Pekerjaan Rumah Tangga Dianggap Bukan Kerja, Ini Asal Mula Penindasan Dalam Rumah

Tugas menyiapkan makanan, melahirkan, dan mengurus anak selama ini dibebankan kepada perempuan. Sementara laki-laki mendapatkan upah atas pekerjaannya, perempuan yang bekerja di rumah sama sekali tidak dianggap bekerja.

Pekerjaan rumah tangga selama ini tak pernah dianggap sebagai kerja. 

Maka pekerjaan yang dilakukan para ibu di rumah, dan para Pekerja Rumah Tangga (PRT), posisinya selalu dianggap lebih rendah dari pekerja yang lain di luar rumah atau pekerjaan publik

Kata “pembantu rumah tangga”  saja memiliki konotasi negatif yang hampir setara dengan “budak.” Mengapa bisa seperti itu? Ini disebabkan pekerja rumah tangga terdiri dari dua identitas tertindas dalam sistem yang berjalan beriringan. Sebagai pekerja mereka ditindas oleh kapitalisme, sebagai perempuan mereka ditindas oleh patriarki. Penindasan kelas dan gender sangat jelas terlihat dalam pekerjaan rumah tangga.

Kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang dominan saat ini ‘bekerja sama’  dengan patriarki untuk melakukan penindasan. Kelas pekerja karena tidak memiliki alat produksi, maka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia mau tidak mau harus menjual tenaga kerjanya kepada pemilik modal.

Pekerjaan domestik atau rumah tangga yang oleh kapitalisme tidak dianggap bernilai dibebankan kepada gender yang ditindas oleh patriarki: perempuan. Itulah kenapa mayoritas pekerja rumah tangga adalah perempuan.

Baca Juga: Kerja PRT Itu Butuh Skill, Kenapa Tidak Diakui sebagai Pekerjaan?

Pemilik modal dalam sistem kapitalisme memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan keuntungan semaksimal mungkin, salah satu caranya adalah dengan mengupah serendah mungkin pekerjanya. Semakin rendah upah pekerja, semakin tinggi keuntungan yang didapatkan. Upah yang diberikan pun hanya untuk pekerja yang mengoperasikan alat produksi. 

Kapitalisme sudah pasti membutuhkan tenaga kerja untuk melakukan proses produksi, tetapi itu saja tidak cukup. Kapitalisme juga memerlukan reproduksi tenaga kerja. Agar bisa terus melakukan produksi, pekerja harus ada yang mengurus, seperti memberi makan dan menyiapkan pakaian untuknya. Di sinilah kapitalisme ‘bekerja sama’ dengan patriarki, pekerjaan domestik untuk memulihkan atau mereproduksi tenaga kerja dibebankan kepada perempuan tanpa diberi upah.

Seperti yang dinyatakan Lise Vogel dalam Marxism and the Oppression of Women (1983), perempuan memiliki peran penting dalam masyarakat kapitalis. Dalam masyarakat kapitalis, kekayaan berasal dari tenaga kerja yang dicurahkan dalam proses produksi, tidak akan ada barang-dagangan atau komoditas tanpa pekerja yang melakukan produksi.

Namun, pekerja tidak bisa hidup selamanya, generasi baru kelas pekerja harus ada untuk menggantikan generasi sebelumnya yang sudah tidak bisa lagi bekerja. Perempuan sebagai yang diberi tanggung jawab untuk mengurus anak memainkan peran penting di sini. Anak yang diurus oleh perempuan lah yang nantinya masuk ke dalam proses produksi untuk mencurahkan tenaga kerjanya. Perempuan lah yang melakukan reproduksi tenaga kerja.

Baca Juga: 580 Poster Anggota DPR di Instalasi Pameran, Pengingat Nasib PRT Hingga Kini Masih Digantung

Berbeda dengan pekerjaan produksi, pekerjaan reproduksi yang dilakukan perempuan tidak berkaitan langsung dengan alat produksi, tugas mereka menyiapkan tenaga kerja untuk mengoperasikan alat produksi. Karena pekerjaan reproduksi tidak terlihat secara langsung, pemilik modal tidak merasa harus mengupahnya, meskipun tanpanya kapitalisme tidak akan berjalan. Hal tersebut menyebabkan pekerjaan domestik tidak dihargai karena sama sekali tidak memberi penghasilan.

Padahal, pekerjaan produksi dan reproduksi sama-sama penting. Tanpa produksi, komoditas tidak akan tercipta. Namun tanpa reproduksi, tenaga kerja untuk mengoperasikan alat produksi tidak akan ada. Keduanya saling membutuhkan. Pekerja tidak akan bisa lagi bekerja kalau dia tidak makan.

Kapitalisme akan kolaps, kalau tidak ada lagi yang melahirkan pekerja, bukan hanya melahirkan tapi juga mengurusnya sampai dia siap untuk dimanfaatkan tenaga kerjanya. Tugas menyiapkan makanan, melahirkan, dan mengurus anak ini dibebankan kepada perempuan. Sementara laki-laki mendapatkan upah atas pekerjaannya, perempuan sama sekali tidak dianggap bekerja.

Hal yang harus kita sadari adalah penindasan gender berada dalam bingkai penindasan kelas. Pekerjaan domestik tidak dibebankan kepada semua perempuan, tetapi hanya kepada perempuan kelas pekerja. 

Baca Juga: PRT ‘Kabur’ dari Rumah Majikan Karena Disiksa, Bagaimana Cara Melaporkannya? 

Perempuan dari kelas pemilik modal atau kelas menengah–yang berupah tinggi sehingga memiliki sebagian privilese kelas pemilik modal–tidak dibebani pekerjaan domestik. Pekerjaan domestik mereka dialihkan kepada perempuan kelas pekerja yang mau (karena tidak ada pilihan) menjual tenaga kerjanya untuk melakukan pekerjaan domestik: pekerja rumah tangga.

Maka, lengkaplah sudah perpaduan kapitalisme dan patriarki. Kelas yang dianggap rendah oleh kapitalisme melakukan pekerjaan yang dibebankan kepada gender yang dianggap rendah oleh patriarki. 

Situasi tersebutlah yang menyebabkan kondisi pekerja rumah tangga sangat rentan. Bukan hanya kerentanan sebagai pekerja seperti upah tidak layak, jam kerja tidak jelas, dan sebagainya. Kerentanan sebagai gender yang direndahkan seperti kekerasan seksual juga dialami pekerja rumah tangga.

Menyadari posisi khas pekerja rumah tangga akan menghilangkan kesalahan berpikir mengenainya. Kesalahan berpikir ini misalnya ditunjukkan oleh anggota DPR yang tidak setuju disahkannya RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga). Berdasarkan pengalaman Lita Anggraini, aktivis yang gigih memperjuangkan hak-hak pekerja rumah tangga, anggota DPR tersebut tidak melihat urgensi dibentuknya UU PPRT.

Baca Juga: Ramai-Ramai Majikan Mengeluh soal PRT, Harusnya Ada Perjanjian Kerja antara Majikan dan PRT

Katanya, “Nanti semua orang minta RUU juga. Tukang sampah ikut minta RUU tukang sampah. Tukang sumur minta RUU tukang sumur.”

Seolah masyarakat memandang pekerja rumah tangga memiliki posisi yang sama dengan pekerja-pekerja lain. Pekerjaan domestik juga tidak dianggap tak berharga. Seolah tidak ada penindasan gender dalam pekerja rumah tangga.

Posisi khas yang dimiliki pekerja rumah tangga dalam irisan antara sistem kapitalisme dan patriarki, membuatnya perlu dibuatkan UU yang secara khusus mengatur perlindungannya.

UU PPRT sangat penting sebagai langkah awal untuk mengubah secara total pandangan masyarakat. Ketika masyarakat memandang bahwa pekerja rumah tangga sama posisinya dengan pekerja lain, ketika masyarakat tidak meremehkan pekerjaan domestik, kerentanan dan kekerasan yang dialami pekerja rumah tangga tidak akan terjadi.

Meskipun dengan disahkannya RUU PPRT tidak serta merta membuat kerentanan dan kekerasan yang dialami pekerja rumah tangga hilang sepenuhnya, tetapi tanpa UU PPRT kerentanannya akan semakin menjadi-jadi. Dengan adanya UU PPRT setidaknya terdapat landasan hukum untuk melindungi pekerja rumah tangga dari kerentanan dan kekerasan.

Baca Juga: Disekap dan Tak Diberi Makan: 15 Februari Hari PRT, Kenapa Nasib Mereka Masih Begini?

Sayangnya, perjuangan disahkannya RUU PPRT tidak pernah mudah, meskipun saat ini DPR dipimpin oleh seorang perempuan Puan Maharani. Hal ini sebenarnya tidak mengherankan, sebab seperti yang saya nyatakan di atas, penindasan gender berada dalam bingkai penindasan kelas.

Puan Maharani tidak berasal dari kelas yang ditindas oleh kapitalisme, dia tidak pernah merasakan beban pekerjaan domestik yang dialami kelas pekerja perempuan. Tentu, kepentingan kelasnya cenderung berpihak kepada kelas berkuasa, dalam hal ini kepada majikan.

Anggota DPR yang juga majikan sepertinya juga nyaman dengan kedudukan mereka, kedudukan sebagai majikan yang sangat dihormati. Meskipun untuk menjaga kehormatannya, mereka harus melanggengkan kerentanan yang dialami pekerja rumah tangga.

Perjuangan pekerja rumah tangga memang tidak bisa dipisahkan dari perjuangan pekerja-pekerja lain yang sama-sama ditindas oleh kapitalisme. Tidak kunjung disahkannya UU PPRT, sudah sangat jelas menunjukkan watak kelas dari anggota DPR, mereka lebih berpihak kepada kelas pemilik modal. Hal ini dapat dilihat dari begitu semangatnya mereka mengesahkan UU Cipta Kerja yang mendorong fleksibilitas investasi tanpa memperdulikan nasib pekerja. 

Diperlukan lebih banyak aktor-aktor progresif di DPR untuk memenangkan agenda kelas pekerja, salah satunya disahkannya UU PPRT.

Referensi

Adinda, Permata. 2022. “Bagai Sebuah Mimpi Mustahil: Negara Punya PR Melindungi PRT, Lita Anggraini Mengerjakannya.” Project Multatuli. https://projectmultatuli.org/bagai-sebuah-mimpi-mustahil-negara-punya-pr-melindungi-prt-lita-anggraini-mengerjakannya/

Vogel, Lise, Susan Freguson, dan David McNally. 2013. Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary Theory. Leiden Boston: Brill.

Tri Asep Kumbara

Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Kuningan. Saat ini sedang menyusun skripsi. Selain bidang ilmu yang terkait dengan jurusan yang ditempuh, juga tertarik pada filsafat, sejarah, dan pemikiran emansipatif seperti Marxisme dan feminisme.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular