Catatan Sejarah Tentang Kiprah Perempuan Minim, Feminisme Dobrak Situasi Itu

Catatan sejarah kerap menyembunyikan sosok perempuan dan peran penting mereka dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah Ratu Ageng Tegalrejo. Feminisme hadir untuk mendobrak status quo yang memosisikan perempuan sebagai warga kelas dua.

Anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan dalam struktur sosial merupakan warga kelas kedua masih sangat subur berkembang di masyarakat Indonesia. Kondisi seperti ini bahkan dianggap sebagai hal yang terberi dan tak berubah, sebuah kemapanan atau status quo.

Nilai ataupun norma yang diwariskan punya kontribusi penting dalam membentuk peran gender yang diharapkan masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan. Terlebih dalam konteks masyarakat dengan budaya patriarki yang masih kuat.

Ajizah, dkk (2021)[1] mengungkapkan bentuk-bentuk penindasan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Penindasan ini bisa kita lihat salah satunya lewat karya sastra seperti novel atau cerpen. Meski merupakan fiksi, cerita yang diangkat dalam karya sastra biasanya adalah representasi dari realitas sosial.

Seperti misalnya novel Dian Purnomo yang berjudul Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam (2021)[2]. Novel yang bercerita tentang pengalaman perempuan korban kawin tangkap di Sumba, Nusa Tenggara Barat ini menggambarkan kondisi sosial di sana. Tradisi kawin tangkap yang sudah lama ada tersebut menempatkan perempuan sebagai objek dan menimbulkan penderitaan.

Penindasan yang dialami perempuan tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain, seperti Mesir. Situasi ketertindasan yang dialami perempuan Mesir dimunculkan Nawal el-Saadawi dalam karyanya yang berjudul Perempuan di Titik Nol (2000)[3]. Novel ini bercerita tentang kehidupan perempuan Mesir yang mengalami kekerasan, diskriminasi dan penindasan dalam kultur masyarakat patriarki.

Baca juga: Mengkaji Ulang Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia

Nawal berpendapat semua orang adalah manusia yang berjuang untuk keadilan di mana saja. Menurutnya, perempuan harus dapat terbebas dan berani menghilangkan tabir pikiran mereka sendiri (disebut status quo), baik kesadaran palsu, kesan-kesan minor maupun sikap lemah yang selama ini melekat kepada perempuan. Dengan begitu barulah perempuan akan mampu menciptakan kesadaran baru dalam diri mereka. Bahwa perbedaan adalah suatu tabir belaka karena sama-sama memiliki martabat sebagai seorang manusia.

Sementara dalam bukunya yang berjudul Al-Mar’ah Wa Al-Jins, Nawal memotret cara pandang masyarakat Arab yang cenderung negatif terhadap perempuan dan seksualitas. Sebagai seorang dokter, Nawal pernah dipecat dari rumah sakit karena buku ini. Padahal tulisan-tulisannya tersebut merupakan upaya untuk melawan ketidakadilan gender yang dialami perempuan.

Perempuan dalam Sejarah

Kalau kita telusur ke belakang, sedikit sekali catatan sejarah tentang kiprah perempuan. Bisa dibilang ketika berbicara dalam perspektif sejarah, terlihat ada upaya menghilangkan sosok-sosok perempuan yang ikut andil sebagai agen perubahan dunia.

Catatan tentang peran perempuan di ranah publik sangatlah minim. Pasalnya perspektif kepenulisannya masih sangat bias gender, ini tidak terlepas dari masih kuatnya budaya patriarki. Akibatnya pencatatan sejarah perempuan hanya menuliskan keterpurukan sosok perempuan dengan menghilangkan banyak kontribusinya dalam peradaban dunia.

Setidaknya sejarah mencatat masa kelam perempuan yang menjadi korban mitos. Mitos itu menyebutkan perempuan dikutuk mendapat siklus menstruasi, merasakan ketidaknyamanan saat mengandung dan kesakitan ketika melahirkan karena dosa Hawa.

Sahrodi (2010) mengungkapkan setidaknya hingga abad ke-19 Masehi mitos tersebut terus bergulir. Ini menjelaskan bahwasanya posisi perempuan sebelum abad ke-19 berada dalam keadaan terikat dan terkungkung oleh pelbagai ikatan kepercayaan yang diterima secara tradisional tanpa alasan yang rasional. Kesempatan perempuan untuk mengembangkan potensi alamiah yang dimiliki menjadi kecil karena segalanya dikorbankan demi memenuhi tuntutan lawan jenisnya.

Namun pada abad yang sama, Indonesia telah melahirkan tokoh-tokoh perempuan yang jarang diketahui sejarah, salah satunya Ratu Ageng Tegalrejo (1736-1803). Ia merupakan istri dari Sultan Hamengku Buwono I yang punya peran dalam bidang militer. Ratu Ageng Tegalrejo merupakan sosok penunggang kuda yang tangguh dan sangat mahir menggunakan senjata perang gagrak tradisional maupun modern.

Baca juga: Hari Pahlawan 10 November: Jumlah Pahlawan Perempuan Hanya 8 Persen, Tunjukkan Pengabaian Sejarah Perempuan

Ia menjadi panglima Bregada Langen Kesuma yang merupakan kesatuan khusus pegawai raja dari pasukan elit perempuan pengawal raja. Sosok Diponegoro yang dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia punlahir dari didikan keras Ratu Ageng Tegalrejo yang merupakan nenek Diponegoro.

Selama Diponegoro berada di Tegalrejo, Ratu Ageng mengajarinya berbagai ragam teks bacaan islam. Seperti Kitab Tuhfan yang berisi ajaran sufisme tentang tujuh tahap ekstensi. Ia juga mengaji kitab-kitab tasawuf, suluk, serta anbiya, tafsir Al-Qur’an. Atas bimbingan Ratu Ageng, Diponegoro juga belajar politik pada kitab Siratus Salatin dan Tajussalatin.

Ratu Ageng juga mengajarkan berbagai keterampilan perang kepada cicitnya, seperti menembak, memanah dan berkuda. Peter Carey dalam bukunya berjudul Takdir Riwayat Diponegoro 1785-1855 (2015)[4] mengungkapkan keunikan masa pendidikan dan pengasuhan Diponegoro oleh buyutnya Ratu Ageng yang terkenal keras. Hasil didikan tersebut membentuk komitmen pribadi Diponegoro terhadap islam dan taktik politik begitu kuat.

Seyogianya penceritaan Diponegoro tidak lepas dari peran dan kontribusi perempuan hebat yang mendidiknya, yaitu Ratu Ageng Tegalrejo dan ibunya Raden Ayu Mangkorowati. Namun sejarah sepertinya memiliki versi sendiri dengan banyak menghilangkan kisah heroik perempuan. Bisa jadi para penulis sejarah mengaminkan bias gender dalam ada di masyarakat.

Mendobrak Status Quo Perempuan

Paparan di atas menunjukkan permasalahan yang dihadapi perempuan baik berupa stigma, bias gender, diskriminasi, dan kekerasan begitu mengakar di masyarakat. Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan. Pendobrakan atas status quo yang menempatkan perempuan sebagai objek dan warga kelas dua perlu dilakukan.

Memang tak mudah mengubah pandangan, nilai ataupun adat istiadat yang sudah melekat dan diturunkan lintas generasi. Pertentangan pasti tidak akan terelakkan, tetapi apakah kita akan menyerah dan menerima begitu saja?

Simone de Beauvoir dalam bukunya Second Sex (2001)[5]mengungkapkan ketidakadilan yang dialami perempuan merupakan akibat dari konstruksi laki-laki sebagai sang diri. Sedangkan perempuan diposisikan sebagai liyan atau ‘yang lain’, yang menjadi ancaman bagi laki-laki. Konsekuensi dari pandangan semacam ini adalah jika laki-laki ingin menjadi bebas, mereka harus mensubordinasi perempuan.

Feminisme kemudian lahir sebagai upaya untuk mendobrak status quo yang memosisikan perempuan sebagai warga kelas dua. Gerakan feminisme berupaya mengoreksi kesalahan berpikir atas tubuh perempuan agar laki-laki dan perempuan menjadi setara.

Berkaca pada pemikiran feminisme liberal, perempuan dan laki-laki tidak selalu sama, karena dalam beberapa hal memang berbeda terlebih secara biologis. Namun perbedaan itu bukanlah suatu pembenaran untuk mendiskriminasi perempuan. Karena itu menciptakan relasi gender yang setara menjadi penting, artinya masing-masing gender saling bekerja sama untuk kesejahteraan bersama.

Baca juga: Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Radikal Ajarkan Bagaimana Melawan Penindasan Tubuh Perempuan

Asghar Ali Engineer dalam teologi pembebasannya juga mengemukakan gagasan serupa. Bahwasanya islam datang untuk mengubah status quo, mengentaskan kelompok yang tertindas dan dilemahkan. Dapat dilihat bahwa islam menentang riba, perbudakan, barbarisme, ketidakadilan ekonomi, politik dan gender.

Teologi pembebasan yang dibawa Asghar juga turut mendobrak ketidakadilan, penindasan terhadap perempuan, pengekangan terhadap aspirasi perempuan, diskriinasi status dalam hal pekerjaan, penumpukan kekayaan dan pemusatan kekuasaan dalam realitas masyarakat kontemporer (Fadila, 2023)[6]. Oleh karena itu, tampaknya memang sangat diperlukan pendobrakan status quo perempuan.

Solusi yang dapat dihadirkan adalah kolaborasi antar perempuan serta kesadaran untuk bersama mendobrak status quo. Namun tampaknya kesadaran perlu dibangun terlebih dahulu pada konsepsi pemikiran yang akan diubah. Karena itu penting bagi perempuan untuk punya peran dalam memengaruhi berbagai sektor termasuk perpolitikan negara. Selain juga menumbuhkan kesadaran di tataran akar rumput.


[1] Nur Ajizah, Khomisah, “Aktualisasi Perempuan dalam Ruang Domestik dan Ruang Publik Perspektif Sadar Gender.” Az-Zahra Journal of Gender and Family Studies, Vol. 2(1), 59-73.

[2] Dian Purnomo, “Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam.” Gramedia Pustaka Utama, 2021 : Jakarta

[3] Nawal El-Saadawi, “Perempuan di Titik Nol.”, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2000.

[4] Peter Carey, “Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).”, Kompas 2015, Jakarta

[5] Simon de Beauvoir, “Beauvoir and The Second Sex.”

[6] Yola Fadila, “Islam dan Pembelaan Terhadap Perempuan : Studi Pemikiran Asghar Ali Engineer Teologi Pembebasan.” Jurnla Ilmu Agama, Vol 24(1), 2023

Achmad Mahbuby

Salah satu penggerak Komunitas Literasi Taman Wacana yang turut menggagas isu keperempuanan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!