakinya. 

Bahkan, pernah juga ZY pingsan, namun ketika ia pingsan, feeder yang merupakan atasannya ZY justru menertawakannya.

Upaya Halangi Buruh Berserikat

Selain digunakan sebagai bentuk penundukan dan kontrol dalam sistem produksi, praktik kekerasan juga digunakan sebagai upaya menghalangi buruh untuk berserikat. 

Di PT S, pihak manajemen membuat serikat tandingan yang di dalamnya adalah manajer hingga HRD sebagai pengurus. Serikat tandingan dibentuk bersamaan dengan pembentukan Serikat Pekerja (SP) yang dibentuk buruh.

Mala, yang merupakan Ketua SP, mengalami intimidasi selama membangun serikat.

Ketika sedang mengumpulkan calon anggota untuk mendirikan serikat, salah seorang supervisor membentak Mala.

“Ngapain kamu bikin-bikin serikat?”

Tidak sampai di situ, Mala dengan sengaja juga tidak dimasukkan ke dalam grup WhatsApp di line tempat ia bekerja. Ia dikucilkan dan diasingkan dari rekan kerja lainnya. 

Mala menduga hal ini dengan sengaja dilakukan oleh supervisornya, karena ia tahu Mala sedang mengumpulkan calon anggota untuk mendirikan serikat. Hingga kemudian serikat buruh berdiri, namun hanya sedikit buruh yang mau berteman dengan Mala dan beberapa pengurus serikat. 

Baca Juga: Tahukah Kamu: Di Balik Baju yang Kita Pakai Tersembunyi Nasib Buruk Buruh Perempuan?

Pengalaman lainnya juga dialami oleh RS yang merupakan salah satu pengurus serikat.

Di tempat line ia bekerja, hanya sedikit buruh yang mau berteman dengannya. Supervisor hingga manajer produksi menakut-nakuti buruh lainnya agar tidak bergabung dengan SP 

“Jangan masuk serikat Spring, itu serikat nakal,” tiru RS mengulangi kalimat atasannya. 

Tidak berbeda dengan pengalaman RS, Mala mendapatkan hal yang serupa. Ia diabaikan oleh sesama buruh satu line ketika hendak bicara. Teman-temannya bersikap seolah Mala tidak ada di antara mereka. 

“Siapa yang mau temenan sama kita? Kita (pengurus dan anggota SP) dianggap virus,” tukas Mala.

Baca Juga: Diminta Selamatkan Lingkungan Tapi Diupah Murah: Ironi Buruh Perempuan di Perkebunan

Ancaman putus kontrak atau tidak perpanjang kontrak juga dialami Mala dan Erma. Mereka mengaku mendapatkan ancaman tersebut setelah kasus video viral Erma—salah satu pengurus SP, mencuat dan viral. 

Video yang diambil oleh Erma memperlihatkan manajer produksi yang menghindar dari pertanyaan-pertanyaan Erma, lantaran di hari sebelumnya manajer tersebut menyebut Erma gila. 

Saat manajer produksi menyebut Erma gila, pernyataan itu disampaikan oleh si manajer di hadapan para buruh lainnya. 

Kejadiannya bersamaan dengan Erma yang kala itu sedang membagikan formulir pendaftaran serikat. Padahal, dalam pembagian formulir Erma tidak melanggar peraturan perusahaan. Pembagian formulir pendaftaran serikat dilakukan pada saat jam pulang kerja. 

Manajemen pabrik menetapkan aturan bahwa pengurus serikat buruh dilarang melakukan sosialisasi serikat selama jam kerja. Tidak terima dengan makian yang dilayangkan oleh manajer produksi, pada hari berikutnya Erma mematikan listrik di semua lini tepat pada jam pulang kerja. Tujuannya untuk menghentikan produksi karena jam molor yang terjadi hampir setiap hari dan tanpa dibayar. 

Aksi Erma memancing kemarahan manajer produksi. Saat itulah Erma mulai menyalakan kamera video di ponsel genggamnya; mengarahkannya tepat di depan mata manajer produksi yang sedang naik pitam. 

Dalam sehari, video yang diunggah di sebuah akun TikTok, telah mendapatkan puluhan ribu likes. Bahkan, video yang semula beredar di media sosial TikTok juga menyebar pada berbagai akun dan media sosial lain, seperti Instagram dan Twitter.

Baca Juga: Sulitnya Membela Buruh Perempuan Di Masa Pandemi; Cerita Aktivis Terkena Covid

Ancaman putus kontrak juga diterima oleh Mala kala memperjuangkan hak salah seorang pengurus SP yang diputus kontrak secara sepihak. 

Alasan pemutusan kontrak karena pengurus tersebut tidak berperilaku baik—alasan yang bagi pengurus lain adalah alasan yang dibuat-buat oleh pihak pabrik. Dalam perundingan bipartit, para pengurus SP meminta manajemen pabrik untuk mempekerjakan kembali salah seorang pengurus yang diputus kontrak secara sepihak. 

Namun, pihak manajemen pabrik menolak tuntutan para pengurus SP. Sebaliknya, justru Mala mendapatkan ancaman tidak diperpanjang kontrak kerja, apabila ia menolak menandatangani kesepakatan yang dibuat secara sepihak oleh manajemen pabrik. 

Salah satu butir isi perjanjian yang membuat Mala enggan menandatangani, karena adanya ketentuan yang menjelaskan bahwa pengurus SP tidak bisa kembali bekerja di PT S. Hal ini tentu memberatkan posisi Mala dalam mengambil keputusan. 

Namun, manajemen tetap bebal. Mereka menggunakan ancaman kepada Mala dan beberapa pengurus lainnya agar butir perjanjian tersebut segera ditandatangani oleh Mala. Caranya dengan mengancam tidak memperpanjang kontrak kerja Mala dan delapan pengurus lainnya. 

Akhirnya dengan terpaksa, karena di bawah tekanan, Mala menandatangani kesepakatan untuk menyelamatkan pengurus SP agar tidak diputus kontrak. 

Perjuangan Serikat Buruh

Sejak Mala membangun serikat buruh hingga aktif menjadi pengurus harian, ancaman berupa putus kontrak sudah seringkali ia alami baik dari tingkatan supervisor, manajer produksi, hingga factory manajer. Ditambah Mala juga dicap sebagai buruh yang kerap melakukan perlawanan. 

Membangun serikat buruh hingga menjadi ketua serikat di tingkat pabrik yang penuh kekerasan adalah tantangan yang berat. Tidak terhitung berapa kali Mala mengalami intimidasi. Ia mengaku mengalami intimidasi hampir setiap hari. 

Bekerja sambil Berdiri dan Kena Kecelakaan Kerja

Suatu hari Mala pernah mengalami kecelakaan saat berangkat kerja. Dua hari Mala izin untuk tidak bekerja dengan total istirahat tiga hari termasuk hari Minggu. 

Saat bekerja di hari Senin, dengan kondisi kaki yang masih belum sembuh Mala justru dimarahi oleh supervisor. 

“QC (quality control) kok kerjanya duduk terus,” ucap Mala menirukan perkataan supervisor saat menceritakan kejadian yang ia alami. 

“Sumpek kerja kayak gitu. Kenapa kita sakit tetep diperlakukan kayak gitu,” imbuh Mala mempertanyakan sikap supervisor yang kejam terhadap dirinya dan buruh yang sedang sakit. 

Tekanan-tekanan dari supervisor hingga manajer seringkali membuat Mala merasa lelah secara mental dan sedih. Bahkan, beberapa kali Mala tidak kuasa membendung air matanya saat ia mendapat kekerasan verbal. 

“Salah saya apa? Kenapa saya diperlakukan seperti ini?” Ucap Mala sambil terisak saat manajer memarahinya. Tidak ada jawaban atas pertanyaannya, hanya bentakan yang diterima oleh Mala.

Bentuk intimidasi lain yang sering dialami oleh buruh PT S adalah mutasi. 

