Poster aksi Hari Perempuan Internasional, 1 Mei 2024: hak perempuan adalah hak asasi manusia. Hari HAM Sedunia diperingati pada 10 Desember. (foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri)

Catatan Hitam Hari HAM: Ada Femisida dan Kekerasan Aparat di Tengah Politik Dinasti dan Oligarki

Catatan Hari HAM 10 Desember 2024 dari berbagai organisasi menyebut tentang banyaknya femisida atau pembunuhan terhadap perempuan, serta kekerasan polisi yang terjadi dalam pemerintahan dinasti dan kepungan oligarki

Mutiara Ika Pratiwi, aktivis Aliansi Perempuan Indonesia (API) merasa resah dengan kondisi perempuan Indonesia saat ini.

Bagaimana tidak resah jika perempuan Indonesia saat ini hidup di tengah kondisi patriarki dengan pemerintahan hasil politik dinasti dan cengkeraman para oligarki?

“Lihat saja, banyaknya kekerasan perempuan yang mencoba mempertahankan lingkungannya, dan banyaknya femisida atau pembunuhan terhadap perempuan.” 

Laporan Jakarta Feminist tahun 2023 menyebut, sebanyak 184 kasus femisida dengan 194 korban perempuan. Dari total tersebut, 88% pelaku adalah laki-laki dan mayoritas merupakan pasangan korban. Komnas Perempuan menemukan, femisida dilakukan karena didorong oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi serta misogini terhadap perempuan serta adanya ketimpangan relasi. Hingga saat ini data terkait kasus pembunuhan belum terpilah berbasis gender, padahal data ini penting menjadi pintu masuk untuk menganalisis kasus femisida selanjutnya.

Mutiara Ika juga menyoroti kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) yang juga tak selesai. Institusi dan kebijakan yang tak maksimal yang tidak banyak mendapatkan perhatian negara.

“Mestinya negara punya kebijakan strategis bagaimana persoalan ini dilihat dan jadi prioritas mereka. Kita melihat situasi pemerintahan baru. Tapi justru melanggengkan agenda lama yang menekankan pada eksploitasi dan mempertajam eksploitasi tubuh perempuan,” kata Mutiara Ika yang dihubungi Konde.co pada 9 Desember 2024

Salah satu eksploitasi yang dilakukan negara yaitu eksploitasi lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA). Seperti Proyek Strategi Nasional (PSN) yang dilakukan atas nama pembangunan padahal menggusuri tanah dan tempat tinggal perempuan.

“Proyek atas nama pembangunan ini memunculkan intimidasi, kriminalisasi dan ketakutan pada para aktivis HAM di lapangan. Takut karena pemerintahan baru dan represi militer yang bisa terjadi kapan saja. Masalah lain, yaitu adanya food estate yang menyertakan militer di lapangan.”

Selain itu, Mutiara Ika juga menyoroti rezim yang penuh dengan pencitraan yang akan melanjutkan rezim sebelumnya.

Baca Juga: ‘Adik Perempuanku Diculik dan Disekap Di Gedung DPRD’: Kami Berjuang Melawan Teror

KontraS melihat, pada awal tahun ini, masyarakat disuguhi riuhnya ‘pesta demokrasi’. Namun, pergantian rezim pemerintahan Joko Widodo ke Prabowo Subianto ini, tak berdampak signifikan pada kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, khususnya ketika Hari HAM Internasional  

Ini tampak pada situasi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM di Indonesia masih belum menjadi perhatian utama. Sebaliknya, pendekatan pembangunan untuk akumulasi kapital oligarki justru mendominasi. 

Laporan tahunan yang dibuat Kurawal di tahun 2023 menyebut bahwa persoalan demokrasi dan HAM banyak sekali terjadi di rezim Jokowi. Mantan Presiden Jokowi telah naik ke tampuk kekuasaan dengan tipu daya dan manipulasi. Ia awalnya membawa narasi bahwa ia mencapai puncak lewat kerja keras. Namun kemudian menyatakan diri sebagai seorang ‘Raja Jawa’, simbol kekuasaan dan otoritas yang kini dilanjutkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka.

Laporan Kurawal juga menandakan adanya banyak persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Gaya politik Jokowi yang ditandai dengan populisme tanpa ideologi yang jelas, sebagai politisi tanpa pandangan ideologis, tindakan Jokowi lebih dituntun oleh kesempatan dan pragmatisme. Tak hanya itu, Jokowi juga dikenal karena anti-intelektualisme. Dengan keputusan-keputusan yang lebih mengutamakan hasil jangka pendek daripada prinsip-prinsip ideologis atau etis. Dan gaya pemerintahannya itu, kini dilanjutkan anaknya, Gibran.

Baca Juga: Hari HAM: Pemutaran Film More than Work

Di Sulawesi Utara (Sulut), berbagai jaringan perempuan seperti LBH Manado, Koalisi anti kekerasan berbasis seksual atau KAKSBG, Swara Parangpuan, Suara Perempuan Sulut, dan berbagai organisasi lain juga melihat banyaknya persoalan HAM yang harus diselesaikan. Mereka melakukan aksi turun ke jalan di Polda Sulut. 

Aktivis KAKSBG yang dihubungi Konde.co, Emmanuela Glloria menyatakan, mereka menyoroti kekerasan seksual dan femisida yang banyak terjadi.

“Kekerasan seksual di Sulut masih sangat banyak, juga femisida. Tuntutan kami adalah menjatuhkan pada pelaku atau predator untuk menerima sanksi pidana maksimal. Implementasi tentang UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual/TPKS untuk kasus yang menimpa anak. Dan membuka identitas pelaku kekerasan agar menjadi pembelajaran masyarakat,” kata Emanuella Gloria pada Konde.co, 9 Desember 2024.

Diluar kasus perempuan, Amnesty International Indonesia tanggal 9 Desember 2024 juga meluncurkan “Catatan Hari HAM Kekerasan Aparat Makin Darurat.”

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam launching yang dihadiri Konde.co secara online memaparkan hasil investigasi Amnesty terkait aksi unjuk rasa dengan polisi yang terus-terusan melakukan kekerasan. Salah satunya yang terjadi pada 22-29 Agustus 2024. Kekerasan yang dilakukan polisi ini termasuk dalam pelanggaran HAM dan penyiksaan di luar hukum dengan penggunaan kekuatan aparat yang berlebihan. Polisi adalah institusi yang melakukan kekerasan, data menunjukkan terdapat 116 kekerasan polisi dari Januari-November 2024

“Polisi terlalu cepat menggunakan alat untuk melakukan kekerasan. Seperti yang terjadi pada unjuk rasa mahasiswa dengan persoalan yang sepele di banyak kota-kota di Indonesia. Ini juga menunjukkan arogansi polisi yang menyeret orang dan ditembak.”

Baca Juga: Stop Kekerasan Seksual Di Dunia Pendidikan: Catatan Aktivis Perempuan di Hari HAM

Pembunuhan di luar hukum ini juga terjadi pada 29 kasus yang menewaskan 31 orang yang terjadi di Papua, Sumut, Riau, Sumsel, Aceh, Banten. Polisi juga menyiksa warga masyarakat yang terjadi di 27 kota/ kabupaten dengan 39 korban.

Untuk aksi damai memprotes dinasti Jokowi yang terjadi pada 22-29 Agustus 2024 di 14 kota, polisi juga melakukan kekerasan terhadap 579 masyarakat. Yaitu penangkapan, kekerasan fisik, gas air mata, kekerasan berlapis dan hilang sementara.

“Hasil evaluasi kami, tindakan yang menyalahi kode etik dan penggunaan kekerasan polisi ini terjadi karena mendapatkan pemakluman dari pemerintah. Memang benar ada kericuhan seperti mahasiswa merobohkan gerbang DPR RI di Jakarta. Namun ini tidak seimbang dengan kekerasan yang dilakukan polisi yang terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa argumen polisi yang menyatakan bahwa kami tidak akan menembakkan gas air mata jika tidak ada yang memulai, itu tidak benar. Terbukti di video-video yang kami lihat, polisi telah melakukan penendangan, gas air mata.”

Usman Hamid menyatakan bahwa kekerasan polisi yang berulang adalah lobang kekerasan HAM yang terjadi di Indonesia.

Menambahkan data ini, KontraS juga melihat, bahwa kebebasan sipil warga negara juga menjadi salah satu aspek yang seringkali dilanggar sepanjang tahun ini. Masyarakat yang mempraktikkan hak untuk berekspresi, berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat berkali-kali mengalami pembubaran paksa dan bentuk-bentuk represi lainnya. 

Baca Juga: Perempuan Bertepuk Sebelah Tangan: Pemerintah Hanya Janji Saja, Kasus HAM Tak Juga Selesai

“Aparat yang seharusnya berperan melindungi dan menjamin hak warga negara justru terkesan permisif dan membiarkan peristiwa-peristiwa tersebut terjadi,” ujar Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, dalam siaran resmi yang diterima Konde.co (9/12). 

Dalam beberapa peristiwa seperti aksi #PeringatanDarurat, aparat baik Polri dan TNI justru menjadi pelaku terjadinya tindak kekerasan terhadap peserta aksi. Sepanjang tahun ini, jurnalis juga menjadi sasaran serangan. KontraS mencatat 20 peristiwa serangan terhadap jurnalis yang terdiri dari antara 10 kekerasan fisik, 9 kasus intimidasi, 1 kriminalisasi, dan 2 penangkapan sewenang-wenang. 

Berbagai peristiwa tersebut menyebabkan 23 orang jurnalis terluka sepanjang Desember 2023-November 2024. Mayoritas pelanggaran terhadap hak jurnalis dilakukan oleh Polisi yang terlibat dalam setidaknya 11 peristiwa.

Sepanjang Desember 2023-November 2024 KontraS juga mencatat, ada 45 peristiwa extrajudicial killing yang mengakibatkan 47 korban. Berdasarkan latar belakang korban, sebanyak 27 korban merupakan tersangka tindak pidana (kriminal) dan 20 lainnya bukan merupakan tersangka tindak pidana. Pemantauan yang sama juga menunjukkan, 29 korban extrajudicial killing yang terjadi disebabkan oleh penembakan dengan senjata api dan 18 lainnya akibat tindak penyiksaan. 

“Perlawanan yang dilakukan oleh tersangka tindak pidana seringkali menjadi “justifikasi” dilakukannya penembakan terhadap tersangka. Ironisnya, data pemantauan KontraS mencatat bahwa 24 dari 47 korban extrajudicial killing terbunuh walau tidak melakukan perlawanan kepada aparat,” jelasnya.  

Selain kasus “penghilangan nyawa” akibat extrajudicial killing, sepanjang Desember 2023-November 2024, KontraS juga mencatat penjatuhan 29 vonis pidana mati dengan 57 terpidana. Mayoritas kasus yang divonis merupakan tindak pidana narkotika sebanyak 16 kasus dan 13 lainnya kasus pembunuhan. 

“Narkotika masih menjadi tindak pidana dengan jumlah vonis pidana mati terbanyak,” lanjut dia. 

Baca Juga: Tahukah Kamu: 29 November Adalah Hari Perempuan Pembela HAM Sedunia

Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membuka ruang bagi dijatuhkannya pidana mati. Jumlah terpidana mati baru ini menambah panjang daftar terpidana mati yang kini “mendekam” dalam lembaga pemasyarakatan. 

Serupa dengan hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Namun, sepanjang Desember 2023-November 2024 masih ditemukan sejumlah peristiwa penyiksaan dengan motif yang berbeda-beda. 

Baca Juga: Hari HAM 2023: Jokowi Tak Bereskan 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Pemantauan KontraS mencatat sebanyak 62 peristiwa penyiksaan yang menyebabkan 109 korban luka dan 19 korban tewas. Dengan kata lain, terdapat 128 korban penyiksaan sepanjang Desember 2023-November 2024. Sebanyak 35 dari 128 korban merupakan tersangka tindak pidana dan 93 korban lainnya merupakan warga sipil biasa. 

“Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan watak aparat yang mengedepankan kekerasan dalam upaya menjaga keamanan dan ketertiban serta penegakan hukum,” tegasnya. 

