DPR RI resmi mengesahkan RUU Perubahan Keempat UU No 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara (Minerba) menjadi UU pada rapat paripurna DPR, Selasa (18/2) hari ini.
Dengan disahkannya UU Minerba ini, pemerintah memberi ruang bagi organisasi masyarakat (ormas) keagamaan hingga pengusaha usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) termasuk koperasi untuk bisa mengelola tambang.
Revisi UU Minerba ini diproses secara kilat. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah dan DPD RI disampaikan pada Badan Legislatif pekan lalu. Lalu, Baleg membentuk panitia kerja untuk membahas DIM pada 12 Februari 2025.
Situasi serba tertutup juga sudah terjadi saat Baleg DPR secara mendadak mengadakan rapat tertutup membahas RUU Minerba ini pada 20 Januari 2025. Padahal saat itu masih masa reses yang seharusnya anggota DPR berinteraksi lebih dekat dengan konstituen.
Proses pengesahan RUU Minerba ini, tidak mengakomodasi suara masyarakat. Ini jelas bertentangan dengan perintah Mahkamah Konstitusi (MK). Yaitu, dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan pentingnya partisipasi publik dalam setiap tahapan pembuatan undang-undang.
Tak elak, proses legislasi yang terburu-buru dan tertutup ini memunculkan kekhawatiran akan arah kebijakan pertambangan yang semakin pro-investor dan mengesampingkan kesejahteraan masyarakat. Terutama kelompok yang paling rentan, yaitu perempuan dan komunitas lokal.
Baca Juga: Cerita Perempuan Terdampak Tambang Nikel: Sumber Penghidupan Hancur, Kesehatan Terancam
Berkaca dari situasi sejak disahkannya Undang-Undang Minerba pada 2020, kebijakan ini sudah menuai penolakan luas dari masyarakat yang terdampak. Utamanya yang berada di daerah-daerah yang terkena dampak langsung aktivitas pertambangan. Kenyataannya, kebijakan ini lebih menguntungkan para investor besar daripada masyarakat lokal.
Di balik janji-janji investasi yang menjanjikan, dampak yang dirasakan oleh masyarakat di lapangan sangatlah nyata dan merusak. Misalnya di Lhoknga, Aceh, di mana aktivitas pertambangan perusahaan semen tidak hanya merusak kawasan karst yang vital. Tetapi juga mengurangi debit air yang sangat dibutuhkan oleh warga. Selain itu, proses blasting yang dilakukan oleh perusahaan tambang berdampak buruk pada kesehatan warga. Sementara sumber penghidupan masyarakat, khususnya dari perkebunan, hancur akibat kekeringan dan debu tambang yang menutup tanah warga.
Citra Politik Maskulin dan Hegemonik
Selain proses revisi yang cepat dan tertutup, revisi UU Minerba ini juga banyak dipertanyakan karena memberi ruang pada pihak yang dinilai ‘bukan kapasitasnya’ mengelola tambang. Seperti, organisasi masyarakat (ormas), koperasi dan UMKM.
RUU ini membuka pintu bagi sektor-sektor tersebut untuk mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Hal ini jelas memperluas subjek penerima izin, yang sebelumnya hanya terbatas pada perusahaan atau badan usaha di sektor tambang.
Perlu juga dipertanyakan, apakah langkah ini benar-benar didorong oleh kepentingan negara dan masyarakat? Atau sekadar upaya untuk melegitimasi praktik politik patronase yang semakin mendalam? Pemberian akses kepada kelompok tersebut untuk mengelola tambang tak lebih tampak hanya agenda bagi-bagi kue bagi loyalis pemerintahan.
Baca Juga: Perempuan Petani di Lingkar Tambang Berdaya di Pasar Garasi Pemulihan
Jika kita mengingat kembali pembahasan revisi UU Minerba pada 2020, di mana sejumlah pasal kontroversial hanya menguntungkan segelintir elite di balik perusahaan batu bara. Pelibatan Ormas keagamaan hingga UMKM itu berisiko membuka keran baru bagi praktik yang serupa.
Izin pertambangan yang meluas dapat berujung pada ekspansi perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Hingga pada gilirannya akan semakin mengancam keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok perempuan yang sering kali paling terdampak oleh ketidakadilan dalam industri ini.
Alih-alih mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan memperjuangkan kelompok rentan. Revisi UU Minerba justru membuka pintu bagi mereka untuk terlibat langsung dalam pengelolaan tambang. Ini dapat memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi yang sudah ada. Khususnya bagi perempuan di wilayah pertambangan yang sudah lama menderita akibat dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas tambang.
Sebagai negara yang menganut prinsip demokrasi dan keadilan sosial, Indonesia harus berhati-hati dalam memutuskan kebijakan yang dapat memperburuk ketimpangan dan menambah beban pada masyarakat, terutama mereka yang paling rentan, seperti perempuan di daerah tambang.
Perempuan dan Dampak Ganda Eksploitasi Alam
Pertambangan, apa pun jenisnya memberikan daya rusak serius pada penghidupan rakyat dan lingkungan sekitar, terutama dalam akses air. Pihak yang paling terpinggirkan sebagai konsekuensi dari akses air adalah perempuan. Merekalah banyak biasanya menanggung beban memastikan pemenuhan air di rumah.
Hal ini dialami oleh masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah tambang nikel Morowali, Sulawesi Tengah misalnya dalam Dialog Publik International Women’s Day 2024 “Perempuan dalam Industri Nikel” yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan Palu dan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) salah seorang perempuan menyatakan kesulitan untuk mendapatkan sumber air bersih. Air yang sebelumnya diperoleh secara gratis, kini harus membayar Rp20.000/liter untuk mendapatkan air bersih.
Tidak hanya itu dampak langsung yang dialami oleh Ibu E yang mengeluh kebun-kebunnya tidak lagi bisa panen tiap tahun karena tertutup oleh debu kendaraan milik perusahaan. Warga Morowali juga terserang penyakit kulit misterius yang diduga disebabkan oleh polusi perusahaan.
Hadirnya pertambangan pelan-pelan menjauhkan warga dari sumber penghidupan misalnya, di Desa Morowali Utara, warga merasa kesulitan yang sama. Mereka mengeluhkan susahnya mendapatkan Meti (kerang sungai) berkualitas, karena sekarang banyak Meti yang tercampur pasir.
Ibu Y, salah seorang penduduk, menceritakan bahwa dulu ia dapat membiayai pendidikan anaknya hanya dengan menjual Meti. Namun kini, bahkan untuk sekadar mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia merasa semakin berat.
Baca Juga: Mengapa Para Perempuan Berani Hidup di Lingkar Tambang?
Pengalaman di Aceh, Morowali Utara hanya sebagian dari banyaknya kasus serupa yang terjadi di setiap bagian Indonesia. Absennya negara untuk memenuhi hak dan perlindungan bagi perempuan di sekitar wilayah tambang juga tercermin dari ketidakwajiban perusahaan untuk melakukan kajian dampak tambang yang terpisah berdasarkan kebutuhan (perempuan, laki-laki, anak-anak, hingga disabilitas). Padahal, hal ini sangat penting agar masyarakat memperoleh informasi yang jelas mengenai dampak pertambangan, sehingga dapat membuat keputusan apakah wilayah tersebut layak dijadikan area pertambangan atau tidak.
Bagi perempuan di desa, kesejahteraan dan kebahagiaan terletak pada kemampuan untuk mengelola lahan yang mereka miliki, di mana hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.
Ini berkaitan erat dengan keberlanjutan ruang bagi proses produksi dan reproduksi sosial dalam sebuah keluarga. Namun, ketika proses tersebut terancam oleh dampak merusak dari pertambangan, di saat itulah perempuan harus merasakan kehilangan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup sesuai dengan yang didefinisikan.
Editor: Nurul Nur Azizah