Setiap pagi, hampir setiap hari, Sri Rahayu (54) merias diri, bersiap menebas bayangan panjang dari pepohonan yang berderet di tepi jalan. Mengucap syukur kepada pencipta atas karunia alam, sebelum ia mengajarkan perasaan penuhnya itu kepada murid-muridnya di kelas. Begitu cara ia sebagai penghayat kepercayaan mengenal dan mengenalkan Tuhan, lewat budi dan darma baik kepada seluruh alam semesta.
Hayu, demikian ia akrab disapa, telah mengabdikan diri sebagai penyuluh penghayat kepercayaan di enam sekolah di bilangan Cilacap sejak tahun 2018. Hayu bergabung dengan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) berkat ajakan Muslam, seorang tokoh penghayat kepercayaan setempat. Sejak saat itu, ia aktif menyebarkan nilai-nilai kepercayaan dan budi pekerti di tiga jenjang pendidikan, mulai dari bangku Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Awalnya, Hayu hanya mengajar di satu sekolah dasar. Namun, seiring berjalannya waktu, perannya berkembang hingga mencakup beberapa sekolah di berbagai kecamatan. Sebagai penyuluh, Hayu tidak hanya mengajarkan ilmu kepercayaan, tetapi juga harus menguasai perangkat-perangkat yang dibutuhkan seorang pendidik, seperti teknik pembuatan laporan kegiatan, laporan pembelajaran, absensi, dan pembuatan modul ajar.
“Bagaimanapun juga, kita di sini mau tidak mau harus menjadi seorang pendidik, tidak hanya seorang penyuluh atau pengampu, tapi juga selayaknya seorang guru,” ujar Hayu, menekankan pentingnya peran ganda yang ia emban.
Mahkamah Konstitusi (MK) lewat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) lewat Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan telah mengakui dan memberikan ruang bagi penghayat kepercayaan untuk mendapatkan layanan pendidikan sesuai keyakinannya.
Kedua peraturan ini menguatkan jaminan konstitusional yang ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya pasal 28E dan pasal 29 yang mengakui bahwa penghayat kepercayaan di Indonesia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pengakuan atas keyakinannya.
UUD 1945 Pasal 28E
- Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
- Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
UUD 1945 Pasal 29
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Meski demikian, penerapan aturan di lapangan acapkali tertutup kaca mata kuda yang menghasilkan stigma. Diskriminasi dan stigma masih menjadi tekanan besar yang harus dihadapi oleh Hayu dan murid-muridnya. Hak pendidikan sebagai penghayat secara utuh pun masih hanya sebatas angin di atas kertas yang belum mampu mengibas halaman-halaman diskriminatif di dalamnya.
Celaan Sesat dan Jaminan Melarat
Salah satu contoh diskriminasi yang dialami Hayu terjadi di sebuah SD di Kecamatan Maos. Di SD tersebut, guru agama sering kali melontarkan pernyataan negatif tentang pendidikan kepercayaan di depan murid.
“Kalau di depan kami guru agama itu baik, tapi setelah di belakang kami, di depan anak-anak itu mengatakan, kalau ikut pendidikan kepercayaan, pertama itu sesat, kedua nanti tidak dapat nilai rapor, ketiga nanti kalau KK-nya kepercayaan tidak bisa mencari pekerjaan. Ini terjadi satu tahun lalu,” lanjutnya.
Hal ini membuat murid merasa tidak nyaman dan melaporkannya kepada orang tua mereka, yang kemudian melaporkannya kepada Hayu.
“Anak-anak didik saya itu anak-anaknya cukup cerdas. Jadi dia menyimpan kata-kata itu, lalu disampaikan ke saya bersama orang tuanya. Datanglah ke rumah saya, mengatakan bahwa ‘saya diomong begitu di depan kelas’,” cerita Hayu.
Untuk menyelesaikan masalah ini, Hayu menghadap kepala sekolah dan meminta agar masalah tersebut ditangani.
