City Car, Industri dan Kebijakan Pemerintah Bikin Udara Jakarta Buruk

Penggunaan kendaraan pribadi disebut-sebut sebagai salah satu penyebab utama kualitas udara Jakarta memburuk belakangan ini selain kemacetan. Lantas, apakah upaya peralihan ke kendaraan listrik dapat efektif memperbaiki kualitas udara?

Kualitas udara Jakarta memburuk selama beberapa hari terakhir. Berdasarkan pengukuran IQAir per 15 Juni 2023 pukul 22:00 WIB, indeks kualitas udara langsung (air quality index atau AQI) menunjukkan angka 152, yang berarti ‘tidak sehat’. Ini membuat Jakarta berada pada peringkat kedua kota besar dengan AQI terburuk di dunia setelah Beijing, Cina.

Sejak awal pekan ini, tingkat polusi di Jakarta memang berada pada indikator ‘sedang’, ‘tidak sehat bagi kelompok sensitif’, hingga ‘tidak sehat’. Bahkan, pada Rabu (14/6/2023), tingkat polusi udara di Jakarta sempat mencapai angka 153.

Kondisi udara Jakarta belakangan ini dinilai mengkhawatirkan. Kualitas udara yang buruk diketahui menjadi salah satu penyebab infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan berbagai penyakit lainnya, khususnya menyerang anak-anak. Pada tahun 2016, WHO juga memperkirakan sebanyak 600.000 anak meninggal karena ISPA akibat paparan udara tercemar.

Baca Juga: Transpuan Dapat Energi Sehat di NTT, Bagaimana di Ibu Kota?

Pejabat (Pj) Gubernur DKI jakarta Heru Budi Hartono sempat menanggapi buruknya kualitas udara Jakarta dengan guyonan. “(Solusinya) Ya, saya tiup aja,” cetus Heru Budi seperti dilansir dari Tempo.co pada Senin (12/6/2023). Respon tersebut menuai kritik karena dinilai tidak berempati terhadap masyarakat. Sebab, masalah pencemaran lingkungan berpengaruh signifikan pada kelompok rentan seperti perempuan, anak, hingga LGBTQ+.

Kendaraan listrik pun ditawarkan untuk mengatasi masalah polusi akibat kendaraan bermotor. Klaimnya, pengadaan kendaraan listrik dengan bahan bakar yang memenuhi syarat bakal dipercepat. Ia juga mengatakan akan memperbanyak Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah DKI Jakarta untuk memperbaiki kualitas udara.

Maraknya penggunaan kendaraan bermotor memang sudah lama disebut-sebut sebagai penyebab tercemarnya udara Jakarta. Apa lagi, seiring berjalannya waktu, city car atau ‘mobil kecil’ di perkotaan lebih mudah diakses karena harga dan pajaknya yang lebih murah. Namun ada pula faktor-faktor lain penyumbang polusi udara. Lantas, benarkah wacana peralihan ke kendaraan listrik dapat menjadi solusi atas masalah tersebut di Jakarta?

Dampak Kualitas Udara Buruk pada Kelompok Rentan

Bukan hal sepele; kualitas udara Jakarta yang buruk terutama berdampak pada perempuan dan anak-anak.

Pada ibu hamil, misalnya, buruknya kualitas udara bisa mempengaruhi kondisi lahir bayi, seperti berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur. Bahkan, melansir KBR, sejumlah penelitian melihat adanya hubungan antara paparan polusi udara dengan kematian bayi dan stunting.

Selain itu, kualitas udara buruk juga membahayakan kelompok minoritas seperti transpuan yang tinggal di dekat sumber polusi. Ditambah lagi, transpuan yang bekerja sebagai pengamen lebih terancam paparan polusi udara di jalanan saat siang dan malam hari. Beberapa mengeluhkan gejala sakit seperti sesak napas, batuk, dan radang tenggorokan selama beraktivitas di Jakarta dengan kondisi udara yang berbahaya.

