Pentingnya Film ‘Like & Share’: Bagaimana Remaja Perempuan Melawan KBGO

Film “Like & Share” merupakan film penting, bagaimana 2 remaja perempuan susah payah terjebak dalam Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan bangkit dari sana.

Di awal penayangan film ini, banyak yang memberikan dukungan untuk sudahi saja kontroversi yang menyangkut pemainnya, Arawinda Kirana. Yang jelas film “Like & Share” adalah film penting bagaimana jebakan KBGO menimpa banyak remaja perempuan.

Namun ada juga usulan untuk melakukan cancel culture untuk Arawinda karena dianggap telah berselingkuh. Sebenarnya memberikan stigma pada artis film, Arawinda Kirana sebagai Pelakor di media sosial, ini sama dengan menghadapkan perempuan versus perempuan, namun dimanakah peran laki-laki? Harusnya ini tak boleh dilupakan.

Di luar itu semua, Film “Like & Share” merupakan film penting. Ini merupakan film tentang 2 remaja perempuan berusia hampir 18 tahun membuat konten-konten makan Autonomous Sensory Meridian Response (ASMR) di channel YouTube mereka. 

Sebagaimana kebanyakan konten ASMR, video-video mereka difokuskan pada suara-suara saat mereka makan dan dianggap sensual. Lisa dan Sarah kemudian berjanji pada satu sama lain akan mengembangkan channel tersebut bersama-sama.

Bernuansa cerah dan warna-warni yang tampak dari kostum mereka, kisah film Like & Share jauh dari kesan yang coba ditampilkan di layar. Film ini disutradarai oleh Gina S Noer yang sebelumnya menyutradarai Dua Garis Biru (2020), sebuah film yag berkisah tentang Kehamilan Tidak Direncanakan (KTD) yang dialami seorang remaja perempuan. Kali ini, Like & Share hadir dengan isu yang tidak kalah penting, yakni Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

Sebelum lebih jauh, saya merasa perlu memperingatkan bahwa film ini bisa memicu trauma penyintas kekerasan dalam pacaran, kekerasan seksual, dan KBGO. Apalagi, adegan-adegan kekerasan yang ditampilkan dalam film ini begitu eksplisit.

Lisa (diperankan oleh Aurora Ribero) dan Sarah (Arawinda Kirana) sering menghabiskan waktu bersama di rumah Sarah. Saat itu Sarah hanya tinggal bersama abangnya setelah kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan. 

Di dalam kamar, mereka menyigi ide tentang video makan ASMR apa lagi yang akan mereka buat. Namun tak hanya itu, selayaknya persahabatan remaja perempuan, mereka juga berbagi berbagai macam hal, dari seksualitas hingga konten video porno yang mereka temukan di internet.

Dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi, kita tidak bisa memungkiri bahwa beragam konten porno tersebut pasti pernah mampir ke ponsel remaja-remaja di sekitar kita. Entah mereka itu adalah anak, adik, sepupu, atau keponakan kita. Entah mereka bereaksi dengan jijik, merasa berdosa, penasaran, berencana mempraktikkan, kecanduan, atau yang paling parah, mereka bisa menjadi korban dari penyebaran video tanpa persetujuan. Like & Share mencoba membuka mata penontonnya terhadap hal itu.

Perbedaan Nilai Remaja Perempuan dengan Ibu

Sebelum lulus sekolah dan mewujudkan impian mereka, keduanya tersandung berbagai masalah. Lisa memiliki ibu yang berubah menjadi konservatif setelah menikahi ayah tirinya. Setiap sore, ia membantu kedua orang tuanya di warung makan yang dimiliki ayahnya, tapi itu belum cukup.

Pada suatu hari, ia lupa mengunci pintu kamarnya hingga ketahuan menonton video porno sambil masturbasi di bawah selimut. Ibunya memintanya sholat dan mendengarkan ceramah ustadz yang mengatakan kalau masturbasi yang dilakukan perempuan itu buruk. 

Lisa juga diminta menjauh dari Sarah yang diyakini membawa dampak buruk baginya. Pokoknya, pilihan hidup personal Lisa selalu salah di mata ibunya, yang memintanya mengambil langkah yang jauh berbeda dari yang ia inginkan.

Mulanya penonton mungkin akan dibuat tak sepakat dengan ibu Lisa yang cenderung konservatif, Ia sama sekali tak memberi ruang privat pada anaknya. Ia juga memaksakan ide-idenya pada Lisa yang masih remaja.

Namun melihat lebih jauh, ibunya pernah menjadi ibu tunggal karena ayah kandung Lisa yang seorang warga negara asing, sudah tidak bisa lagi ditemui. Ibu Lisa harus membesarkan anaknya seorang diri. Karena itu, ia ingin agar Lisa diterima ayah tirinya yang berjanji akan membiayainya kuliah hingga magister.

Lisa dan ibunya berasal dari dua generasi yang berbeda. Keduanya memiliki pengalaman dan pemikiran yang berbeda. Perbedaan pengalaman dan pandangan hidup itu membuat keduanya sering bertengkar.

Penyintas KBGO Melakukan Perlawanan

Sementara Lisa dibuat merasa bahwa dirinya adalah pendosa, ia mencari rumah di tempat  Sarah. Sarah mengatakan akan menerima Lisa apa adanya. Ia juga berusaha membantu Lisa keluar dari permasalahannya yang lebih dalam dari sekedar menonton video-video porno di internet. 

Hanya saja fokus kemudian beralih ketika Lisa bertemu dengan korban KBGO dari video porno yang ia tonton. Pada saat yang sama, Sarah mulai menjalin hubungan dengan  Devan (Jerome Kurnia), laki-laki yang berusia 10 tahun lebih tua darinya.

Di bagian pertengahan sampai akhir film, kita akan melihat bagaimana cerita remaja perempuan berusaha keluar dari kekerasan dalam pacaran. 

Beberapa adegan kekerasan ditampilkan secara gamblang, bertolak belakang dari atribut Sarah dan Lisa yang serba terang di film. Tak hanya terkait kekerasan dalam pacaran dan kekerasan seksual, film ini mencoba membawa sesuatu yang lebih baru tetapi juga relevan: KBGO, yang masih sulit diselesaikan secara hukum.

Film ini juga mengkritik perangkat hukum yang saat ini belum memadai untuk melindungi penyintas KBGO. Penyintas yang masih duduk di bangku SMA tetapi sudah berusia 18 tahun, sulit mendapatkan keadilan karena dianggap sudah dewasa. Alih-alih, penyintas KBGO malah bisa menjadi tersangka pelaku pornografi.

Padahal perempuan umumnya menjadi korban KBGO yang mengalami luka yang paling parah. Perempuan kehilangan hidup, kehilangan identitas mereka, dan berubah menjadi sebutan random di internet: cewek bokep hape jatuh, cewek toge, cewe tocil, dan seterusnya. Karena itu, negara selayaknya membuat payung hukum yang memberikan perlindungan lebih kepada korban KBGO.

Hanya saja, penonton juga dibuat belajar terkait apa yang bisa dilakukan saat orang terdekat kita menjadi penyintas KBGO. Pemulihan dan perlindungan bagi penyintas harus menjadi tujuan utama. Ia juga harus dibiarkan memilih opsi yang ia anggap paling baik.

Pada bagian penutup, Like & Share memberikan kemenangan bagi penyintas yang akhirnya menerima bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi, tapi juga tidak hancur sama sekali.  Lisa dan Sarah pun membuat konten tandingan dari video-video porno yang disebar tanpa persetujuan di internet.

Di bawah patriarki, di setiap kasus kekerasan, perempuan selalu menjadi sorotan dan korban. Tak hanya dalam kasus KBGO, tetapi juga pada kasus lain seperti perselingkuhan, perempuan kehilangan identitas dan berganti nama: cewek bokep, cewek toge, cewek tocil, ataupun pelakor. Perempuan  selalu mendapatkan hukuman yang lebih berat dari masyarakat. Sementara itu, laki-laki bisa tetap bebas melenggang membuat dosa-dosa yang lain, tak tersentuh hukum maupun  penghakiman.

Namun demikian, seperti Lisa dan Sarah, perempuan bisa bersolidaritas dengan satu sama lain. Perempuan bisa saling menguatkan dan mencari jalan keluar. Perempuan bisa melawan dunia yang patriarkis bersama-sama.

Sanya Dinda

Sehari-hari bekerja sebagai pekerja media di salah satu media di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!