Poster 'Bolehkah Sekali Saja Kumenangis' (sumber foto: Youtube Cinema XXI)

Film ‘Bolehkah Sekali Saja Kumenangis’: Perjuangan Perempuan Terbentur, Terbentuk, dan Bebas dari Belenggu KDRT

Film ‘Bolehkah Sekali Saja Kumenangis’ mengangkat dua isu utama yang masih pelik menjerat para perempuan di Indonesia: bebas dari KDRT dan merawat kesehatan mental.

Ada satu kutipan dari film ‘Bolehkah Sekali Saja Kumenangis’ yang, meski singkat, melekat dalam benak.

“Terbentur dan terbentuk.”

Ungkapan tersebut disampaikan oleh Tari (Prilly Latuconsina) dalam menggambarkan proses kehidupannya. Sebagai seorang perempuan, Tari ‘terbentur’ dan ‘terbentuk’ oleh trauma bernama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Begitu pula dengan banyak perempuan lainnya di dunia, termasuk di Indonesia.

Bolehkah Sekali Saja Kumenangis’ merupakan film karya sutradara Reka Wijaya, di bawah rumah produksi Sinemaku Pictures dan diproduseri oleh Umay Shahab. Film ini berkisah tentang perempuan yang menjadi korban kekerasan domestik selama bertahun-tahun. Dalam film ini juga tersirat trauma seorang anak perempuan.

Di awal cerita, penonton disajikan adegan pilu: gambaran kehidupan Tari di ‘rumah’ yang penuh teriakan dan suara lemparan yang memekik di telinga. Tari ditampilkan sebagai karakter yang tidak banyak bicara dan tidak menyuarakan hal-hal yang bermunculan di pikirannya.

Baca Juga: Sensasionalisme Media Ikut Mereviktimisasi Artis Korban KDRT

Film ini juga membawa pengalaman yang cukup jarang dibicarakan di Indonesia, yaitu support group atau kelompok dukungan. Dalam support group ini, Tari dikelilingi orang-orang yang menceritakan proses ‘terbentur’ mereka dalam kehidupan. Ada berbagai isu yang disebutkan dalam cerita-cerita tersebut. Misalnya, hubungan romantis yang beracun dan hubungan antara anak dengan orang tua. Nina (Widi Mulia), berperan sebagai mediator dalam support group, menjadi sosok perempuan yang penuh belas kasih dan kepedulian terhadap orang-orang di sekitarnya. Nina secara implisit memberikan secercah harapan bagi Tari untuk berani bangkit dan melawan. 

Selain tentang dirinya sendiri, satu hal penting yang disoroti dalam cerita Tari adalah kisah ibunya, Devi (Dominique Sanda). Devi adalah sosok perempuan tangguh yang harus menanggung beban luka yang dirasakan dirinya dan anak-anaknya. Sebab, mereka mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, Pras (Surya Saputra). Dalam keluarga Tari dan Devi, Pras merupakan seorang suami dan ayah yang keras dan manipulatif. Ketimpangan relasi kuasa dalam keluarga mereka termanifestasi dalam bentuk KDRT yang dilakukan Pras terhadap Devi dan anak-anaknya.

Sama-sama menjadi tokoh utama dalam film ini, baik Devi maupun Tari hidup sebagai sosok yang dianggap tidak berharga di dalam rumahnya. Devi mengalami berbagai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya sendiri, baik itu kekerasan fisik, mental, bahkan ekonomi.

Kehidupan Devi dikekang oleh Pras. Ia pun dibuat tidak berdaya dalam rumah tangganya sendiri. Devi bahkan tidak memiliki kontrol atas dirinya dan perasaannya. Pasalnya, ia kerap dibombardir ucapan-ucapan manipulatif yang terlontar dari mulut Pras. Cara sang ayah memperlakukan ibunya pun membentuk Tari menjadi pribadi yang jarang bersuara dan memilih memendam segala emosi negatif yang ia rasakan.

Baca Juga: ‘Paya Nie’: Belenggu Patriarki Perempuan Aceh Di Masa Konflik

Fatherless daughter—anak perempuan tanpa ‘ayah’—mungkin menjadi istilah tepat bagi Tari. Situasi yang dialami Tari adalah, meski sosok ayah hadir secara fisik dalam keluarga, ia absen dari tanggung jawab fungsional terhadap keluarganya. Sebagai anak perempuan, Tari tumbuh dengan sosok ayah yang gagal memberikan rumah yang aman dan nyaman bagi anak perempuannya. Kekerasan yang dilakukan ayahnya membuatnya hanya tumbuh dengan kemarahan dan teriakan sang ayah setiap hari. Satu-satunya hal yang diperoleh Tari dari ayahnya adalah trauma mendalam sebagai korban dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Tidak hanya itu, film ‘Bolehkah Sekali Saja Kumenangis’ juga menyoroti sulitnya korban kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga, apa lagi perempuan, untuk membebaskan diri dari relasi beracun dalam keluarganya. Ini bisa terlihat pada cara Devi bersikap meski Pras melakukan kekerasan terhadap dirinya. Devi berulang kali menunjukkan sikap memaafkan dan terus menerus memberi ‘kesempatan’ untuk suaminya berubah. Di sisi lain, Pras selalu dengan lancar memanipulasi Devi. Alhasil, istrinya itu percaya bahwa kekerasan yang dilakukan oleh Pras merupakan hal yang wajar terjadi akibat dari kesalahan yang dibuat oleh Devi. 

Yang tak kalah sulit adalah pengalaman Tari sebagai korban kekerasan secara langsung oleh ayahnya. Tidak berhenti sampai di situ, ia sebagai anak perempuan juga selalu menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh ayah kepada ibunya. Tari kehilangan ruang aman untuk berekspresi dan bersuara. Ia dituntut untuk menjadi pribadi yang ‘kuat’ sepanjang hidupnya. Isu kekerasan dalam rumah tangga yang diangkat dalam film ini ini juga menyiratkan bahwa seseorang dapat menjadi penerus dari adanya rantai kekerasan. Ujungnya, hal ini bakal menimbulkan generational trauma

Baca Juga: Mengapa Influencer Kerap Sembunyikan Derita KDRT Demi Citra Bahagia Mereka?

Film ‘Bolehkah Sekali Saja Kumenangis’ menjadi tontonan segar yang mengangkat isu utama kekerasan dalam rumah tangga dan kesehatan mental. Ini juga merefleksikan realita kasus KDRT dan penanganannya di tengah masyarakat. Meski Indonesia memiliki UU PKDRT dan undang-undang serta regulasi lainnya yang mengatur hukuman pidana pelaku KDRT, kasus ini terus bertambah. 

Tari dan Devi dalam film ini menggambarkan dua sosok perempuan tangguh, berjuang melawan pelaku kekerasan yang hidup di dalam rumah mereka. Tak lupa dibantu berbagai dukungan, Tari dan Devi pun akhirnya perlahan memiliki keberanian untuk bangkit dan mencari tempat aman bagi mereka. Karakter-karakter lain mungkin tak banyak muncul, tetapi memiliki signifikansi dalam proses ‘terbentuk’ dalam diri Tari. Mereka adalah teman-teman yang ia temui dalam support group. Dalam film ini, muncul juga Baskara (Pradikta Wicaksono) yang karakternya dikisahkan berproses membentuk karakter diri bersama Tari sepanjang film. 

Sebelum menonton, perlu diingat bahwa film ini mengangkat isu sensitif yang beberapa adegannya mungkin dapat memicu trauma dan perasaan tidak nyaman. Jadi, tontonlah dengan bijak!

(sumber foto: Youtube Cinema XXI)

Vanya Annisa Shizuka

Reporter magang Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!