Kerentanan transpuan dan kelompok LGBTQ+ secara umum tidak berhenti pada isu kesehatan saat dikaitkan dengan masalah polusi dan iklim. Sebagai kelompok marjinal yang masih mengalami diskriminasi, mereka juga terancam secara ekonomi. Sudah susah mencari nafkah akibat peminggiran sosial, makin sulit saat produktivitas terdampak kondisi kesehatan yang memburuk akibat pencemaran lingkungan.

Tidak Hanya Kendaraan Bermotor

Gagasan kendaraan bermotor seperti city car atau mobil ‘kecil’ murah sebagai penyumbang utama polusi udara telah menjadi perbincangan sejak lama. Namun, hal itu bukan penyebab satu-satunya.

Fajri Fadhilah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan untuk Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) tidak memungkiri, harga dan pajak miring kendaraan bermotor saat ini berkaitan dengan peningkatan konsumsi kendaraan pribadi.

“Ketika pemerintah pusat misalnya, kasih keringanan pajak untuk kendaraan bermotor pribadi, tujuannya untuk meningkatkan konsumsi kendaraan pribadi, kan,” kata Fajri saat ditemui Konde.co pada Kamis (15/6/2023).

“Dengan keringanan pajak itu, menurutku masuk akal sih, kalau kita perkirakan (jumlah kendaraan pribadi) naik.”

Namun, Fajri juga menyebut, buruknya kualitas udara Jakarta disebabkan pula oleh hal lain.  Salah satunya yang perlu diperhatikan adalah aktivitas industri di wilayah penyangga yang meningkatkan produksi emisi karbon.

“Yang paling utama adalah pembangkit listrik dan industri. Enggak bisa kita ngomongin terus pencemaran udara itu karena kendaraan bermotor, yang ujung-ujungnya menyalahkan pihak lain, terutama warga.”

Faktor Emisi dari Aktivitas Industri

Aktivitas industri dan pembangkit listrik juga rupanya berkontribusi atas memburuknya kualitas udara di Jakarta.

Fajri menyebut, bahan-bahan kimia yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut sebetulnya sama berbahayanya dengan polusi akibat emisi kendaraan bermotor. Itulah sebabnya, pemerintah harus bersikap lebih tegas dalam menindaklanjuti pembuangan emisi industri. Keseriusan mengatasi masalah emisi karbon jangan hanya berhenti di uji emisi kendaraan.

Ia pun menyayangkan pemerintah yang masih kurang terbuka dan transparan dalam menyajikan data terkait hasil uji emisi terhadap berbagai industri dan pembangkit listrik di Jakarta. Selain indikator ‘baik’ atau ‘buruk’, tidak banyak hal yang bisa masyarakat akses terkait temuan emisi dari aktivitas industri tersebut.

Bukan hanya dari aktivitas di area Jakarta; limpahan emisi dan limbah udara dari berbagai industri di sekitar Jakarta pun jadi penyebabnya. Makanya, penanganan isu emisi karbon dari aktivitas industri juga mestinya diperhatikan oleh pemerintah wilayah-wilayah di sekitar Jakarta.

Di Jakarta sendiri, saran Fajri, pemerintah perlu lebih ketat mengatur tentang pembuangan emisi dari industri dan pembangkit listrik. Ia yakin, masyarakat juga bersedia mendukung jika pemerintah memang serius untuk mengatasi masalah kualitas udara yang buruk, meski mungkin menghadapi tantangan dari para pelaku usaha.

Marak Kendaraan Bermotor Pribadi: Masyarakat Tak Punya Pilihan

Fajri mengatakan, menuduh masyarakat dan mengimbau ‘perubahan perilaku’ dengan pengertian mengurangi penggunaan kendaraan bermotor—yang saat ini didominasi kendaraan berbahan bakar minyak (BBM)—kurang tepat dalam upaya memperbaiki kualitas udara Jakarta.