“Lantas saya, ‘oke kalau begitu besok kita ke sekolah’. Saya ke sekolah, saya sosialisasi ke kepala sekolah,” kata Hayu.
“Ibu sudah prosedural, monggo, karena itu sudah ada undang-undangnya, keputusan MK,” balas Kepala Sekolah.
Meskipun kepala sekolah menyetujui, guru agama tersebut tetap mengulang tindakan diskriminatifnya. Hayu akhirnya menghadapi guru agama tersebut secara langsung dan menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah bentuk perundungan.
“Ternyata tidak berhenti sampai di situ. Akhirnya, Guru Agamanya itu berulah lagi, sampai ulah ketiga kali, saya tidak bisa diam. Bapak Kepala Sekolah waktu di kantor itu, saya mohon izin saya akan bicara dengan Bapak Guru Agama Islam,” geramnya.
Baca juga: Pemantauan Komnas Perempuan: Diskriminasi pada Perempuan Penghayat Kepercayaan di Indonesia
“Mengapa Panjenengan (Anda) mengatakan seperti ini? Mengapa Panjenengan mengatakan hal-hal yang bukan haknya Panjenengan untuk menyampaikan? Kalau Panjenengan mengatakan seperti itu di hadapan anak-anak Islam, monggo. Tapi kalau di hadapan anak murid penghayat namanya bully, Panjenengan sudah melanggar hak kami,” tegur Hayu tegas pada guru Pendidikan Agama Islam.
“Akhirnya didamaikan oleh kepala sekolah, dan guru agama berjanji untuk tidak mengulangi hal tersebut lagi,” kata Hayu.
Diskriminasi juga terjadi di jenjang SMP. Murid yang masih duduk di bangku kelas tujuh dikumpulkan di aula dan ditanya soal agama mereka. Murid yang mengaku penghayat kepercayaan lantas menjadi bahan tertawaan. Hayu menceritakan momen pahit tersebut.
“Kamu apa agamanya?” tanya Guru.
“Kepercayaan,” jawab salah satu murid.
“Ini apa? Ini agama apa? Kok kepercayaan? Baru dengar saya. Agama kok enggak jelas ini?” ujar Guru tersebut disahuti tertawaan yang mengurung seisi Aula.
Hal ini membuat murid merasa tertekan dan menyampaikannya kepada orang tua mereka. Orang tua kemudian melaporkan kejadian ini kepada organisasi penghayat, yang kemudian sampai kepada Hayu. Hayu pun langsung melaporkan kejadian ini ke dinas pendidikan, menindaklanjuti masalah tersebut. Guru yang bersangkutan akhirnya meminta maaf.
“Akhirnya siswa saya itu lapor ke orang tuanya. Orang tuanya juga akhirnya lapor ke pemukanya. Organisasi penghayatnya bersama orang tuanya datanglah ke saya. Saya langsung lapor ke dinas.”
“Mohon Pak, kalau memang kami sudah ada Permendikbudnya dan sudah diizinkan untuk masuk di sekolah, kalau masih ada seperti ini lagi, ini tanggung jawab siapa?”
“Akhirnya dinas turun. Dinas langsung telepon ke sekolah tersebut. Dan sekolah tersebut langsung minta maaf karena itu oknumnya saja. Bukan kepala sekolah atau bukan semua guru, tapi salah satu oknum yang memang tidak paham. Akhirnya selesai, lancar. Sampai hari ini juga lancar,” cerita Hayu.
Tidak Ada Kursi Tersedia Bagi Penghayat
Diskriminasi terbaru yang menurut Hayu lebih parah terjadi di SMP Negeri 2 Adipala. Hayu mengisahkan bahwa ada tiga oknum guru di sekolah yang secara terang-terangan menolak keberadaan pendidikan kepercayaan.
