FOMO belanja diskon tanggal kembar

FOMO Godaan Belanja Diskon ‘Tanggal Kembar’? Belanjalah dengan Kesadaran!

Konsumerisme bikin kita FOMO belanja saat ada diskon di 'tanggal kembar'. Makanya, berbelanja harus dilakukan dengan kesadaran.

Buka aplikasi belanja elektronik (e-commerce) di tanggal ‘kembar’—misalnya 3.3 di tanggal 3 Maret—kerap begitu ‘menggoda’. Melihat barang dengan diskon lebih besar dari hari-hari biasa, mungkin jemari kita rasanya tak sabar untuk segera membawa barang itu ke keranjang sebelum checkout.

Di era digital, berbagai aktivitas sehari-hari menjadi lebih mudah, termasuk belanja online. Kita mungkin sudah akrab dengan beberapa e-commerce yang terkenal, seperti “toko oren”, “toko hijau,” atau toko dengan warna-warni lainnya. Keunggulan platform online ini memungkinkan kita untuk berbelanja tanpa harus keluar rumah, menghemat waktu dan energi, serta menghindari kemacetan di jalan. Dengan hanya sekali klik, kita bisa memilih barang yang diinginkan. Kemudian checkout (melakukan pembayaran), dan transaksi pun selesai. Setelah itu, kita hanya perlu menunggu paket kesayangan tiba di depan pintu rumah.

Baca Juga: Lari (Tidak Lagi) Murah, Dampak Konsumerisme dalam Olahraga

Kemudahan ini diiringi dengan banyaknya diskon saat ‘tanggal kembar’. Akhirnya, konsumen yang ‘latah’ berbelanja semakin meningkat. Dipicu oleh rasa fear of missing out (FOMO), banyak orang langsung membuka e-commerce favorit mereka. Cepat-cepat mengklaim voucher gratis ongkir dan potongan harga untuk berbagai barang, lalu memasukkannya ke dalam keranjang belanja online. Proses ini memberikan rasa aman, seolah-olah memastikan mereka tidak akan kehabisan barang yang diinginkan.

Belanja online juga menjadi lebih menyenangkan berkat metode pembayaran modern. Kini, pengguna dapat menggunakan uang elektronik atau fitur pay later yang memungkinkan mereka membeli barang terlebih dahulu dan membayarnya di kemudian hari. Dengan berbagai kemudahan ini, pengalaman berbelanja menjadi lebih menarik dan efisien.

Konsumerisme dan Budaya ‘Latah’ Berbelanja

Menurut Holt (2005), perilaku konsumtif dipengaruhi oleh ideologi konsumerisme. Yaitu nilai, sikap, dan keyakinan yang mengarahkan individu dalam berinteraksi dengan barang-barang konsumsi.

Dalam konteks keranjingan belanja online, konsumerisme memainkan peran sentral dalam membentuk budaya, identitas dan kehidupan sosial. Mungkin kita sadar atau tidak; budaya ‘latah’ berbelanja karena FOMO menciptakan masyarakat yang terjebak dalam pola hidup konsumtif dan materialistik. Alhasil, kesuksesan, kebahagiaan, kemapanan, dan kekayaan diukur berdasarkan kemampuan untuk membeli barang.

Akibatnya, individu cenderung membeli barang semata-mata karena keinginan, bukan kebutuhan. Fenomena ini menyebabkan munculnya fetisisme komoditas. Hubungan sosial lebih terjalin antara benda-benda, bukan antara manusia.

Live Streaming: Meningkatkan Hasrat Berbelanja

Salah satu inovasi lainnya yang telah merevolusi penjualan e-commerce adalah live streaming. Metode ini tidak hanya mengubah cara bisnis beroperasi, tetapi juga memperkuat interaksi real-time antara produsen dan konsumen. Ia menciptakan pengalaman berbelanja yang lebih menarik.

Pertama, live streaming memungkinkan penjual untuk menjelaskan dan menunjukkan produk secara langsung kepada konsumen. Misalnya, saat mempromosikan produk skincare, make-up, atau pakaian, penjual dapat secara langsung membujuk konsumen untuk segera melakukan pembelian. Konsumen juga dapat mengajukan pertanyaan, meminta demonstrasi, dan mendapatkan respons instan. Akhirnya, tercipta hubungan yang lebih dekat dan personal. Ini memberikan nuansa interaksi yang sulit didapatkan dalam metode belanja tradisional.

Kedua, live streaming menciptakan pengalaman sosial yang lebih interaktif. Konsumen dapat dengan cepat memilih produk dari etalase virtual. Lalu mengklaim voucher eksklusif yang hanya tersedia selama siaran, dan melakukan pembayaran secara instan. Semua interaksi ini berlangsung dalam waktu nyata. Terjadi peningkatan rasa urgensi dan mendorong konsumen untuk bertindak cepat.