Mala mengalami mutasi lebih dari lima kali. Tidak hanya mutasi lintas line, Mala juga dimutasi lintas departemen yang berbeda, seperti sewing hingga cutting. Bahkan untuk memutasi Mala, supervisor line tega membuat tuduhan pencurian terhadap Mala. 

Baca Juga: Bayar THR Dicicil, Buruh Perempuan Protes Pengusaha dan Pemerintah

“Spv (supervisor) gak suka aku bantah, kalau dikasih target aku bantah (tolak). Aku pulang pas jam pulang, gak ikut molor. Pernah dulu ada barang hilang, karena Spv-nya gak suka sama aku akhirnya aku yang dituduh mencuri. Temenku sampai nangis. Tapi aku tetep dimutasi. Setelah dimutasi, ternyata barang yang hilang ketemu di belakang,” terang Mala.

Mutasi dilakukan tanpa melihat kondisi buruh. Bahkan, terkesan dilakukan dengan sembrono, seperti halnya yang dialami oleh AT. 

Semula ia bekerja di departemen sewing, setelah itu ia dipindahkan ke bagian helper

AT mengaku kinerjanya baik selama ia bekerja di departemen sewing. Sementara, ia tidak mengetahui alasan mengapa ia dipindahkan ke bagian yang tidak ia kuasai. 

Di sisi lain, posisi bekerja di bagian helper berbeda dengan di bagian sebelumnya. Di helper AT harus bekerja dengan posisi tubuh berdiri. Posisi kerja dengan tubuh berdiri membuat AT mudah mengalami kelelahan. Sehingga, beberapa kali kesempatan ia sengaja mengambil kursi untuk duduk. 

Namun, justru ia mendapatkan teguran dan kursi tersebut ditarik paksa oleh atasan manajer produksi. 

Meskipun kursi diambil oleh atasan kerjanya, AT tidak peduli. Ia tetap kembali mengambil kursi untuk bekerja, walaupun manajer produksi kembali mengambil kursi tersebut berkali-kali juga. Begitu seterusnya hingga membuat manajer produksi marah. 

Saat berdebat dengan manajer produksi, AT kemudian menjelaskan alasannya 

“Aku bilang ke manajer, saya ini awalnya kerja di sewing. Saya mahirnya ya di bagian jahit bukan helper. Baru manajernya marahin feeder. Kenapa kok orang sewing dipindahkan ke helper? Akhirnya saya dipindahkan kembali ke sewing,” terang AT.

Baca Juga: Lahannya Diambil Alih, Kondisi Kerja Buruh Perempuan Buruk dan Tanpa Perlindungan

Selain kasus mutasi, pendisiplinan dalam bentuk praktik demosi juga menimpa Erma. Ia mengalami penurunan jabatan karena dianggap menolak jam molor tanpa upah sewaktu Erma menjabat sebagai feeder. Ia mengaku sering meminta operator-operator di line-nya untuk pulang tepat waktu. 

Tindakan Erma tidak disukai oleh manajer operator. Kekesalan manajer semakin lengkap kala diketahui Erma resmi bergabung dalam kepengurusan SP. Karena sikapnya yang berani, Erma mengalami demosi. Ia diturunkan jabatan dari feeder menjadi operator finishing.

Tindakan manajer hingga supervisor di pabrik yang menggunakan relasi kuasa untuk melakukan ancaman dan intimidasi merupakan salah satu bentuk dari kekerasan di dalam pabrik. Praktik kekerasan ini tidak hanya untuk mereka yang berani melawan dan berserikat. Buruh-buruh yang tidak mematuhi perintah manajemen pabrik juga mengalami ancaman dan intimidasi. 

Meskipun, sejauh ini buruh yang tidak mampu memenuhi target dan mendapatkan ancaman tersebut tidak benar-benar dimutasi atau diputus kontrak—dengan syarat buruh tersebut tidak melawan saat dimarahi—seperti yang dialami oleh ZN. Ia diancam putus kontrak karena tidak mampu memenuhi jumlah target produksi. 

Begitu juga dengan AR yang diancam dimutasi karena tidak mampu memenuhi target.