“Ada tiga oknum guru di sekolah yang tidak menghendaki kepercayaan ada di sana,” cerita Hayu.
Ketika tahun ajaran baru dimulai, seorang murid baru yang terdaftar dengan Kartu Keluarga (KK) kepercayaan memaksa untuk ikut layanan pendidikan kepercayaan. Namun, murid tersebut tidak diizinkan mengikuti pendidikan kepercayaan dan hanya diperbolehkan memilih antara Islam atau Kristen.
“Nah, kebetulan ini tahun ajaran kemarin, tahun 2023-2024, itu ada siswa baru yang ber-KK kepercayaan, itu memaksakan untuk ikut layanan pendidikan kepercayaan. Ini yang agak ekstrim, ini yang agak dramatis sekali. Karena begitu tahun ajaran baru dimulai pelajarannya, anaknya waktu itu tidak boleh ikut agama kepercayaan. Hanya boleh ikut Islam atau Kristen. Hanya dua yang bisa dilayani di sana,” cerita Hayu.
Situasi ini menempatkan murid tersebut dalam posisi yang sangat sulit. Daripada dianggap tidak mendaftar ulang atau mengundurkan diri, murid tersebut memilih agama Kristen agar nantinya lebih mudah untuk beralih kembali ke pendidikan kepercayaan.
“Karena daripada dianggap tidak registrasi, atau dianggap tidak daftar ulang, dianggap mengundurkan diri, anak tersebut memilih Kristen, agar nanti mudah untuk keluar dari Kristen, masuk ke kepercayaan. Sehingga anak tersebut waktu memilih registrasinya adalah Kristen, karena hanya dua itu pilihan yang boleh dipilih,” terangnya.
Ketika tahun ajaran baru dimulai, Hayu belum hadir untuk mengajar, mujur tidak bisa diraih, bala tidak mampu ditolak, murid tersebut harus mengikuti pelajaran agama Kristen selama tiga pertemuan pertama.
“Setelah pelajaran tahun ajaran baru, anak sudah mulai pelajaran, saya belum masuk. Kalau tidak salah ada tiga pertemuan, saya tidak hadir. Anak ini tetap ikutnya Kristen, karena awalnya dia memilih Kristen,” ujar Hayu.
Baca juga: Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Pengalamanku ke Tempat Ibadah Yang Menghargai Keberagaman
Pada awal bulan September, Hayu akhirnya hadir di sekolah tersebut dan menemui wakil kesiswaan untuk memperjelas situasi.
“Mau ada apa datang ke sekolah?” tanya Wakil Kesiswaan.
“Saya akan mengajar, saya akan mengampu di sekolah ini, karena di sekolah ini ada siswa kepercayaan,” jawab Hayu.
“Loh, bukannya tidak ada di sini?”
“Ada,” tegas Hayu singkat.
“Loh, tidak ada. Adanya Kristen. Kalau ada, siapa namanya?”
“Namanya Sukma (bukan nama sebenarnya). Sukma itulah siswa kepercayaan.”
“Ok, kita panggil anaknya.”
Setelah itu, Hayu dihadapkan pada sejumlah pihak sekolah, termasuk bidang sarana prasarana, wakil kepala sekolah, kurikulum, kesiswaan, wali kelas, dan satu murid SMP. Dalam pertemuan tersebut, Sukma ditanya mengenai pilihannya.
“Sukma, kamu itu kemarin ikut pendidikan apa sekolahnya?”
“Kristen.”
“Kamu, kok, sekarang jadi ikut pendidikan kepercayaan? Alasannya apa?”
“Karena kemarin belum ada gurunya, dan sekarang baru ada gurunya, sehingga saya ikut pendidikan kepercayaan,” jawab Sukma tegas.
