Ensiklopedia Internasional Ilmu Informasi dan Perpustakaan mendefinisikan pustakawan sebagai profesional yang bertugas mengelola perpustakaan dan mediator yang menyediakan akses antara informasi dan pengguna. Sebagai profesi, pustakawan dan pekerja informasi profesional memiliki standar kualifikasi dan akreditasi yang berbeda-beda di setiap negara.
Standar kualifikasi dan akreditasi ini umumnya dirancang oleh organisasi profesi pustakawan dan pekerja informasi profesional di negara tersebut. Australia, contohnya, memiliki Australian Library and Information Association (ALIA). Amerika Serikat (AS) memiliki American Library Association (ALA). Sementara Inggris memiliki Chartered Institute of Library and Information Professionals (CILIP).
Standar ini disusun bersama pemangku kepentingan terkait seperti dosen, praktisi, dan instansi tempat kerja. Contoh dari standar kualifikasi ini, misalnya. Untuk menjadi seorang pustakawan atau pekerja informasi profesional di Australia, ALIA mensyaratkan gelar sarjana atau magister dari Sekolah/Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi yang sudah terakreditasi oleh ALIA. Begitu pula di AS, akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pustakawan atau pekerja informasi profesional tanpa adanya gelar magister Ilmu Perpustakaan dan Informasi dari Sekolah/Jurusan yang terakreditasi ALA.
Baca Juga: Jangan Salah, Gen Z Juga Masih Suka Datang ke Perpustakaan
Di Indonesia, konsep pustakawan dan pekerja informasi profesional sebagai profesi belum sepenuhnya diterima secara luas. Ini karena syarat jenjang pendidikan minimum terkait untuk pustakawan tidak jelas. Belum banyak pustakawan dan pekerja informasi Indonesia yang mengikuti program sertifikasi profesi. Serta adanya standar kerja yang terlalu mengacu pada pengetahuan, pengalaman, dan prosedur kerja di negara-negara barat.
Akibatnya, lulusan Sekolah/Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi dari Indonesia—yang tidak memiliki kualifikasi global—sulit untuk bisa bersaing mendapatkan kesempatan kerja di perpustakaan atau kantor bidang informasi di negara lain. Padahal, kualifikasi global ini tidak hanya memiliki manfaat bagi karier pustakawan dan pekerja informasi profesional tapi juga meningkatkan pelayanan perpustakaan.
Dilema profesi pustakawan di Indonesia
Dalam UU nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, Pasal 1, Ayat (8) tertera “pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan”. UU ini tidak menjelaskan secara rinci tingkat pendidikan minimum dalam bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi untuk seseorang agar bisa diakui sebagai seorang pustakawan.
Pada tahun 2019, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) berkolaborasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan organisasi profesi pustakawan di Indonesia. Mereka merumuskan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang Perpustakaan yang menjadi referensi perumusan kurikulum dan pelatihan program bagi pustakawan Indonesia.
Dalam praktiknya, sertifikasi pustakawan Indonesia mengacu pada sistem sertifikasi yang dirumuskan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) melalui Lembaga Sertifikasi Profesi Pustakawan.
Baca Juga: Tidak Melulu Gadget, Gen Z Juga Sering Membaca Buku Fisik
Sayangnya, belum banyak pustakawan dan pekerja informasi Indonesia yang mengikuti program sertifikasi profesi ini. Sebab sifatnya tidak wajib dan tidak adanya tambahan insentif gaji untuk pustakawan dan pekerja informasi yang bersertifikat profesional.
Selain faktor-faktor internal tersebut, terdapat juga faktor-faktor kepustakawanan yang barat sentris (Western-centric librarianship). Western-centric librarianship berakar pada konsep Westerncentrism. Ia menempatkan peradaban barat di pusat dan menganggapnya lebih unggul dibandingkan ‘budaya’ dan ‘peradaban’ lainnya. Perspektif ini juga terjadi dalam bidang kepustakawanan yang berdampak pada standar, kualifikasi, dan metode kerja di perpustakaan.