Tempat Kerja dan Kekerasan yang Tersembunyi

Tampak praktik mutasi menjadi salah satu yang menakutkan buruh. Hal ini memunculkan pertanyaan kenapa mutasi begitu menakutkan? Ketika kami bertanya kepada FR, DI, dan RK, mereka serempak menjawab takut untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja baru dan tidak memiliki teman. 

Bagi mereka, dipindahkan ke tempat yang baru sama saja dengan beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Kehilangan peer group atau teman selama bekerja, beradaptasi dengan atmosfer kerja baru, dan yang paling mengerikan bagi mereka adalah mendapatkan atasan yang lebih kejam, serta lingkungan kerja yang lebih buruk dari tempat kerja sebelumnya. 

Bayang-bayang ketakutan itulah yang menjadikan buruh-buruh memilih patuh. Mutasi akhirnya menjadi salah satu alat kontrol dan pendisiplinan oleh pabrik. 

Buruh PT S juga menghadapi isu kekerasan fisik. Sebanyak empat responden mengalami kekerasan fisik seperti ditempeleng hingga didorong. 

Kejadian tersebut mereka alami saat bekerja. WY mengaku pernah didorong oleh salah seorang QC agar bekerja lebih cepat. 

Selain itu, beberapa responden menceritakan kepada kami, bahwa mereka pernah melihat atau mendengar salah seorang staf admin hingga feeder yang mengalami kekerasan fisik. Dari dilempar buku hingga ditempeleng kepala.

Selain ancaman, intimidasi, dan kekerasan fisik untuk menundukkan buruh, cara lain yang sering dilakukan oleh manajer dan supervisor adalah melakukan kekerasan psikologis. 

Baca Juga: Riset: Buruh Perempuan Pabrik Elektronik Rentan Terkena Kanker dan Keguguran

Mala mengaku pernah dilempari buku oleh salah seorang manajemen produksi. Serupa dengan Mala, WY yang juga yang merupakan responden kami pernah mengalami kekerasan psikologis. Tepatnya, sewaktu ia sedang bekerja tiba-tiba meja kerjanya digebrak oleh salah seorang manajer produksi. Si manajer bermaksud menekan WY agar bekerja lebih cepat. 

Menurut seluruh responden kami, selama mereka bekerja tindakan manajer produksi membanting kursi di hadapan buruh, pada bagian departemen sewing, merupakan kejadian yang sudah sering dilakukan. 

Pelecehan Seksual Buruh

Ada banyak cara pabrik melakukan pendisiplinan dan kontrol terhadap buruh. Salah satunya dengan tindakan pelecehan seksual. 

PT S merupakan pabrik industri garmen dengan buruh yang hampir 90 persen adalah perempuan. Mereka rentan mengalami tindak kekerasan dan pelecehan berbasis gender. 

MS, salah seorang buruh perempuan di PT S menyebut pernah disentuh bagian pundak dengan posisi hampir memeluk sembari dibisikkan kalimat “good morning” oleh salah seorang manajer produksi. 

Ia kaget, badannya seketika membeku. Setelah kejadian pelecehan oleh manajer mekanik, pelaku sering menatap MS dengan tatapan genit. 

Bahkan, ketika kaki MS terkilir saat bekerja, manajer produksi tanpa persetujuan MS, menyentuh bagian kaki MS. Dengan sigap MS menarik kakinya dan menolak disentuh oleh manajer mekanik. Kehadiran manajer mekanik di sekitar MS membuat ia tidak nyaman. 

Beberapa buruh bahkan tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka alami merupakan bentuk pelecehan. 

KS salah satunya. Saat awal bekerja di pabrik salah seorang manager produksi menyentuh tangannya dengan dalih hendak mengajarkan KS menjahit. KS mengaku risih namun tidak dapat menolak karena takut. 

Adanya sistem kekuasaan yang hirarkis menyebabkan buruh-buruh perempuan lebih memilih diam saat mengalami pelecehan dan kekerasan berbasis gender. 

Baca Juga: Kondisi Buruh Perempuan Sawit: Kekerasan Seksual dan Diskriminasi Upah Yang Mereka Alami

Di luar itu, terdapat empat kasus buruh berani membela diri saat mengalami pelecehan fisik. 