Baca Juga: Serial ‘Pay Later’: Ketika Perempuan Jadi Objek Konsumerisme dan Seksualitas

Ketiga, interaksi langsung antara konsumen dan penjual meningkatkan daya tarik produk. Oleh karena itu, host live streaming dituntut untuk tampil menarik, tanggap, dan cepat dalam menjawab pertanyaan. Mereka perlu terus-menerus membujuk audiens tanpa jeda agar menciptakan suasana yang dinamis dan mengundang keterlibatan.

Optimalisasi waktu siaran juga menjadi faktor kunci. Penjual seringkali memilih jam-jam efektif, seperti pagi antara pukul 6-10 dan siang pukul 1 saat orang-orang memeriksa gadget mereka di jam istirahat. Beberapa platform bahkan mengharuskan siaran langsung selama 24 jam untuk meningkatkan traffic dan jumlah penonton. Namun, di balik kesuksesan ini, terdapat eksploitasi terselubung dalam sistem ekonomi gig. Ia menuntut produktivitas dan profit yang tinggi dari pelaku ekonomi dan sering kali mengabaikan kesejahteraan pekerjanya. 

Semakin kuat interaksi antara penjual dan konsumen, semakin tinggi kepercayaan yang dibangun. Penelitian oleh Dang et al. (2023) menyatakan bahwa kepercayaan pelanggan merupakan faktor yang paling penting dalam strategi pemasaran e-commerce untuk mempengaruhi keputusan belanja daring.

Ada beberapa cara untuk mencapai hal ini. Pertama, e-commerce harus meningkatkan efektivitas platform agar traffic dan jumlah tampilan semakin tinggi. Dengan demikian, algoritma akan terus mempertemukan konsumen dengan e-commerce yang selalu aktif. Kedua, penting bagi e-commerce untuk menunjukkan kualitas produk, layanan, dan sistem pembayaran yang aman. Mereka juga perlu memastikan bahwa semua paket konsumen diterima dengan aman. Sistem yang solid ini akan meningkatkan hasrat berbelanja konsumen melalui live streaming.

Berbelanja dengan Berkesadaran 

Kemudahan berbelanja online perlu direfleksikan secara kritis. Orang-orang sebagai konsumen perlu memahami perbedaan antara kebutuhan dan keinginan sebagai langkah awal sebelum melakukan transaksi. Dengan menumbuhkan sikap kritis dalam keseharian, seperti memilah barang sesuai kebutuhan, individu dapat memaknai eksistensi diri secara lebih utuh. Ini membantu menghindarkan mereka dari pengaruh komoditi, potongan harga, algoritma media sosial, dan hasrat berbelanja yang sering kali tidak terkontrol. Malah, pada akhirnya melayani kepentingan kapitalis dan menciptakan ‘kebutuhan palsu’.

Orang-orang juga perlu berhati-hati terhadap berbagai ritual belanja, seperti fenomena menjelang Lebaran. Biasanya saat itu, banyak orang berbondong-bondong ke pusat perbelanjaan untuk menciptakan suasana spesial. Padahal, hari raya seharusnya lebih mengedepankan tali silaturahmi, kebaikan kepada sesama, dan kedekatan dengan orang terdekat. Sayangnya, ritual keagamaan sering kali disalahartikan sebagai ajang pamer fashion untuk menunjukkan identitas, strata sosial, dan kelas ekonomi.

Baca Juga: Pacaran Tidak Harus Kirim Bunga, Rasa Sayang Lebih Dari Itu

Hal ini menunjukkan bahwa tubuh sering dijadikan simbol status melalui pakaian dan aksesori. Norma-norma tersembunyi ini sulit dilihat secara kasat mata, menciptakan persepsi bahwa membeli dan mengkonsumsi adalah hal yang wajar. Akibatnya, individu terpaksa tunduk pada budaya konsumerisme, yang dapat menyebabkan krisis makna.

Kecenderungan untuk mengikuti tren tidak akan memenuhi hasrat apa pun, selain menambah rasa tidak puas yang terus-menerus didoktrin oleh sistem kapitalis. Melalui iklan di televisi, media sosial, dan e-commerce, konsumen dibombardir dengan berbagai produk dan layanan yang hanya mencerminkan sosialisasi konsumerisme, membuat individu terhanyut dalam konstruksi realitas yang tidak sehat.

Editor: Salsabila Putri Pertiwi

Sekar Jatiningrum

Pecinta karya sastra yang ditulis oleh penulis perempuan, penggemar cinema of contemplation, dan penikmat rutinitas monoton yang tampak membosankan, namun sejatinya membebaskan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!