Pada sektor pembangunan, agenda pembangunan yang seharusnya mensejahterakan masyarakat justru menjadi sumber terlanggarnya hak kolektif masyarakat. Hal tersebut selaras dengan temuan data KontraS, dimana sepanjang tahun ini setidaknya terdapat 161 peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi dalam sektor sumber daya alam.

Pelanggaran tersebut melingkupi tindakan okupasi lahan (70), pengrusakan (43), intimidasi (28), teror (7), penangkapan sewenang-wenang (11), penggusuran paksa (8), bisnis keamanan (13), penganiayaan (9), dan kriminalisasi (48). Selain itu, dalam sektor Proyek Strategis Nasional (PSN), setidaknya sepanjang periode ini terdapat 13 peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di sektor PSN. 

“Masyarakat adat menjadi pihak yang paling dirugikan akibat berbagai proyek pembangunan. Seringkali proyek pembangunan dilakukan di atas tanah adat yang oleh pemerintah dan investor dipandang sebagai lahan untuk meraup keuntungan,” katanya.  

Sepanjang tahun ini, KontraS mencatat 23 peristiwa pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. Mayoritas kasus tersebut disebabkan oleh kegiatan bisnis oleh perusahaan-perusahaan swasta dengan 20 peristiwa dan tiga peristiwa lainnya akibat proyek milik pemerintah. Peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi diwarnai oleh antara lain 13 okupasi lahan, tujuh pengrusakan, enam kriminalisasi serta lima kasus intimidasi. Berbagai peristiwa tersebut menyebabkan 27 orang ditangkap dan lima korban luka-luka. 

Tahun Terburuk Penegakan HAM Sejak Reformasi

Dimas menekankan, tahun 2024 ini menjadi tahun terburuk bagi penegakkan HAM sekaligus titik putar balik bagi demokratisasi Indonesia sejak Reformasi 1998. Pasalnya, dua individu yang merupakan bagian dari rezim tersebut, sekaligus diduga terlibat dalam kejahatan-kejahatan HAM di bawahnya, kini mendapatkan pengistimewaan oleh pemerintah. 

“Tahun 2024 tak ubahnya merupakan simbol impunitas paling vulgar di Indonesia,” tegas Dimas. 

Pada 28 Februari 2024, Presiden memberikan kenaikan pangkat secara istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 13/TNI/2024 tertanggal 21 Februari 2024. Pada kesempatan lain di tanggal 25 September 2024, dalam kesempatan Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan 2019-2024, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada saat itu, menyampaikan bahwa nama Soeharto resmi dihapus dari Pasal 4 Ketetapan (TAP) MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 

“Secara tidak langsung, MPR melakukan upaya pemutihan terhadap rekam jejak berdarah yang dilakukan Soeharto. Meskipun hingga akhir hayatnya Soeharto tidak pernah diadili dalam pengadilan, hal tersebut tidak lantas menghapuskan berbagai kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang telah ia lakukan selama menjadi Presiden,” jelasnya.  

Seakan tidak cukup memutihkan dosa Orde Baru dengan menghapuskan nama Soeharto di atas, Ketua MPR Periode 2019-2024 kembali melakukan upaya pengkhianatan Reformasi. Pada 28 September 2024, ia menyampaikan agar pemerintah mendatang mempertimbangkan pemberian pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. 

Baca Juga: Aktivis Perempuan: Hari HAM Jangan Hanya Jadi Gimmick Perayaan Tahunan

Sementara di sisi lain, penegakan HAM pada 2024 melewati turbulensi hebat karena sejumlah kasus pelanggaran berat HAM yang jelas “nasibnya”. Saat ini, Komnas HAM tengah melakukan penyelidikan pro-yustisia untuk dua peristiwa, yaitu pembunuhan Munir Said Thalib, aktivis dan pembela HAM, pada 2004 dan peristiwa Bumi Flora pada 2001. 

“Penyelidikan pro-yustisia dari kedua kasus tersebut hingga kini tidak jelas kelanjutannya,”  

Dia melanjutkan, Proses kasasi Pengadilan HAM Paniai hingga kini masih mandek karena DPR-RI tak kunjung meloloskan calon Hakim ad hoc HAM yang dicalonkan oleh Komisi Yudisial. “Hal tersebut memperpanjang penantian korban dan keluarga korban Paniai akan keadilan atas peristiwa yang menimpa mereka.”

Situasi kekerasan dan konflik yang terjadi di Tanah Papua menjadi elemen yang setiap tahunnya dipantau oleh KontraS. Pada Desember 2023-November 2024 tercatat 51 peristiwa kekerasan yang terjadi kepada warga sipil di Tanah Papua. Peristiwa kekerasan tersebut meliputi 22 penembakan, 12 penangkapan sewenang-wenang, 11 kasus pembubaran paksa, 8 tindak penganiayaan, 7 penyiksaan, 7 intimidasi, 2 tindakan tidak manusiawi dan 1 kriminalisasi. 

Tercatat 51 peristiwa kekerasan tersebut menyebabkan 36 orang luka dan 21 orang tewas. Para pelaku terdiri dari antara lain Polri yang terlibat dalam 19 peristiwa kekerasan, TNI dengan 17 peristiwa, dan TPN-PB dengan 10 peristiwa. 

“Setiap tahunnya selalu ada prajurit TNI-anggota Polri, anggota kelompok bersenjata pro-kemerdekaan dan warga sipil yang tewas akibat ekses dari konflik yang terjadi di Tanah Papua. Berulangnya peristiwa semacam itu memberi kesan bahwa pemerintah tidak memiliki rencana konkrit untuk memutus rantai konflik dan situasi kekerasan yang terjadi di Tanah Papua,” kata dia. 

Baca Juga: Hari HAM 2020: Rapor Merah Pemajuan HAM Buruh Perempuan

Paradoks Pemerintah Indonesia di panggung internasional juga patut menjadi sorotan. Pada 2024, menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, pemerintah Indonesia kerap menggunakan forum internasional untuk mempromosikan capaian dalam isu hak asasi manusia (HAM), seperti pemilu yang diklaim sukses, pengakuan terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, dan upaya restoratif di Papua. 

“Namun, realitas di dalam negeri menunjukkan pola tokenisme, dengan fakta-fakta lapangan yang sering bertentangan dengan narasi pemerintah,” kata Dimas.  

Dalam Sidang ICCPR di Jenewa, misalnya. Perwakilan Indonesia dikritik atas kebuntuan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, kekerasan terhadap masyarakat Papua, dan pembatasan ruang sipil. Jawaban pemerintah dinilai normatif dan menghindar dari inti masalah, termasuk isu impunitas dan militerisasi di Papua. 

Di sisi lain, meski vokal mendukung Palestina di forum internasional, data menunjukkan lonjakan signifikan impor dari Israel, yang memicu kritik akan inkonsistensi sikap HAM Indonesia. Temuan perdagangan dengan Israel, termasuk impor teknologi pengawasan dan intelijen, menyoroti potensi normalisasi hubungan yang berlawanan dengan klaim resmi pemerintah. 

“Kombinasi diplomasi HAM yang retorik dan praktik domestik yang kontras menggambarkan kompleksitas posisi Indonesia di panggung global.”

Dimas memproyeksikan, berbagai peristiwa tersebut tampaknya akan berlanjut pada pemerintahan Prabowo Subianto. Mengingat Prabowo berulang kali menekankan akan melanjutkan berbagai kebijakan Joko Widodo. Paradigma pembangunan yang diusung Prabowo, yang menekankan pada kelanjutan proyek strategis nasional (PSN). Cenderung mempertahankan pendekatan ekstraktif dan fokus pada infrastruktur besar-besaran. 

“Pola pembangunan semacam ini telah terbukti kerap mengabaikan hak-hak masyarakat lokal. Termasuk hak atas tanah dan lingkungan hidup. Sehingga potensi pelanggaran HAM, terutama di wilayah pedesaan dan daerah terpencil, tetap tinggi. Dengan kata lain, situasi HAM di Indonesia berisiko stagnan atau bahkan mengalami kemunduran,” pungkasnya. 

(foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri)

Nurul Nur Azizah dan Luviana

Nurul Nur Azizah dan Luviana, Redaktur dan Pemimpin Redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!