Selanjutnya, dalam pertemuan dengan pihak sekolah, Hayu dihadapkan pada tuntutan administratif yang sulit dipenuhi. Ia diminta untuk menunjukkan ijazah S1 pendidikan sebagai syarat untuk bisa mengajar. Hayu yang merupakan tamatan SMA tidak bisa memenuhi syarat tersebut. Padahal, secara prosedural dirinya telah memiliki sertifikat kompetensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang seharusnya diakui sebagai bukti kelayakan.
Baca juga: Kami Beragama Kristen, Tapi Sekolah Wajibkan Anak Perempuanku Berjilbab
“Harus ada ijazah. Kalau tidak ada ijazah, dilarang mengajar di sekolah SMP 2 Adipala. Karena peraturan setiap guru mengajar di sekolah harus berpendidikan S1,” kata Kesiswaan.
“Saya punya sertifikat dari BNSP yang menyatakan saya telah lulus uji kompetensi sebagai kelayakan seorang penyuluh atau pengampu,” jawab Hayu.
“Itu tidak berguna, karena itu bukan ijazah.”
“Berikutnya saya datang lagi ke sekolah tersebut, saya masih dibegitukan, tidak boleh mengajar,” keluhnya.
Hayu tidak menyerah begitu saja. Ia mencoba berbagai cara untuk membuktikan kelayakannya.
“Akhirnya karena saya merasa dihalang-halangi, saya kan kasihan dengan murid saya. Sehingga besoknya saya serahkan sertifikatnya, saya serahkan bukti surat rekomendasi dari MLKI untuk menyuluh, saya berikan bukti tanda pengenal diri berbentuk KTP,” cerita Hayu.
Namun, semua usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Pihak sekolah tetap menolak dan menganggap semua bukti yang diserahkan Hayu tidak berarti. Ketika semua upaya di tingkat sekolah menemui jalan buntu, Hayu akhirnya memutuskan untuk melibatkan dinas pendidikan. Ia menghubungi dinas dan menjelaskan situasinya.
“Saya berada di sekolah dan saya sedang akan melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah SMPN 2 di Adipala. Dan di sini ada siswanya (penghayat) dan siswanya ini tidak boleh diajar oleh saya, tidak boleh diampu oleh saya.”
Baca juga: Riset INFID: Mayoritas Orang Muda Indonesia Toleran, Tapi Tolak Presiden dari Agama Minoritas
“Sementara saya sudah pegang bukti sertifikat dari pemerintah dari BNSP. Tapi masih ditolak. Di mana tanggung jawab dinas kepada kami. Kalau memang dinas tidak bertanggung jawab terhadap kami, akan saya laporkan ke direktorat. Akan saya laporkan ke kementerian,” tegas Hayu dalam teleponnya ke dinas pendidikan.
Saat itu pula, kepala sekolah dipanggil melalui saluran telepon. Setelah berbicara dengan dinas melalui telepon yang disetel ke loudspeaker, dinas memberikan izin kepada Hayu untuk mengajar.
“Oleh kepala dinas, beliaunya ditelepon, langsung saya dengar di situ, karena di loudspeaker, bahwa kami sudah didamaikan. Bapak kepala sekolah langsung mengizinkan. Karena semua regulasi sudah terpenuhi, dan keputusan dari dinas sudah mengizinkan, mengeluarkan peraturan bahwa itu boleh mengajar,” ungkap Hayu.
Meskipun Hayu akhirnya diizinkan mengajar, permasalahan tidak berhenti di situ. Hayu mengungkapkan bahwa diskriminasi masih berlanjut, terutama terhadap murid yang memilih jalur kepercayaan.
“Tapi ternyata itu juga tidak berhenti sampai di situ. Jadi ya cukup itu saja, anak itu (Sukma) saja. Jadi untuk anak-anak yang lain, tetap di awal ketika mereka masuk, kalau memang anaknya sendiri atau orang tuanya sendiri kurang kuat dalam membentengi masuk pendidikan kepercayaan, tetap kalah oleh kesiswaan (yang memaksa memilih agama Islam atau Kristen di luar penghayat kepercayaan),” jelas Hayu.
Pihak sekolah dan beberapa pendidik masih memandang rendah pendidikan kepercayaan dan banyak orang tua serta murid yang akhirnya memilih untuk mengikuti agama mayoritas seperti Islam untuk menghindari konflik.
Baca juga: Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Pengalamanku Mengenal Teman Beda Agama
“Sehingga kebanyakan orang tua dan siswa pilihnya sudahlah apa adanya, agama Islam pun tidak apa-apa,” cerita Hayu.
Hayu juga mengeluhkan masalah input nilai untuk e-rapor. Saat ia ingin memasukkan nilai e-rapor untuk jenjang Sekolah Dasar, sistem aplikasi tidak memberi kolom bagi mata pelajaran kepercayaan.
“Mengapa saat ada muncul e-rapor, e-rapor kan kalau tidak salah tiga tahun yang lalu, dibuatnya setelah Permendikbud 2016 itu. Kenapa dinas itu tidak mempersiapkan bahwa agama kepercayaan yang legalitasnya sudah diizinkan masuk ke sekolah, kenapa di aplikasi untuk e-rapor SMP atau SD, itu tidak ada kolom agama kepercayaan,” tanyanya dengan tegas.
Untuk mengatasi masalah ini, Hayu akhirnya memasukkan nilai murid ke dalam kolom agama Hindu dengan bantuan kepala sekolah. Meskipun demikian, Hayu merasa bahwa solusi ini tidak ideal dan menunjukkan kurangnya sosialisasi dari pihak dinas pendidikan.
“Harusnya saat membuat aplikasi itu, harusnya kami kan dimasukkan,” tegas Hayu.
Masalah ini bukan hanya terjadi di sekolah, tetapi juga dalam tatanan masyarakat yang lebih luas. Di desa tempat Hayu tinggal, diakui Hayu sebagai basis penghayat kepercayaan. Hanya saja, menurutnya banyak yang dalam administrasi kependudukan masih beragama Islam.
“Di desa kami itu adalah juga basisnya penghayat, meskipun di administrasi penduduknya mereka masih Islam. Tapi sebenarnya mereka adalah pelaku penghayat atau kepercayaan,” jelas Hayu.
Selain Sukma, salah satu murid Hayu pernah dipaksa untuk mengikuti pendidikan agama Islam meskipun keluarganya telah mengganti KK menjadi kepercayaan.
“Dulu waktu masuk di SMP, itu KK-nya itu kepercayaan, tapi tidak minta persetujuan apapun dengan orang tuanya, dia diislamkan,” cerita Hayu.
Baca juga: KUPI Perjuangkan Stop Kekerasan Perempuan Atas Nama Agama
Meskipun orang tua telah berulang kali menghadap ke sekolah, murid tersebut tetap tidak diizinkan mengikuti pendidikan kepercayaan hingga akhirnya lulus SMP.
Setelah masuk SMA, murid tersebut baru bisa mengikuti pendidikan kepercayaan. Namun, perubahan ini membuat murid merasa kebingungan karena sebelumnya telah dipaksa mengikuti ajaran agama Islam.
“Begitu dia ikut pendidikan kepercayaan kan, dia juga agak bingung juga awalnya. Tapi sekarang sudah tidak lagi,” ujar Hayu. Di bawah bimbingan Hayu, murid tersebut akhirnya dapat menerima dan memahami ajaran kepercayaan dengan sebagaimana mestinya.
Namun, pengalaman diskriminatif ini meninggalkan bekas yang mendalam bagi murid. Menurut penuturan Hayu, mereka sering kali merasa cemas dan takut setiap kali harus mengikuti pelajaran agama yang bukan keyakinan mereka.
“Setiap kali dengar bel bertanda pergantian jam agama, itu banyak yang mereka sampaikan dari anak-anak asli penghayat tapi ikut agama Islam, itu pasti itu yang mereka rasakan,” ungkap Hayu.
Hayu juga menceritakan tentang stigma yang sering kali dilontarkan kepada murid penghayat. Pernyataan-pernyataan stigmatis semakin membuat murid penghayat merasa terpinggirkan dan tidak dihargai.
“Banyak orang-orang yang beragama itu mengatakan, ada yang mengatakan begini, ya iyalah mencari agama itu yang jelas, Islam itu jelas, agama yang jelas. Kalau penghayat, kepercayaan itu kan bukan agama, itu hanya kebudayaan, itu tidak diakui sebagai agama,” cerita Hayu.
Untuk mengatasi diskriminasi ini, Hayu selalu berusaha memberikan pemahaman kepada murid dan orang tua bahwa kepercayaan mereka diakui oleh negara dan tidak menyakiti siapapun.
“Di agama kepercayaan, inti pelajarannya itu, kan, hanya budi pekerti, hanyalah laku hidup yang baik dan benar, gitu. Melalui pembelajaran alam semesta, bagaimana kita mengenal Tuhan melalui alam semesta,” jelas Hayu.
Ancaman Kemunduran Lewat RUU Sisdiknas
Tri Noviana (Novi), Manager Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (Yayasan LKiS), yang turut membantu mengadvokasi kasus Hayu dan teman-teman penghayat di Cilacap mengungkapkan bahwa identitas penghayat kepercayaan menjadi fokus utama advokasi mereka. Namun, perjuangan ini tidak berhenti pada identitas semata. Novi menjelaskan bahwa isu pendidikan bagi penghayat kepercayaan masih belum sepenuhnya tuntas.
Kasus Hayu menjadi contoh nyata tantangan yang dihadapi dalam pendidikan. Identitas murid yang masih terdaftar sebagai agama lain membuat advokasi menjadi lebih kompleks. Sinkronisasi identitas antara anak dan orang tua menjadi penting agar advokasi dapat berjalan lancar.
“Murid bu Hayu ini, identitas siswanya itu masih identitas agama. Sehingga kalau diadvokasi itu akan jadi simalakama, begitu. Kenapa? Karena identitasnya masih agama yang lain, gitu. Kalau memang mau mendapatkan pemenuhan secara penuh, secara identitas harus ganti.”
“Kadang-kadang enggak sinkron antara identitas si anak sama orang tua. Maka yang kita kejar dalam advokasi kemarin itu adalah soal identitas dulu, karena ketika ganti identitas, ternyata malah dipersulit oleh oknum-oknum di kecamatan,” jelasnya.
Advokasi yang dilakukan Novi dan LKiS membuahkan surat edaran yang memperkuat posisi penghayat. Dari pantauan Novi, diskriminasi kepada penghayat kepercayaan menyurut pasca turunnya surat edaran tersebut.
“Sekarang karena sudah ada surat edaran, mereka enggak berani soal menyenggol penghayat, mempersulit saja, enggak berani sekarang,” tambahnya.
Selain diskriminasi, hak-hak untuk menyejahterakan penyuluh juga turut jadi persoalan. Sejak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017, eksistensi penghayat kepercayaan memasuki babak baru. Diakuinya penyuluh di lingkungan pendidikan memang merupakan awalan yang baik. Hanya saja, implementasi akan kesejahteraan dan diskriminasi yang terjadi tetap menjadi poin kritis yang belum selesai.
Baca juga: Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Mengucapkan Selamat Hari Raya Pada Teman Beda Agama Itu Bukan Dosa
“Harapannya, guru penghayat bisa setara dengan guru honorer atau lainnya. Misalnya laptop, uang saku, gitu. Jadi penyuluhnya itu kan dapat dari Kemendikbud, tapi nominalnya memang enggak besar, minimal ada penghargaan sosialnya,” tambah Novi.
Advokasi LKiS juga fokus pada RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang belum rampung. Dalam draf RUU Sisdiknas, terdapat 18 kata yang hilang yang semestinya mencantumkan kepercayaan. Diksi yang hilang ini menjadi catatan kritis yang dapat memundurkan kebijakan alih-alih membuatnya jauh lebih inklusif.
Policy brief telah dikirim ke berbagai kementerian untuk memastikan bahwa penghayat diakomodir dalam RUU tersebut, mengingat sudah ribuan murid dan pengajaran penghayat kepercayaan yang tersebar di 17 provinsi dengan lebih dari 400 guru.
“Di naskah akademik, 18 kata kepercayaan ada, tapi hilang di draf RUU. Ini menjadi catatan kritis bagi aktivis KBB dan masyarakat yang peduli,” ujarnya.
Penghayat sering kali didiskriminasi dan tidak berani melawan, meskipun mereka juga membayar pajak dan berhak mendapatkan akses pendidikan dan layanan publik. Bantuan sosial pun jarang mereka terima.
“Warga-warga penghayat itu kan juga bayar pajak bumi bangunan, bayar pajak NPWP, pajak makanan, dan sebagainya untuk negara.”
“Tapi ketika dia bayar pajak yang kemudian jadi uang rakyat untuk memberikan fasilitas pendidikan, justru mereka nggak bisa akses pendidikan. Akses layanan publik seperti identitas KTP, identitas yang lain.”
Baca juga: Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Cara Minoritas Tionghoa Rawat Keberagaman di Kampung Kami
“Bantuan sosial, apalagi. Mungkin bisa dihitung tuh yang dapat bantuan sosial. Apakah penghayat ada yang dapat bantuan sosial? Mungkin bisa dihitung jumlahnya berapa. Karena ini hasil pemantauan kami, jarang sekali melihat penghayat menerima bantuan juga,” ujar Novi.
RUU Sisdiknas menjadi ancaman potensial bagi kebebasan berekspresi di Indonesia, termasuk bagi penghayat kepercayaan. Novi mengingatkan bahwa RUU ini, bersama dengan RUU Penyiaran, RUU TNI, dan RUU Polri, bisa membatasi kebebasan berekspresi. Nasib kelompok minoritas juga menjadi perhatian, karena mereka berada di garda terdepan dalam menjadi korban dan menunjukkan resistensinya terhadap diskriminasi.
“RUU Sisdiknas ini sebenarnya juga bisa jadi ancaman untuk kebebasan berekspresi di Indonesia,” tegas Novi.
Perjuangan yang dilakukan oleh Hayu dan advokasi yang dilakukan LKiS menggambarkan realitas pahit dari diskriminasi kepada penghayat kepercayaan yang masih terjadi di Indonesia. Meskipun ada beberapa kemajuan, seperti surat edaran yang memperkuat posisi penghayat, tantangan yang lebih besar masih membayangi.
Diskriminasi struktural tetap menjadi penghalang utama bagi penghayat kepercayaan untuk menikmati hak-hak dasar mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan belum selesai dan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan yang paripurna.
Problematika RUU Sisdiknas yang belum mencantumkan kepercayaan dalam drafnya adalah bukti bahwa kebijakan publik sering kali gagal mencerminkan keberagaman dan kebutuhan semua warganya. Penghilangan 18 kata dalam RUU tersebut bukan hanya masalah teknis, tetapi mencerminkan pandangan sempit yang dapat mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Di sisi lain, Hayu dan komunitasnya hanya mampu bertahan. Berdiri sekuat mungkin pada tanah, meniupkan harapan-harapan pada angin yang membawanya pada Tuhan, serta mendarmakan upaya baik untuk semesta, menguatkan hati kepada pencipta sebagai bentuk resistensi paling mulia.
****
Artikel ini merupakan kerja sama antara INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI dengan Konde.co sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Tulisan ini juga dimuat di laman INFID.