Vita (23) tidak pernah menyangka akan menjadi influencer dan content creator yang banjir endorsement seperti sekarang. Berawal dari keisengan selama pandemi COVID-19, kini Vita bisa memperoleh barang-barang branded tanpa harus membelinya. Yang paling penting, Vita punya banyak relasi untuk peluang kariernya.
Serafina Loveita, akrab disapa Vita, adalah seorang marketing di salah satu perusahaan food and beverages di Jakarta. Ia harus membagi waktu antara bekerja di perusahaan serta membuat konten untuk endorsement.
Sejak bangun tidur, Vita tidak pernah lepas dari HP, khususnya media sosial. Meski sudah memiliki manajer yang membantunya dalam menjalin kerja sama dengan brand, tetapi Vita tetap harus mengerjakan konten-kontennya sendiri. Ia merasa bersyukur jika mendapatkan brief yang membebaskannya dalam promosi. Tak jarang Vita harus revisi berulang kali agar kontennya sesuai permintaan client.
Beruntung tidak banyak tuntutan yang diberikan perusahaan kepada Vita sebagai marketing. Vita bisa datang jam berapa saja ke kantor. Asal semua pekerjaannya beres dan mencapai target. Vita terus berusaha menjaga performanya di samping menjalani pekerjaan sebagai influencer melalui media sosialnya sendiri.
Baca Juga: Problem Perempuan Pekerja Film: Over Work, Standar Kerja Jauh dari Impian
Karier sebagai influencer telah dilakoni Vita sejak 2020. Kala itu, pandemi COVID-19 membuatnya bosan dan merasa stagnan. Hanya kuliah, mengerjakan tugas, dan sesekali berkumpul bersama teman-teman menyesuaikan pembatasan dan protokol kesehatan yang berlaku saat itu.
“Aku dulu iseng-iseng bikin skincare tips, make up tutorial, kalau misalnya lagi nongkrong keluar aku bikin video-video OOTD (outfit of the day). Habis itu bermunculan brand-brand yang nawarin (produknya),” ujar Vita kepada Konde.co pada Sabtu (1/6/2024).
Awalnya Vita hanya menawarkan sekadar barter dengan brand tersebut. Mereka memberikan produknya secara gratis, sementara Vita membuatkan konten sesuai kreativitasnya. Lambat laun, Vita pun memasang rate card untuk setiap konten yang ditawarkan, mulai dari Rp500.000 sampai Rp2.500.000.
Dari situ, Vita makin bersemangat dan konsisten menjalani pekerjaannya sebagai content creator sekaligus influencer. Sebuah pekerjaan yang dicap tidak jelas, sering distigma negatif, dan bukan termasuk pekerjaan di sektor formal. Meski pekerjaan ini sering disebut sangat dibutuhkan di era sekarang dan cukup menjanjikan.
Influencer adalah Pekerjaan, Bekerja Tidak Harus di Perusahaan
Baru-baru ini kabar soal generasi Z (gen Z) yang menjadi pengangguran santer diberitakan dan menimbulkan diskursus. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut hampir 10 juta penduduk Indonesia usia 15-24 tahun–usia gen Z–menganggur tanpa kegiatan alias NEET (not in employment, education, and training).
Hal ini menjadi ancaman serius terkait bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045. Gen Z yang sering dielu-elukan sebagai generasi kreatif, inovatif, dan mampu bersaing di dunia kerja justru masih menjadi pengangguran. Menurut Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, faktor utama pengangguran di usia muda ini adalah karena kurang sinkronnya pendidikan dan permintaan tenaga kerja.
Vita menanggapi berita tersebut dengan santai. Menurutnya, data BPS hanya sekadar angka yang bisa jadi tidak sesuai dengan realitas. Terlebih pekerjaan di industri kreatif juga masih dianggap sebelah mata. Sementara banyak pula generasi Z yang memilih bekerja di sana ketimbang sektor formal.
“Menurutku gen Z itu etos kerjanya malah besar. Karena menurut aku dan kita sebagai gen Z, kita itu ada rasa takut buat ketinggalan. Banyak banget senior-senior kita yang mendahului dan kerjaannya sudah bagus-bagus. Jadi kita kayak ada desire (keinginan) buat kejar buat bisa seperti mereka,” jelas Vita.
Bekerja di sektor formal berarti memiliki perjanjian kerja dengan perusahaan berbadan hukum. Sementara kerja sektor informal berarti tidak memiliki kontrak kerja resmi atau perlindungan hukum. Mereka diantaranya adalah pekerja harian, pekerja lepas (freelancer), seniman, pekerja rumah tangga, dan lain sebagainya.
Sebagai influencer, Vita tidak pernah terikat kontrak resmi dengan suatu brand. Kontraknya hanya sekadar untuk kebutuhan promosi atau kerja sama. Vita tidak masalah jika dianggap menganggur hanya karena tidak bekerja di sektor formal. Bahkan ia pernah terlibat cekcok dengan orang tuanya karena memilih menekuni jadi influencer.
Baca Juga: ILO: Pengangguran Global Akan Meningkat, Pekerja Muda Perempuan Lebih Rentan
“Banyak perdebatan sampai mama dulu kayak ‘ngapain kerja kayak gitu, mending bantuin mama’. Dulu sempat berantem karena dibilang ‘paling nggak seberapa kan bayarannya’. Kan orang tua nggak tahu dan aku sendiri nggak pengen sepenuhnya jujur berapa pendapatanku ke mereka,” cerita Vita.
Kini, Vita bisa menikmati hasil dari ketekunannya menjadi influencer. Ia bisa bekerja sama dengan brand SES-A, brand kategori konsumen dengan tingkat pengeluaran di atas 5 juta. Ia juga bisa menjalin relasi dengan orang-orang penting di dunia entertainment dan teman-teman yang satu minat dengannya.
Terlepas dari penilaian positif terhadap influencer, sejumlah studi juga menyoroti sisi gelap ekonomi kreator (creator economy). Seperti studi yang dilakukan Nina Willment dari University of York.
Menurutnya gaya hidup yang ditampilkan para influencer di media sosial memang tampak menarik. Tapi muncul pertanyaan apakah menjadi influencer sebuah karier yang layak?
Hasil penelitiannya dengan influencer perjalanan dan pembuat konten menunjukkan ada dampak yang harus diwaspadai generasi muda yang ingin menjadi influencer.
Dibalik tampilan luarnya yang mengilap terdapat pendapatan yang tidak menentu, ketidaksetaraan gaji berdasarkan jenis kelamin, ras dan disabilitas, serta masalah kesehatan mental.
Baca Juga: ‘Ferienjob’ Kerja Berkedok Magang Mahasiswa, Bagaimana Aturan Ketenagakerjaan di Jerman?
Belum lagi persoalan algoritma karena platform punya kekuatan menentukan siapa dan apa yang memperoleh visibilitas (dan pengaruh) di media sosial. Ancaman ketidaktampakan adalah sumber ketidakamanan yang terus-menerus bagi para influencer. Ini membuat mereka terus berada dibawah tekanan untuk memenuhi platform dengan konten.
Visibilitas online juga menempatkan pembuat konten pada risiko pelecehan online yang signifikan. Baik itu terkait penampilan mereka maupun apa yang mereka lakukan (atau tidak mereka posting). Potensi pelecehan online ini dapat menyebabkan masalah kesehatan mental dan fisik.
Studi tersebut menunjukkan industri influencer punya sisi gelap dan perlu diperbaiki. Yakni lewat peningkatan peraturan ketenagakerjaan dan perubahan budaya yang didorong oleh industri.
Persyaratan Tak Realistis Hambat Gen Z Dalam Berkarier
Koordinator Divisi Gender dan Inklusi Sosial Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Selira Dian mengatakan fenomena pengangguran yang didominasi gen Z ini termasuk fenomena gunung es. Stigma gen Z pengangguran, pemalas, pemilih, kutu loncat, dan bermental lemah membuat citra gen Z di dunia kerja menjadi buruk.
Menurutnya, akar masalah justru ada pada persyaratan kerja yang utopis. Mulai dari berpenampilan menarik, minimal pendidikan S1, IPK 3.00, memiliki pengalaman kerja 2 tahun atau lebih, serta memiliki alat kerja sendiri. Yang paling banyak disorot dan membuat para pekerja lintas usia geram adalah adanya penetapan batas usia maksimal.
“Sengkarut masalah yang saling berkelindan ini justru tidak pernah dibahas. Pemerintah selalu gagal paham atau jangan-jangan memang sengaja melimpahkan beban dari kebijakan diskriminatif yang mereka lakukan kepada rakyat,” ujar Selira saat dihubungi Konde.co pada Sabtu (1/6/2024).
Pernyataan Ida Fauziyah terkait lapangan pekerjaan di sektor formal yang menurun menunjukkan bahwa pemerintah masih memakai logika konvensional dalam melihat dunia kerja. Sementara pekerja di sektor non formal tidak dilindungi, malah justru dieksploitasi.
Baca Juga: Pekerjaan Rumah Tangga Dianggap Bukan Kerja, Ini Asal Mula Penindasan Dalam Rumah
“Seiring dengan pesatnya teknologi, banyak pekerjaan informal seperti di industri media dan kreatif yang justru menopang perekonomian Indonesia. Namun, faktanya pekerja lepas ini tidak dijamin perlindungannya,” tambah Selira.
Menurut Selira, pekerja kreatif sangat rentan karena hak-haknya yang belum digenapi seperti BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, cuti pekerja, dan lain sebagainya. Padahal, hak pekerja telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Stop Stigmatisasi Pada Pekerja Gen Z
Vita tidak pernah menyesali keputusannya menjadi influencer. Meski terkadang merasa burnout dan ingin berhenti bermain media sosial, tetapi Vita masih melihat sisi positif yang didapatkan selama berselancar di dunia maya.
“Aku lebih pede ngomong di depan kamera, aku jadi lebih lancarlah, nggak terbata-bata lagi, nggak panik lagi. Aku juga belajar bikin MoU (Memorandum of Understanding) yang saling menguntungkan dua belah pihak antara KOL (key opinion leader) dan brand,” cerita Vita.
Selain itu, Vita juga belajar banyak terkait manajemen diri sendiri. Ia harus pandai mengatur waktu, menguji kemampuan diri sendiri, belajar hal baru, menjalin relasi dengan banyak orang, dan masih banyak lagi.
Keengganan gen Z masuk ke sektor kerja formal disebut karena kondisi kerja yang buruk. Seperti upah rendah, pemutusan hubungan kerja (PHK) sewaktu-waktu, kontrak yang tidak diperpanjang, bahkan kekerasan seksual, terus menghantui para pekerja di Indonesia. Belum lagi wacana potongan upah untuk membayar Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang belakangan sedang ramai diperbincangkan.
Baca Juga: Siapa Yang Memasak Opor Ayam di Hari Lebaranmu?
Sikap gen Z yang mempersoalkan hal tersebut justru membuat mereka mendapat sejumlah label negatif. Alih-alih dilihat sebagai upaya mendorong kondisi kerja yang layak.
“Sengkarut problem yang justru berani disuarakan oleh gen Z, realitas yang jarang diungkapkan oleh generasi sebelumnya. Seharusnya masalah ini dilihat sebagai keberanian yang harus didukung untuk mendorong semua pekerja mendapatkan haknya dari perusahaan dan negara,” pungkas Selira.
Temuan soal gen Z yang banyak menjadi pengangguran membuka wacana soal makna kerja yang seharusnya tak lagi dipahami secara sempit. Di sisi lain sektor kerja informal yang diminati gen Z seperti industri influencer juga menyimpan banyak persoalan.
Sayangnya perlindungan hukum di sektor informal ini masih minim. Ini jadi pekerjaan rumah yang seharusnya ditangani pemerintah.