Sementara, juga ada empat kasus buruh yang memilih untuk diam. Dua kasus buruh yang berani membela diri terjadi ketika pelakunya adalah sesama buruh dengan jabatan yang sama atau lebih rendah. Sedangkan, pada kasus korban yang memilih diam, sebagian besar pelakunya memiliki jabatan manajer atau jabatan lebih tinggi dari operator. 

Pada kasus Mala dan GB misalnya, kedua orang tersebut berani menegur pelecehan fisik yang mereka alami. Pelaku keduanya merupakan sesama rekan buruh di pabrik. Kasus ini menjelaskan, bahwa pelecehan tidak hanya terjadi karena adanya hirarki kekuasaan dalam struktur pabrik. 

Namun, sesama buruh dengan tingkat jabatan yang sama, juga melakukan tindak pelecehan. Yang membedakan praktik tersebut dilakukan kepada gender yang dianggap lebih rendah secara konstruksi sosial, seperti halnya kasus Mala. 

Ia mengaku pernah mengalami pelecehan yang dilakukan oleh buruh bagian mekanik. Saat itu ia sedang bekerja, salah seorang buruh mekanik dengan sengaja menepuk pantat Mala menggunakan tongkat. Sontak Mala menegur dengan keras perbuatan buruh mekanik tersebut. 

“Gak cuma aku yang digituin. Dia memang terkenal suka gitu (melecehkan buruh perempuan),” terang Mala. 

Selain pelecehan secara fisik, beberapa responden juga mengaku pernah diajak berkencan oleh manajer mereka. Meskipun semua responden mengaku tidak ada ancaman yang diungkapkan secara tersurat, namun adanya relasi kuasa dalam ajakan kencan sudah menjadi bentuk ancaman tersendiri bagi buruh. 

Perasaan takut dan khawatir ketika menolak ajakan kencan tetap mereka rasakan. Penolakan harus diungkapkan secara hati-hati agar tidak menyakiti perasaan atasan yang cabul. 

Pelecehan menjadi salah satu bentuk kontrol dan pemanfaatan oleh mereka yang memiliki posisi hirarki yang lebih tinggi untuk memenuhi hasrat seksual mereka. 

Perampasan Hak Maternitas dan Kesehatan Reproduksi

Kekerasan di dalam pabrik juga terwujud dalam bentuk perampasan hak-hak buruh perempuan di tempat kerja. 

Sebagian besar buruh perempuan yang bekerja di PT S, mengaku tidak mendapatkan hak-hak dasar maternitas dan kesehatan reproduksi. Sembilan responden mengaku tidak pernah bisa mengakses cuti haid. 

Suatu ketika Erma pernah mengalami nyeri haid yang membuat dia tidak mampu bekerja. Saat meminta izin untuk beristirahat, supervisor justru tidak mengizinkan dengan dalih 

“Semua juga sama-sama sakit tapi tetap bekerja.”

Erma terpaksa melanjutkan kerja sembari menahan nyeri haid. Sesekali ia juga harus jongkok untuk meredam rasa nyeri akibat haid di perutnya. 

Pengalaman yang sama dengan Erma, dirasakan oleh Mala dan DH. Keduanya pernah mengalami nyeri haid saat bekerja dan hanya diperbolehkan minum obat oleh supervisor dan kembali melanjutkan pekerjaan. 

Perampasan hak berupa cuti haid bukan tidak pernah dirundingkan oleh para pengurus SP SPRING. Salah seorang pengurus serikat buruh bernama LN pernah mengusulkan pemenuhan hak cuti haid.  

Namun, saat LN mengajukan pemenuhan hak cuti haid dalam perundingan bipartit, General Manager dengan tegas mengatakan, tidak ada cuti haid untuk buruh PT S.

“Semua sama-sama sakit,” ucap si General Manager. Barangkali ucapan dari General Manager tersebut sudah menjadi titah yang dipatuhi oleh seluruh struktur di bawahnya.

