Membuka Ruang Bersama: Pendekatan Kolaboratif “AwareNest” untuk Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Orang Muda di Asia

Di tengah stigma dan hambatan akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi, AwareNest Community of Practice hadir sebagai ruang kolaboratif bagi organisasi lintas negara untuk memperjuangkan hak-hak ini, terutama bagi kelompok rentan di kawasan Asia.

Di banyak negara di Asia Tenggara dan Asia Timur, termasuk Indonesia, layanan kesehatan seksual dan reproduksi masih kerap menjadi topik yang sensitif dan dianggap tabu. 

Stigma sosial serta hambatan hukum kerap membatasi akses, sehingga membuat perempuan dan orang muda mencari solusi yang tidak aman untuk berbagai kebutuhan kesehatan reproduksi mereka. 

Melihat realitas itu, inisiatif seperti AwareNest Community of Practice (CoP) berupaya membahawa perubahan dengan menciptakan ruang untuk dialog lintas sektor dan menghadapi berbagai tantangan secara kolaboratif. 

Mengapa Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Penting?

International Planned Parenthood Federation (IPPF) telah merumuskan 12 Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) sebagai bagian dari usaha global untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang adil dan setara terhadap layanan kesehatan yang berkaitan dengan hak seksual dan reproduksi. 

Hak-hak ini meliputi hak untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang kesehatan seksual dan reproduksi, hak untuk memilih dan mendapatkan layanan kontrasepsi, kebebasan dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, serta hak untuk mendapatkan layanan kesehatan tanpa dipengaruhi oleh stigma sosial atau hukum. 

Piagam IPPF ini menggarisbawahi bahwa kesehatan seksual dan reproduksi merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan harus dilindungi oleh negara melalui kebijakan yang inklusif dan berbasis pada bukti ilmiah.

Implementasi dari 12 hak HKSR ini tidak hanya terbatas pada sektor kesehatan, tetapi juga merambah aspek hukum, pendidikan, serta budaya. Sebab, HKSR menyentuh banyak aspek kehidupan sehari-hari, mulai dari hak untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi, hingga hak untuk terhindar dari kekerasan seksual atau pemaksaan dalam hubungan intim. Meski demikian, hambatan dalam implementasi HKSR tetap tajam di banyak negara, terutama di kawasan yang masih kental dengan budaya patriarki dan nilai-nilai yang konservatif.

Baca juga: Riset: Minimnya Akses informasi Kesehatan Reproduksi Bagi Anak Muda dan Disable

Pada tingkat global, meskipun berbagai organisasi dan lembaga internasional telah merumuskan kerangka kebijakan dan pedoman implementasi, realisasi hak-hak ini di lapangan masih menghadapi tantangan besar. 

Salah satu tantangan terbesar adalah resistensi dari masyarakat yang masih memandang isu-isu kesehatan seksual dan reproduksi, seperti aborsi atau kontrasepsi sebagai sesuatu yang tabu. Selain itu, kurangnya edukasi kesehatan reproduksi, terutama di kalangan remaja, telah menyebabkan peningkatan kasus kehamilan tidak diinginkan, aborsi tidak aman, dan penyebaran penyakit menular seksual (PMS).

World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa di banyak negara, termasuk Indonesia, akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi masih sangat terbatas. Kurangnya sumber daya, infrastruktur kesehatan yang tidak memadai, serta ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan adalah beberapa faktor utama yang memperburuk situasi ini. 

Oleh karena itu, implementasi HKSR yang ideal seharusnya didasarkan pada pendekatan berbasis bukti yang memprioritaskan peningkatan akses, edukasi yang menyeluruh, serta penyediaan layanan kesehatan yang inklusif bagi semua kelompok masyarakat, termasuk kelompok rentan seperti perempuan, remaja, dan komunitas ragam gender.

Bagaimana Kondisi Terkini?

Terlepas dari pentingnya HKSR, pemenuhan HKSR di banyak negara Asia Tenggara dan Asia Timur penuh dengan tantangan. Indonesia sendiri menghadapi berbagai tantangan serius dalam mewujudkan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) warganya. Norma-norma budaya yang patriarkis dan interpretasi agama yang konservatif menghadirkan resistensi terhadap pendidikan seksual yang komprehensif di sekolah maupun lingkungan sosial dan keluarga, sehingga remaja tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kontrasepsi dan praktik-praktik seksual yang aman. 

Kondisi ini berkontribusi pada tingginya angka kehamilan remaja yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak aman. SDKI 2017 mencatat bahwa 7,02% remaja perempuan usia 15-19 tahun pernah hamil, dengan angka lebih tinggi di pedesaan (9,6%). Angka kehamilan remaja tersebut juga berkaitan dengan maraknya pernikahan anak dan pernikahan paksa, meski usia pernikahan minimal telah dinaikkan. Data UNICEF 2018 menunjukkan 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun, sering kali karena kemiskinan dan tekanan sosial. Maka, minimnya pendidikan seksual yang komprehensif kemudian melanggengkan siklus kemiskinan dan membatasi peluang orang muda–khususnya perempuan muda–untuk meningkatkan kualitas hidup.

Selain resistensi masyarakat, organisasi HKSR sering kali kekurangan sumber daya dan dibatasi oleh kerangka hukum yang membatasi akses ke layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Infrastruktur kesehatan yang lemah di banyak daerah, terutama di daerah pedesaan, membuat populasi yang rentan semakin sulit untuk mengakses layanan penting. Meskipun pemerintah seperti Indonesia telah memiliki kerangka hukum untuk meningkatkan kesehatan reproduksi, seperti UU Kesehatan No. 36/2009 yang mendukung akses layanan HKSR dan program Keluarga Berencana (KB), implementasi kebijakan ini tidak konsisten dan sering kali tidak berguna dalam memenuhi kebutuhan di lapangan.

Mengapa Community of Practice Menjadi Penting?

Melihat kompleksitas tantangan yang ada, AwareNest Community of Practice (CoP) merupakan salah satu upaya yang dirancang untuk mendorong perubahan. Program Awarenest CoP lahir pada 2021 dengan dukungan dari EMpower dan  memiliki visi besar untuk menguatkan kerja-kerja HKSR di Asia Tenggara dan Asia Timur. 

Community of Practice (CoP) sendiri adalah praktik penciptaan komunitas yang menyatukan sekelompok aktor yang memiliki minat atau tantangan yang sama untuk saaling memperkaya praktik masing-masing di bidang tersebut. Dalam konteks AwareNest, dengan Pamflet Generasi sebagai fasilitator, praktik ini menjadi ruang bagi para praktisi HKSR dari berbagai negara untuk bertukar wawasan dan saling memperkaya aksi mereka di lapangan. Inisiatif ini berfokus pada menghubungkan para praktisi yang melakukan kerja-kerja pendidikan, pendampingan, hingga kampanye yang memiliki misi serupa dalam memperjuangkan HKSR, terutama bagi kelompok rentan. 

AwareNest menyadari bahwa setiap negara di kawasan ini menghadapi tantangan yang unik terkait HKSR. Dari pernikahan anak dan kaitannya dengan implementasi hukum adat di Bali, minimnya dukungan bagi penyintas kekerasan berbasis gender di Filipina, hingga tantangan berlapis bagi anak etnis minoritas dalam mengakses pendidikan seksual di China dan Hong Kong; AwareNest mendorong setiap organisasi untuk mengembangkan solusi yang sesuai dengan konteks spesifik masing-masing. 

Baca juga: Anak Muda Indonesia Deklarasi Tagih Janji Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi: Konferensi ICIFPRH 2022

Mitra AwareNest bisa terpapar terhadap beragam pendekatan lokal seperti, misalnya, strategi Lunas Collective di Filipina yang memperkenalkan pendekatan feminis dalam dukungan psikososial bagi korban kekerasan berbasis gender; upaya WeGrow Education di Vietnam yang meluncurkan aplikasi daring bagi remaja untuk mengakses informasi kesehatan seksual dan reproduksi’ atau inisiatif East Bali Poverty Project dan Photovoices International di Bali yang mendukung remaja untuk berkampanye mengakhiri pernikahan anak dan mengadvokasikan perubahan pararem (hukum adat) terkait ini. 

Tak hanya berbagi ide dan praktik baik, para mitra secara aktif berkolaborasi, berbagi sumber daya, dan mendukung satu sama lain dalam mengatasi tantangan mereka. Dengan menyatukan organisasi dari berbagai konteks, AwareNest memungkinkan organisasi untuk mengembangkan repertoar alat, pengalaman, dan praktik bersama.

Salah satunya adalah pengembangan Kartu Berdaya, alat ajar yang dikembangkan oleh Pamflet Generasi berdasarkan metode 5D (Dialihkan, Dilaporkan, Dokumentasikan, Ditegur, Ditenangkan) dalam menanggapi kekerasan seksual. Dirilis pada 2022, kartu ini kerap dimainkan bersama peserta remaja 14 – 19 tahun di program Suka Ria Remaja sebagai pemantik diskusi ketika membicarakan kekerasan dan perilaku berisiko. 

Setelah diperkenalkan pada mitra AwareNest lainnya beberapa bulan lalu, kartu ini kini sedang dikembangkan bersama dengan WeGrow Vietnam yang akan meluncurkan Kartu Berdaya dalam bahasa Vietnam dan konteks kasus yang disesuaikan dengan kondisi HKSR pada area urban dan rural di Vietnam. Dengan kolaborasi bersama Savy Amira, Kartu Berdaya juga akan dipergunakan oleh lima sekolah di Surabaya.

Meniti Perubahan dengan Perawatan Kolektif

Pendekatan AwareNest didasarkan pada gagasan bahwa perubahan jangka panjang membutuhkan dukungan yang berkelanjutan. Banyak organisasi yang bekerja di bidang HKSR beroperasi dengan dana minimal dan sumber daya manusia yang terbatas, yang membuat kelelahan menjadi sebuah tanda

Menyadari bahwa banyak organisasi di bidang HKSR mengalami keterbatasan sumber daya, baik secara finansial dan sumber daya, mendorong perubahan yang berkelanujutan merupakan tantangan tersendiri. 

Tak jarang pekerja HKSR mengalami burnout atau kelelahan karena keterbatasan ini. 

Selain itu, kerentanan burnout juga diiringi ilusi bahwa segala perjuangan yang dipikul adalah perjuangan sendiri. dengan norma-norma budaya yang menentang dan minimnya ruang untuk saling terhubung dengan perjuangan serupa, memperjuangkan HKSR dapat terasa mengisolasi.

AwareNest berupaya menjawab tantangan ini dengan menciptakan ruang untuk perawatan kolektif dan solidaritas antaranggota komunitas. Solidaritas ini sangat penting untuk menjaga asa praktisi di lapangan dan memastikan bahwa mereka mendapatkan dukungan yang memadai, baik dari segi emosional maupun profesional. AwareNest percaya bahwa perubahan yang berdampak dan berjangka panjang membutuhkan dukungan yang juga berkelanjutan. 

Pembelajaran dan Arah ke Depan

AwareNest CoP telah menjadi platform yang membuka banyak peluang untuk saling belajar, memperkuat jejaring, dan berkolaborasi dalam mengatasi tantangan lokal HKSR. Ke depannya, inisiatif ini berencana untuk terus memperdalam kolaborasi antarorganisasi, mengembangkan modul pendidikan seksual yang lebih kontekstual, serta mendorong lebih banyak ruang bagi praktisi HKSR untuk saling berbagi sumber daya dan praktik terbaik mereka.

Dari pengalaman AwareNest CoP, terlihat jelas bahwa kolaborasi antarorganisasi di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur sangat penting untuk mendorong perubahan yang bermakna dan berkelanjutan. Harapannya, konsep Community of Practice seperti ini dapat menjadi model untuk isu-isu lain di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur, di mana para praktisi dari berbagai latar belakang bisa saling mendukung dan memperkaya kerja-kerja mereka, menciptakan ruang untuk solusi yang lebih inklusif dan berbasis pada konteks lokal.

(Artikel ini merupakan kerja sama Konde.co dengan Pamflet Generasi)

Foto-foto: Foto Pamflet Generasi, WeGrow Vietnam, dan East Bali Poverty Project, bersama siswa-siswi bermain Kartu Berdaya di Sekolah Ekoturin Daya, Desa Ban, Bali.

Luthfi Maulana Adhari

Manajer riset dan pengembangan Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!