Indonesia telah mengalami kemajuan dalam hal kemerdekaan beragama dan bertenggang rasa setelah reformasi, dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengisian Kolom Agama pada Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk bagi Penghayat Kepercayaan.
Sejak itu, negara mengakui keberadaan identitas penghayat kepercayaan secara resmi di Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan juga pencatatan perkawinannya. Hasilnya, ratusan ribu warga negara Indonesia (WNI) memiliki KTP dengan identitas penghayat kepercayaan. Sebelumnya, kolom agama dalam KTP diisi kosong bagi pemeluk kepercayaan, sehingga hak kemerdekaan menjalankan agama dan kepercayaan mereka belum sepenuhnya terjamin.
Namun, kemajuan tersebut belum cukup. Penghayat kepercayaan masih mengalami berbagai diskriminasi dalam hal fasilitas ibadah, pelayanan administrasi publik, fasilitas pendidikan dan lainnya. Ini menjadikan mereka sebagai subaltern—kelompok yang ditundukkan oleh kelompok lain yang menguasai mereka.
Baca juga: Nasib Malang Pendidikan Penghayat Kepercayaan: Penyuluh Dilarang Mendidik, Murid Dipersekusi, Hingga Problematika RUU Sisdiknas
Dalam konteks kewarganegaraan, identitas subaltern tidak mendapatkan perlindungan yang setara dan adil selayaknya warga negara lainnya. Mereka dianggap tidak ada, atau dibungkam dalam konstruksi struktur sosial politik yang kompleks sehingga kesulitan untuk menyuarakan aspirasinya.
Ini disebabkan oleh, salah satunya, modernisasi yang memaksa warga untuk tunduk pada norma mayoritas. Sehingga, terjadi degradasi terhadap pengetahuan asli.
Solusinya, Indonesia memerlukan kebijakan yang menghapus diskriminasi dan membudayakan pendidikan demokrasi dalam berbagai lembaga pendidikan dan kehidupan bermasyarakat. Sehingga, hak penghayat kepercayaan dapat terpenuhi secara adil dan setara, serta masyarakat pun terlatih hidup harmonis dalam keberagaman.
Degradasi Pengetahuan Asli
Modernisasi yang telah dimulai sejak zaman kolonial berdampak pada degradasi pengetahuan asli. Ini menyebabkan pemahaman kita terhadap pengetahuan dan kearifan lokal menjadi terbatas atau dipenuhi prasangka tertentu.
Bumi dengan pohon-pohon yang rapat dan hijau, contohnya, sering digambarkan dengan simbol yang mengerikan seperti genderuwo dan kuntilanak. Ahli pengobatan tradisional juga termarjinalisasi sedemikian rupa sehingga istilah dukun sering dimaknai negatif.
Dalam konteks penghayat kepercayaan, mereka kerap dipandang nyleneh, atau menyimpang dari identitas ideal mayoritas masyarakat.
Degradasi berbagai bentuk kearifan lokal dan pengetahuan otentik ini terjadi sedemikian rupa sehingga mendorong munculnya bentuk-bentuk kekerasan struktural dalam aspek sosial. Contohnya dalam hal fasilitas peribadatan, pendidikan formal, bias dalam norma sosial, serta penolakan sosial.
Kekerasan Struktural Halangi Kemerdekaan
Dalam hal tempat peribadatan, masih jarang fasilitas umum yang ramah terhadap keanekaragaman agama dan kepercayaan. Fasilitas keagamaan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai agama dan kepercayaan seperti Puja Mandala di Bali, jumlahnya di Indonesia dapat dihitung dengan jari.
Lembaga pendidikan formal yang selayaknya mempromosikan keadilan bagi seluruh peserta didik dan juga staf, terkesan memprioritaskan ibadah hanya untuk mayoritas pemeluk enam agama saja.
Pengelola sekolah umumnya beralasan bahwa jumlah penghayat kepercayaan di sekolah mereka sangat sedikit sehingga tidak perlu mendapatkan tempat khusus.
Selain itu, norma sosial juga kadang bias dalam hal busana. Misal, di beberapa sekolah formal, siswi non-penghayat kepercayaan sering kali dipaksa menggunakan busana berlengan panjang, celana panjang dan jilbab. Diskriminasi serupa juga muncul di lingkungan masyarakat baik dari sebaya maupun orang yang lebih tua.
Ini berisiko memunculkan penolakan dan keterasingan sosial. Sebab, penghayat kepercayaan dianggap berbeda dari masyakarat pada umumnya, sehingga satu-satunya cara untuk diterima adalah dengan konformitas—menyesuaikan sikap dan perilaku dengan nilai atau kaidah yang berlaku. Jika tidak, kelompok minoritas akan kesulitan memperoleh pekerjaan dan mengakses kebutuhan dasar.
Bagaimana Solusinya?
Kekerasan struktural yang menimpa penghayat kepercayaan membutuhkan solusi dari dua sisi. Dari sisi kelompok minoritas, penghayat kepercayaan perlu dibekali dengan kepercayaan diri, untuk berani tampil secara jujur dalam kondisi masyarakat yang beraneka ragam. Dengan bersikap jujur, kelompok minoritas ini akan semakin mudah memperoleh penerimaan, sehingga perbedaannya dihormati dan kebutuhannya terpenuhi.
Namun, ini hanya mungkin terjadi jika penghayat kepercayaan telah memiliki rasa aman dalam menjalankan kepercayaannya. Artinya, dari sisi pemerintah, mereka harus betul-betul menjamin kemerdekaan dan keamanan penghayat kepercayaan. Caranya adalah dengan menyediakan ruang bagi kelompok minoritas penghayat kepercayaan untuk bersuara agar mendapatkan pemenuhan haknya sebagaimana warga negara yang lain.
Baca juga: Pemantauan Komnas Perempuan: Diskriminasi pada Perempuan Penghayat Kepercayaan di Indonesia
Dengan kata lain, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mengatur penyediaan fasilitas umum untuk peribadatan berbagai umat beragama termasuk penghayat kepercayaan. Ini bisa dimulai dari lingkup kecil seperti tempat kerja, lalu berkembang ke lingkungan tempat tinggal, seperti rukun tetangga dan desa.
Terakhir, penting bagi masyarakat untuk belajar tentang pendidikan yang saling memerdekakan, yaitu pendidikan yang memiliki tujuan bertenggang rasa dalam kehidupan demokratis. Dengan begitu, masyarakat akan mengembangkan sikap toleran, sesuai pepatah live and let live yang dikutip Bung Karno dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 yang berarti, menjadi diri sendiri di tengah aneka identitas, dan melihat keberagaman sebagai harmoni yang selaras.
Keterangan foto: Kemendikbudristek serahkan KTP baru kepada perwakilan dari 20 organisasi Penghayat Kepercayaan dalam Festival Budaya Spiritual di Surakarta, Jawa Tengah, Senin (17/7/2023). Sumber Foto: ANTARA/Astrid FaidlatulHabibah.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.