Di media sosial, perempuan yang telah bercerai atau putus sering membagikan perjalanan transformasi diri mereka. Mulai dari foto-foto penampilan baru, liburan, hingga video olahraga atau petualangan baru. Kalau kamu baru saja keluar dari hubungan yang bikin stres, dan glow up, selamat! Bukan hanya karena kamu glow up, tapi karena kamu berhasil memilih kebahagiaanmu sendiri.
Memang tidak semua perempuan yang glow up setelah putus melakukannya demi membuktikan sesuatu kepada mantan, atau orang lain. Banyak yang akhirnya bisa bersinar justru karena mereka bebas. Tidak lagi dikontrol dan di-gaslight. Tidak ada lagi energi terkuras mengurus pasangan yang bahkan mengurus dirinya sendiri saja tidak bisa. Dengan beban itu hilang, perempuan akhirnya punya ruang untuk fokus pada diri sendiri, termasuk perawatan diri.
Sebuah penelitian dari jurnal Personal Growth and Psychological Well-Being After a Romantic Break dilakukan oleh Mihaela Laurenția Tiron dan Andreea Ursu. Mereka menemukan bahwa keluar dari hubungan yang tidak berkualitas membawa dampak positif bagi individu. Responden yang berpisah dari hubungan buruk melaporkan lebih sedikit perasaan kehilangan diri dan mengalami lebih banyak emosi positif setelah perpisahan. Ini membuktikan bahwa perpisahan bukan sekadar kehilangan, tapi juga kesempatan untuk membangun kembali identitas diri yang lebih kuat.
Baca Juga: Putus atau Lanjut? Dilema Menghadapi Berbagai Alasan Mengakhiri Hubungan
Namun, benarkah perpisahan selalu menjanjikan kehidupan yang lebih baik dan lancar? Tentu tidak. Ada yang setelah putus justru jatuh dalam kesepian atau menghadapi kesulitan finansial. Kalau tidak, harus membangun ulang hidupnya dari nol, bahkan minus. Tidak semua orang langsung glow up setelah putus, dan itu tidak masalah. Yang luar biasa adalah berani mengambil keputusan untuk meninggalkan hubungan yang tidak sehat. Karena sejatinya, perubahan besar butuh waktu.
Glow up dan Tekanan Sosial
Tren glow up after break up sering kali dianggap sebagai standar keberhasilan setelah putus. Seolah-olah satu-satunya cara membuktikan bahwa kita baik-baik saja adalah dengan tampil lebih cantik, lebih sukses, dan lebih bahagia. Bahkan ada kutipan yang berbunyi, “Kalau ada pasangan yang pisah, lihat deh, siapa yang glow up dan kehidupannya semakin membaik? Pasti itu korbannya.” Seakan-akan perempuan yang tidak langsung bersinar pasca-putus adalah pecundang.
Padahal, tidak semua orang mengalami fase ini dengan cara yang sama. Ada yang butuh waktu untuk memproses emosi, ada yang lebih memilih menyepi dulu sebelum bangkit kembali. Apakah kita harus selalu membuktikan kepada orang lain bahwa kita baik-baik saja dengan perubahan fisik atau pencapaian baru? Perpisahan bukan ajang pembuktian, kan?
Masyarakat sendiri terlalu terobsesi dengan hubungan orang lain. Begitu ada pasangan yang putus atau bercerai, orang-orang sibuk mencari drama: siapa yang salah, siapa yang menang, siapa yang gagal move on?
Jika seorang perempuan glow up dan mendapat pasangan baru yang lebih baik dari mantannya, langsung dianggap sebagai bukti nyata bahwa ia telah “naik kelas” dan mantannya pasti menyesal. Tapi jika perempuan tetap sendiri? Tiba-tiba orang sibuk mengasihani, seakan-akan kebahagiaan perempuan hanya sah jika ada laki-laki di sampingnya. Cerita seorang perempuan yang berpisah dan tetap sendiri jarang dianggap menarik. Sebab masyarakat lebih suka kisah “balas dendam yang manis”.
Baca Juga: Gaya Komunikasi Berubah, Tanda Putus Hubungan Sejak Jauh Hari
Padahal, kehidupan pasca-perpisahan tidak selalu sesederhana itu. Tidak semua luka terlihat, tidak semua kebahagiaan bisa diukur dari tampilan luar. Tapi di era media sosial, narasi ini terus dipelihara. Karena bagi banyak orang, drama hubungan orang lain jauh lebih menarik daripada mengurus hidup sendiri.
Begitu perempuan berpisah, mereka langsung dihadapkan pada standar baru yang ditetapkan masyarakat. Jika ia tampak bahagia dan sukses, orang-orang akan memujinya sebagai perempuan kuat yang akhirnya bebas dari hubungan buruk. Tapi jika ia tampak sedih atau kesulitan? Komentar yang muncul justru menyalahkan, “Makanya, jangan terlalu bergantung pada pasangan.” atau “Siapa suruh cerai?” Seakan-akan setelah perpisahan, perempuan hanya punya dua pilihan: menjadi sosok glow up yang menginspirasi atau dianggap gagal karena tidak bisa “menang” dari mantan.