Baca Juga: Hari HAM 2020: Rapor Merah Pemajuan HAM Buruh Perempuan

Kalimat tidak adanya cuti haid yang dilontarkan oleh General Manager, yang termasuk dalam struktur tinggi di pabrik, merupakan bentuk peraturan tidak tertulis di pabrik. 

Artinya, regulasi pabrik sendiri sudah melanggar peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 81 Ayat 1 menerangkan, buruh perempuan yang mengajukan izin cuti haid kepada perusahaan tidak diwajibkan bekerja selama satu sampai dua hari pada waktu haid. 

Selain cuti haid, hak buruh yang dilanggar oleh pabrik adalah cuti melahirkan. Buruh perempuan yang hamil dipaksa mengajukan pengunduran diri (resign) atau dipotong masa kontraknya, seperti cerita RS. Ia menyaksikan sebanyak tiga orang temannya yang sedang hamil dipaksa resign. 

Jika mereka ingin diperpanjang kontrak maka kontrak yang diperbarui dibatasi hanya sampai satu bulan sebelum HPL (Hari Perhitungan Lahir). 

“Misal dia kehamilannya udah enam bulan pas kontraknya habis, nanti dia boleh perpanjang kontrak tapi cuma dua bulan,” terang RS. 

Selain putus kontrak, selama bekerja buruh hamil juga tidak mendapatkan hak maternitas. Buruh hamil tetap dipaksa untuk mengikuti jam molor. 

DW mengaku salah satu temannya yang hamil harus mengikuti jam molor tanpa upah sampai dua jam. Bahkan, terkadang buruh hamil yang sedang mengikuti jam molor baru bisa pulang lebih awal dari teman-temannya jika tanpa meminta izin supervisor.  

Baca Juga: Hutang, Cara Baru Menjerat Buruh Perempuan

Jam kerja panjang juga menjadi bentuk perampasan hak maternitas terhadap buruh perempuan di PT S. Dalam satu pertemuan kami bersama serikat buruh, AT salah seorang pengurus SP mengaku pernah mendengar cerita seorang helper yang keguguran ketika sedang bekerja shift malam.

Saat itu, helper yang sedang bekerja dengan posisi berdiri tidak menyadari ada darah yang mengalir deras di kakinya hingga membanjiri lantai. Ia kemudian diantar pulang ke rumah oleh ambulans milik perusahaan. Awalnya ia mengira itu adalah darah haid. 

Namun setelah mendatangi rumah sakit, darah tersebut ternyata adalah darah janin yang keguguran. Buruh tersebut akhirnya harus dikuret untuk mengeluarkan janin yang ada di kandungannya. 

Kondisi kerja buruh helper yang harus berdiri selama total delapan jam atau lebih ketika bekerja, serta shift pada malam hari membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi. 

Rantai Kekerasan untuk Mengalirkan dan Mengakumulasi Kapital 

Selanjutnya kita akan membahas pertanyaan selanjutnya mengenai kenapa pabrik “perlu” melakukan kontrol terhadap buruh melalui kekerasan? Bagaimana kekerasan dan pelecehan berbasis gender dikatakan sebagai kekerasan yang sistemik? 

Kerja paksa dalam bentuk jam molor di PT S mensyaratkan, sekaligus melanggengkan kekerasan dan eksploitasi terhadap buruh. Kekerasan diciptakan untuk menebar ketakutan kepada para buruh. Sehingga, buruh yang takut dan terancam akan lebih mudah dikontrol dan patuh. 

Buruh yang patuh akan memenuhi rencana dan keinginan manajemen. Kekerasan di dalam pabrik merupakan rangkaian praktik yang dilakukan secara sistemik. 

Arruzza et al (2019) menjelaskan kekerasan berbasis gender tidak berdiri sendiri, ia mengakar kuat dalam tatanan masyarakat yang menghubungkan subordinasi perempuan dengan genderisasi kerja (diskriminasi kerja berdasarkan gender) dan dinamika akumulasi modal.  Sehingga, praktik-praktik kekerasan akan selalu melekat di dalam proses produksi. 

Dalam kasus Mala, Erma, ZY, dan buruh-buruh lain yang berani membela diri dan menolak ketidakadilan maka mereka akan semakin ditekan dan diintimidasi. Manajemen pabrik menyebut mereka sebagai “virus” dan mengucilkan mereka dari buruh-buruh lain. 

Cara tersebut membuat mereka dikucilkan dari pertemanan di dalam pabrik. Manajemen pabrik takut terhadap keberanian buruh yang akan menular pada buruh lain. Bagi pabrik, keberanian buruh dalam menghadapi ketidakadilan yang mereka alami mengganggu proses akumulasi kapital.

Untuk mencapai produktivitas tinggi—yang nilainya hampir tidak masuk akal—pabrik melakukan kekerasan terhadap buruh agar mampu mencapai nilai target yang diinginkan. 

Target yang dipatok oleh pabrik hampir tidak pernah dapat dipenuhi oleh buruh meskipun harus dikerjakan hingga molor. 

“Targetnya 900, tapi kita gak pernah (mencapai) target. Paling kita mampunya sampe 700-800 aja,” ujar RS.

Baca Juga: Kisah Perkosaan dan Pelecehan Buruh Perempuan di Kebun-Kebun Sawit

Jumlah target seringkali menjadi ancaman bagi buruh. ZY yang bekerja di bagian sewing mengaku harus menambah jam kerjanya, apabila target tidak terpenuhi. 

Tidak terpenuhinya target produksi seringkali menjadi alasan jam molor tanpa diupah. Sebanyak enam belas responden mengaku akan dimarahi ketika tidak mampu mencapai target; mengalami jam molor tanpa diupah. 

Pabrik memaksimalkan keuntungan dengan menggunakan kekerasan, politik upah murah, dan jam molor yang tidak dibayarkan. 

Erma mengaku, selama ia bekerja di bagian finishing, jika tidak memenuhi target maka target pekerjaan akan ditambah menjadi 50 potong. 

Untuk memenuhi target tambahan tersebut, konsekuensinya ia harus bekerja ekstra. Namun, yang lebih mengherankan, jika buruh mampu memenuhi target maka target produksi akan ditambah menjadi 100 potong. Artinya, jam kerja molor akan terus terjadi, meskipun buruh memenuhi target. 

Tingkat kekerasan semakin tinggi ketika memasuki hari kerja yang bertepatan dengan jadwal pengiriman barang atau yang dikenal dengan istilah “jam ekspor.”

Di PT S, hari ekspor terjadi setiap minggu di hari Selasa. Pada waktu itulah, para buruh PT S mengaku sering mengalami kekerasan. 

DW mengaku pada hari Selasa tingkat kekerasan lebih tinggi dibandingkan hari-hari lainnya. Pada hari Selasa, ia mengalami lebih banyak kekerasan verbal dan mental oleh manajer produksi karena barang yang sedang diproduksi menumpuk di meja kerja DW. 

“Aku dimarahi karena barangnya kompal.  ‘Kenapa lama?! udah gak usah kerja lagi kamu!’ dia bilang gitu sambil narik bahan yang lagi aku jahit,” terang DW. 

Baca Juga: Upah Buruh Di Tahun 2021 Tak Naik, Menaker Diprotes Para Buruh Perempuan

Ia mengaku sampai menangis, karena mendapatkan perlakuan kasar dari manajer produksi. Target yang tinggi, bahkan seringkali dianggap tidak masuk akal oleh buruh operator dan tekanan dari brand untuk dapat mencapai target pada waktu yang singkat menyebabkan kekerasan di pabrik semakin meningkat. Kebutuhan pabrik untuk mencapai target dibebankan kepada buruh operator. 

RS mengaku pernah didorong oleh QC agar bekerja lebih cepat. 

“Pundakku didorong sama QC katanya suruh ‘ayo cepat!,’ tapi saya maafkan karena setelah itu orangnya baik lagi,” ujar RS. 

Apa yang dirasakan RS acap kali menjadi normalisasi kekerasan di pabrik. 

Lebih dari empat responden lainnya, sepeti Mala, DW, ZY, serta beberapa responden lain mengatakan hal yang sama. 