Seringkali masyarakat memang tidak punya banyak opsi untuk beralih dari kendaraan bermotor pribadi ke transportasi umum yang aman dan layak. Masalah ini terutama dihadapi oleh perempuan dan kelompok minoritas seperti lansia, anak-anak, disabilitas, dan sebagainya. Selain jumlah armada, integrasi antarmoda, waktu tunggu, dan rute jangkauan, keamanan dan kenyamanan pengguna masih perlu diperbaiki.

Pengadaan transportasi umum belum tentu memperbaiki situasi jika fasilitasnya pun masih belum cukup mengakomodir kebutuhan pengguna, terutama bagi perempuan dan kelompok minoritas.

“Di satu sisi, iya, kendaraan bermotor jadi kontributor utama. Tapi bagaimana Pemprov Jakarta dan pemerintah pusat menyusun kebijakan agar warga beralih ke transportasi publik juga enak,” ujarnya.

Kendaraan Listrik Bukan Solusi

“Mengganti ke kendaraan listrik itu juga tidak menyelesaikan masalah kemacetan dan lain-lainnya,” kata Fajri.

Pemerintah mulai gencar mendorong agar masyarakat beralih menggunakan kendaraan listrik. Dalihnya, hal itu untuk mengatasi masalah buruknya kualitas udara dan kemacetan di Jakarta. Kendaraan listrik juga dipastikan menggunakan bahan bakar yang memenuhi syarat. Namun, Fajri melihat tawaran tersebut justru menimbulkan masalah baru bagi lingkungan.

“Pertama, itu akan memindahkan permasalahan lingkungan ke tempat lain,” ungkapnya, “Mungkin kualitas udara Jakarta akan lebih baik, tapi permasalahan tambang nikel juga akan lebih parah.”

Baca Juga: Nestapa Transpuan: Sudah Terstigma, Tertimpa Polusi Udara Pula

Ia juga tidak yakin dengan manajemen sirkulasi material kendaraan listrik nantinya. Misalnya, ketika baterai kendaraan harus diganti dengan yang baru, penambangan nikel akan terjadi lagi dan limbah material bekas pun akan jadi persoalan baru.

Selain itu, kendati mungkin pemerintah mengklaim daya listrik akan berasal dari gas alih-alih batu bara, pengolahannya tetap menghasilkan emisi yang berbahaya bagi lingkungan.

Fajri menyarankan, kalau pun pemerintah hendak mengadakan kendaraan listrik, hal itu sebaiknya jadi pilihan alternatif alih-alih solusi utama bagi masyarakat. Penggunaan transportasi publik justru harus didorong semaksimal mungkin—tentunya setelah berbenah kelayakan dan kapasitas transportasi publik di Jakarta. Jadi, faktor polusi dari kendaraan bermotor pribadi bisa berkurang karena transportasi publik telah layak untuk menjadi pilihan andalan warga.

Menanti Sikap Tegas Pemerintah

Terkait buangan emisi, ia merekomendasikan agar pemerintah lebih transparan dalam memaparkan data emisi sumber tidak bergerak seperti industri dan pembangkit listrik.

Pemerintah juga seharusnya bisa memperketat regulasi pembuangan emisi dan menindak tegas pelaku industri yang belum memenuhi standar baku yang aman.

“Jakarta itu bisa banget ngendaliin sumber-sumber tidak bergerak ini,” kata Fajri.

Menurutnya, pengendalian emisi dari pembangkit listrik dan industri di wilayah Jakarta seharusnya lebih mudah untuk dilakukan. Di sisi lain, upaya mengendalikan polusi dari kendaraan bermotor yang mungkin memakan lebih banyak waktu tetap harus terlaksana. 

Tentu dampaknya tidak akan langsung terasa dan mungkin butuh waktu lama bagi Jakarta untuk keluar dari status udara ‘tidak sehat’. Tapi setidaknya, cara-cara itu dapat menandakan bahwa pemerintah serius menanggapi dan mengatasi masalah buruknya kualitas udara di Jakarta.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!