Seperti yang ditulis Roxane Gay dalam Bad Feminist. Yang jarang disadari adalah perempuan mungkin terlihat lebih ambisius dan fokus bukan karena kita tidak pernah memiliki banyak pilihan. Sejarah telah memaksa perempuan untuk terus berjuang. Mulai dari mendapatkan hak suara pemilu, bekerja di luar rumah, hingga berjuang untuk lingkungan kerja yang bebas dari pelecehan seksual. Bahkan untuk bisa belajar di universitas yang kita inginkan, perempuan harus melawan berbagai hambatan. Tidak berhenti di situ, kita juga terus-menerus dipaksa membuktikan diri agar bisa mendapatkan pengakuan, sekecil apa pun itu.
Baca Juga: Relasi Toksik: Pilih Pergi Atau Bertahan? 5 Bias Kognitif Untuk Tentukan Putusanmu
Apalagi kita tahu kalau menjadi glow up itu tidak murah dan seperti sulap. Biaya untuk perawatan kulit, produk kecantikan berkualitas, perawatan rambut, dan bahkan pakaian baru dapat menambah beban pengeluaran yang tidak sedikit. Selain itu, tekanan sosial untuk tampil sempurna juga dapat mendorong individu untuk mengeluarkan lebih banyak uang demi mencapai standar kecantikan tertentu.
Sosiolog feminis Beverley Skeggs di artikel The Making of Class and Gender through Visualizing Moral Subject Formation menegaskan bahwa menjadi perempuan (being a woman) tidak sama dengan menjadi feminin (being feminine). Feminitas bukanlah sesuatu yang inheren dalam diri perempuan, melainkan suatu proses sosial yang dipelajari, dikontrol. Ini sering kali dikaitkan dengan kelas sosial.
Penampilan menjadi penanda perilaku; mengklasifikasikan perempuan berdasarkan moralitas dan kelas sosial. Perempuan kelas pekerja sering kali dikodekan sebagai “kurang terhormat” kecuali jika bersedia mengadopsi nilai-nilai kesopanan kelas menengah dengan penampilan feminin. Tentu saja, ini berarti feminitas tidak dapat diakses oleh mereka yang tidak punya uang untuk menjadi konsumen.
Budaya makeover merupakan produk dari nilai-nilai kelas menengah patriarki, yang berakar pada Revolusi Industri dan kebangkitan kaum borjuis di Inggris. Pada periode inilah konsep perilaku ‘feminin’ muncul sebagai cita-cita bagi perempuan kelas menengah. Ditambah berbelanja menjadi hobi baru bagi perempuan, dengan dibukanya department store pertama di London pada tahun 1796.
Perpisahan Bukan Makeover Show
Pemikiran ini tidak lepas dari pengaruh media dan film yang terus-menerus menampilkan narasi serupa. Perempuan yang mengubah penampilannya akan mendapatkan hidup yang lebih baik, lebih sukses, lebih bahagia, dan tentu saja, lebih menarik di mata laki-laki cishet. Kecantikan adalah kunci perubahan nasib, dan validasi laki-laki adalah hadiah utamanya. Lagi-lagi, ini tentang male gaze. Standar kecantikan dan kesuksesan perempuan dibentuk bukan dari perspektif perempuan sendiri, tetapi dari cara laki-laki memandang dan menilainya. Akhirnya, banyak perempuan tumbuh dengan keyakinan harus menjadi versi yang lebih cantik untuk membuktikan sesuatu kepada dunia yang masih melihat perempuan melalui sudut pandang laki-laki.
Orang-orang yang tumbuh dewasa dengan menonton adegan makeover perempuan seperti Pretty Woman, Kuch Kuch Hota Hai, The Princess Diaries, dan yang paling klasik tentu saja Cinderella, membawa semangat transformasi penampilan ini di kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Gaya Komunikasi Berubah, Tanda Putus Hubungan Sejak Jauh Hari
Pembuktian dan dorongan “balas dendam dengan karya” sah-sah saja, tapi mau sampai kapan hidup didikte sebatas itu? Mungkin tujuannya untuk menunjukkan kepada orang yang pernah meremehkan kita bahwa mereka salah. Lalu setelah mereka menyadarinya, apa yang kita harapkan? Permintaan maaf? Penyesalan? Tepuk tangan?
Kenyataannya, mereka mungkin tidak peduli, atau lebih parah: mereka akan menemukan cara baru untuk meremehkan. Jika seluruh perubahan kita hanya didorong oleh keinginan untuk membuktikan sesuatu kepada orang lain, maka kita tidak benar-benar bebas.
Kalau kamu sudah berpikir matang untuk berpisah, lakukanlah tanpa merasa tertekan untuk segera glow up atau membuktikan diri kepada orang lain. Perpisahan adalah proses personal, bukan perlombaan kecantikan. Yang paling penting bukan tampil lebih cantik atau lebih sukses, tapi merasa lebih damai dengan diri sendiri.