“Pak manajer produksi asline baik, tapi yo kadang galak kalau lagi kerja.” 

Tanggung jawab pencapaian target yang dibebankan kepada buruh operator menjadikan buruh operator memaklumi kekerasan yang mereka alami. 

Arruza et al (2019) menjelaskan bahwa pemanfaatan dan manipulasi melalui kekerasan dan pelecehan berbasis gender digunakan sebagai alat kontrol di tempat kerja yang dilakukan kepada mereka yang memiliki kuasa. 

Buruh operator hanya berpikir bagaimana mereka bisa memenuhi target sesuai yang diperintahkan akibat permintaan brand. Sehingga, kekerasan pada jam ekspor seringkali dianggap hal lumrah. Tanpa mereka tahu bahwa semua ini hanya untuk proses akumulasi dan mengalirkan kapital yang mengeksploitasi mereka.

Kekerasan sistemik terjadi secara hirarkis: dilakukan oleh struktur atas pada struktur di bawahnya. Kekerasan tidak terjadi secara kebetulan. Pabrik dibentuk berdasarkan spesifikasi norma patriarki yang melekat pada masyarakat kapitalistik (Arruza et al, 2019; Mezzadri 2016). 

Baca Juga: 10 Alasan Mengapa Buruh Perempuan Harus Menolak UU Cipta Kerja

Reproduksi norma patriarki dalam pabrik, menurut Mezzadri (2016), salah satunya adalah struktur supervisor dipegang oleh laki-laki. Meski hal ini tidak relevan di industri garmen Indonesia, di mana supervisor PT S sebagian besar perempuan, namun angka kasus kekerasan yang dilakukan oleh supervisor tetap tinggi. 

Perempuan yang memiliki struktur lebih tinggi juga bisa melakukan kekerasan terhadap buruh perempuan. Lalu bagaimana norma patriarki direproduksi di PT S?

Kenyataannya, supervisor tidak terbebas dari kekerasan. Supervisor perempuan menjadi sasaran kekerasan manajer yang seluruhnya dipegang oleh laki-laki. 

Kekerasan yang dialami oleh supervisor memaksa mereka untuk melakukan kekerasan yang sama terhadap buruh operator. Sayangnya, dalam penelitian kami yang terbatas tidak terdapat supervisor sebagai responden. 

Cerita kekerasan yang dialami supervisor banyak kami dengar dari pengakuan buruh operator yang pernah mendengar atau melihat langsung kekerasan terhadap supervisor. Dipukul, dilempar buku, hingga dimaki-maki. Jumlah target selain dibebankan kepada buruh operator produksi, juga dibebankan kepada supervisor. 

DW bahkan mengaku feeder di line-nya harus ikut mengerjakan kerja produksi demi memenuhi jumlah target yang ditentukan. Kekerasan yang terjadi di pabrik juga banyak dipengaruhi oleh tekanan dari struktur teratas—yang paling memiliki kepentingan yakni pemilik modal. 

Kontrol dan pendisiplinan oleh pabrik melalui kekerasan dan pelecehan berbasis gender pada akhirnya merupakan kekerasan sistematis yang ditujukan untuk mengakumulasi modal di pabrik pemasok dan mengalirkan keuntungan ke brand. 

Baca Juga: UU Omnibus Law Cipta Kerja Patriarkis, Menyingkirkan Buruh Perempuan

Pabrik dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap kekerasan dan pelecehan dengan tidak memberi sanksi tegas terhadap pelaku. Pabrik justru secara terang-terangan melakukan intimidasi terhadap korban kekerasan melalui ancaman mutasi hingga putus kontrak. 

Memberangus serikat dan penundukan terhadap buruh yang berani melawan ketidakadilan menjadi salah satu cara agar kontrol terhadap buruh tetap dapat dilanggengkan. Kekerasan juga dilakukan melalui perampasan hak-hak perempuan dan kerja paksa tanpa diupah. 

Maka dapat dikatakan, waktu kerja itu sendiri adalah kekerasan.

Fadhila Isniana

Peneliti di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane/ LIPS

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular