Pembuat film dokumenter, Wulan Putri mengakui bahwa kondisi kerja layak di industri kreatif dan pekerja budaya, masih jauh dari impian.
Salah satu yang disoroti Putri adalah praktik dalam proses produksi film dokumenter. Menurutnya, dalam proses produksi dokumenter, ia dan rekan seprofesinya yang lain, kerap bekerja lebih dari satu posisi secara bersamaan. Mulai dari produser hingga sutradara. Kondisi ini menurut Putri terjadi lantaran pihak pemberi dana atau pemberi kerja hanya memasukkan unsur keluaran atau produk jadi dalam proses produksi. Bukan tenaga kerja yang dilibatkan
“Belum lagi bagi perempuan. Pekerja film dokumenter perempuan masih harus menanggung beban ganda mengurus domestik. Juga mengisi berbagai posisi di produksi dokumenter,” ujar Wulan Putri.
Ia mengatakan hal ini dalam acara konsolidasi “May Day dan Diskusi Publik: Kerja Budaya antara Seniman dan Kelas Pekerja”, yang diadakan Serikat Sindikasi di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat, Sabtu (27/4/2024).
Situasi yang disampaikan oleh Putri, kerap membuat pekerja mengalami overwork atau kerja berlebihan. Sebagai gambaran pada 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menemukan lebih dari ⅓ pekerja ekonomi kreatif Indonesia mengalami overwork karena bekerja lebih dari 48 jam setiap pekan.
Baca Juga: Film Indonesia Maju, Tapi Pekerjanya Terbelenggu
Survei #SepakatDi14 yang dilakukan SINDIKASi bersama Indonesia Cinematographer Society (ICS) juga menemukan rata-rata pekerja film bekerja selama 16-20 jam dalam satu hari syuting.
Padahal, menurut Badan kesehatan dunia WHO bekerja melebihi 55 jam setiap pekan karena berisiko tinggi meninggal akibat penyakit stroke dan penyakit jantung iskemik.
Industri film Indonesia selama ini memang selalu mencatatkan prestasi gilang gemilang sepanjang dua dekade terakhir. Namun ternyata ada masalah besar yang menghantui pekerjanya. Para pekerja film masih bekerja 16-20 jam dalam satu hari syuting, ini artinya mereka berada dalam situasi kesehatan fisik dan mental yang sangat berbahaya.
Kondisi para pekerja yang bekerja selama 16-20 jam ini dianggap sebagai sesuatu yang lazim, sudah berlangsung lama. Maka kemudian hal ini dinormalisasi dari zaman ke zaman.
“Padahal kalau kita lihat, kondisi ini tidak hanya membahayakan pekerja tapi semuanya. Produser iklan, juga sering mendapatkan kru basian. Karena mereka dapat kru yang baru selesai shooting yang lain dan ini berpengaruh pada kru yang lain, datang dengan kondisi tidak fresh. Ini juga membahayakan bagi kesehatan karena berisiko tinggi meninggal akibat penyakit jantung iskemik dan stroke,” kata Ketua Serikat Sindikasi, Ikhsan Raharjo.
Belum lagi adanya kasus-kasus kecelakaan kerja yang kerap menimpa pekerja film. Salah satu tim film ada yang mengalami kecelakaan pukul 03:00 pagi karena menabrak truk. Mereka pulang dalam kondisi mengantuk. Para pekerja juga sering menemukan kru yang harus diinfus karena kelelahan kerja.
Ikhsan Raharjo pernah memaparkan ini pada 29 Maret 2022 dalam riset serta kertas posisi tentang kondisi pekerja film yang dilakukan Serikat Sindikasi bersama Indonesian Cinematographers Society (ICS) dengan judul “Sepakat di 14: Advokasi Pembatasan Waktu Kerja dan Perlindungan Hak Pekerja Film Indonesia.”
Baca Juga: Kasus Dugaan Kekerasan Sutradara Terjadi di Film: Pentingnya Etika Kerja Perfilman
Pekerja film Indonesia juga memiliki masalah serius terhadap perlindungan hak pekerja. Hak mereka sering terlanggar, namun tak pernah terlaporkan dan tak terdokumentasikan.
“Kondisi ini memperlihatkan bahwa pekerja film mengalami gejala flexploitation atau kondisi eksploitasi yang spesifik dirasakan pekerja dalam hubungan kerja fleksibel. Seperti absennya jaminan sosial, kondisi kerja yang berbahaya, dan tanpa kepastian serta perjanjian kerja.”
Perwakilan ruangrupa dan Gudskul Ekosistem, Daniella F. Praptono memaparkan dalam diskusi SINDIKASI 27 April 2024 lalu. Sejumlah pekerja seni dan budaya telah mengupayakan membangun kolektif untuk menciptakan kerja yang lebih berkeadilan.
Meski demikian, Ia juga menggarisbawahi upaya membangun kolektif kerja bagi pekerja seni dan budaya juga tidak selalu mudah.
“Ruang yang kita saat ini masih belum ideal. Saat ini ruang yang kita praktekkan itu seperti lumbung, tempat untuk sharing knowledge. Dan ini masih belum ideal. Pasti akan ada saja yang tidak bisa sustain saat ini. Tapi praktek itu yang kita coba usahakan,” kata Daniella.
Situasi kerentanan yang dialami pekerja budaya dan kreatif, menurut Ketua Umum SINDIKASI Ikhsan Raharjo, salah satunya karena minimnya perlindungan dari sisi regulasi. Ikhsan mengatakan regulasi ketenagakerjaan Indonesia saat ini masih sangat bias industri manufaktur. Regulasi ini belum bisa menjawab tantangan ketenagakerjaan bagi pekerja media, budaya, dan industri kreatif.
Singkatnya, meski berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi, pemberi kerja dan pemerintah belum menganggap pekerja budaya dan kreatif sebagai pekerja. Padahal, data dari Badan Pusat Statistik (BPS), yang diolah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pada 2022 kontribusi ekonomi kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai Rp1280 triliun. Kontribusi tenaga kerja sektor ekonomi kreatif di tingkat nasional pun pada 2022 mencapai 17,7 persen.
Baca Juga: 30 Maret Hari Film Nasional: Ironis, Pekerja Film Masih Bekerja 16-20 Jam Perhari
“Kita sadar situasi kerja kita sedikit berbeda dengan serikat manufaktur yang bekerja satu atap walaupun memiliki kondisi kerentanan yang tidak jauh berbeda. Oleh sebab itu perlu banyak kreativitas dalam melakukan tekanan-tekanan lewat media, dan tentu juga turun aksi juga bisa dipakai sebagai salah satu cara. Kita perlu terus bereksperimen dan jangan pernah takut berimajinasi.” ujar Ikhsan.
Sekretaris Wilayah SINDIKASI Jabodetabek Julia Nur Rochmah menyebut. Berbagai regulasi ketenagakerjaan yang berlaku saat ini belum cukup untuk meningkatkan daya tawar pekerja di hadapan pemberi kerja sehingga serikat dibutuhkan.
“Akan lebih sulit menghadapi kerentanan yang dialami semua kelas pekerja termasuk pekerja budaya jika kita sendirian. Untuk itu akan mari kita hadapi bersama dengan berserikat.” ungkap Julia.
Fleksibilitas kerja yang diterapkan pada para pekerja kreatif juga sering menyebabkan over work. Serikat SINDIKASI menuliskan dalam website-nya, fleksibilitas tenaga kerja menjadi satu persoalan utama yang dihadapi oleh pekerja di ekonomi digital. Para pekerja dalam ekonomi 4.0 ini dihadapkan pada kondisi kerja yang melampaui keterbatasan waktu dan tempat.
Baca Juga: Film ‘Totto-chan: the Little Girl at the Window’ Refleksikan Pentingnya Pendidikan Inklusif
Fenomena ini melanggengkan budaya overwork. Data Statistik dan Hasil Survei Ekonomi Kreatif, BEKRAF dan BPS (2017) menunjukkan 45,72% tenaga kerja ekonomi kreatif bekerja 35-48 jam seminggu. 31,98%-nya bekerja lebih dari 48 jam seminggu. Selain itu juga membentuk atomisasi angkatan kerja.
Dalam kondisi atomisasi, para angkatan kerja di ekonomi digital terpisah antara satu dan tidak melihat dirinya sebagai bagian dari kelas pekerja. Melihat dari anggota SINDIKASI bekerja yang mayoritas bekerja sebagai freelancer. Mereka tidak memiliki ikatan pada pemberi kerja atau bekerja di perusahaan-perusahaan kecil diisi pekerja berkisar dari lima hingga 20 orang saja. Deformalisasi kerja menjadi praktik yang lumrah, dan jaringan antar pekerja menjadi konsep yang semakin asing. Bahkan, regulasi yang timpang seakan dijadikan syarat bagi “kemajuan ekonomi digital.”