Kualifikasi global membuka akses dan memperkuat kompetensi
Semakin banyaknya pustakawan dan pekerja informasi Indonesia dan negara berkembang lainnya yang bersertifikasi global akan berdampak positif pada perkembangan profesi dan Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Mereka akan lebih terlibat dalam penyusunan standar, kualifikasi, dan metode kerja di profesi bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Sehingga tidak terlalu mengarah kepada Western-centric librarianship, untuk meningkatkan keberagaman dan inklusi dari negara-negara non-Western.
Selain itu, memiliki kompetensi global dapat membawa banyak manfaat. Bahkan jika para pustakawan dan pekerja informasi profesional ini tidak bekerja di luar negeri.
Dengan kompetensi global, para pustakawan dan pekerja informasi profesional akan bisa meningkatkan layanan perpustakaan yang lebih baik untuk masyarakat. Contohnya, memperluas akses ke informasi berkualitas tinggi dari sumber tepercaya untuk melawan disinformasi, misinformasi, dan berita palsu dengan meningkatkan literasi informasi melalui program perpustakaan yang memenuhi standar internasional.
Pustakawan dan pekerja informasi Indonesia yang berkualifikasi global juga akan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai standar dan prosedur kerja internasional dalam penanganan koleksi. Contohnya, memiliki pemahaman dan keterampilan dalam prosedur penanganan dan pengelolaan koleksi warisan nusantara. Seperti naskah kuno atau artefak, untuk menjaga kelestarian warisan budaya Indonesia yang berkelanjutan.
Berbagai potensi solusi
Untuk mengatasi kesenjangan kualifikasi dan akreditasi ini, ada beberapa solusi yang dapat diterapkan.
1. Mengikuti pelatihan profesional
Pustakawan dan pekerja informasi profesional Indonesia bisa mengikuti seminar, konferensi, atau pelatihan pengembangan profesional berkelanjutan dari organisasi profesi yang diakui global.
Contohnya, ALA. Mereka memiliki ALA eLearning yang menyediakan pelatihan online, baik yang berbayar maupun gratis. Ini bisa diikuti oleh pustakawan dan pekerja informasi dari semua jenis perpustakaan atau kantor informasi di seluruh dunia. ALA eLearning ini menawarkan banyak pilihan subyek, seperti Manajemen Koleksi, Advokasi, atau Hak Cipta. Selain itu, ALA juga menyediakan beasiswa kursus dasar pelatihan pengelolaan perpustakaan yang ditujukan khusus untuk pustakawan dan pekerja informasi dari negara berkembang.
Mahasiswa Sekolah/Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi juga bisa mengajukan magang atau praktek kerja di perpustakaan atau kantor informasi yang sudah menerapkan standar internasional dalam pengelolaan perpustakaannya. Sehingga mahasiswa tersebut dapat memiliki pengalaman dan terpapar dengan praktik kerja di lingkup global.
Contohnya, mahasiswa Departemen Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga pernah mendapatkan kesempatan magang di Singapura dan di Malaysia.
2. Kerja sama dengan organisasi global
Organisasi profesi pustakawan dan pekerja informasi profesional dan Sekolah/Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia juga bisa bekerja sama dengan organisasi profesi global dalam hal pengembangan kurikulum atau penyusunan program pengembangan profesional berkelanjutan untuk memperkecil kesenjangan yang ada.
Sebagai contoh, semua Sekolah/Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi yang memiliki lisensi akreditasi dari CILIP. Kurikulumnya dievaluasi menggunakan professional knowledge and skills base (PKSB) yang mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan inti yang wajib dimiliki oleh seorang pustakawan atau pekerja informasi profesional.
Kerja sama ini bertujuan untuk memastikan kurikulum di sekolah atau jurusan tersebut relevan. Juga sesuai dengan kebutuhan keterampilan dan pengetahuan pustakawan yang terus berkembang.
3. Melakukan advokasi
Selain itu, organisasi profesi dan Sekolah/Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi juga perlu mengadvokasi pemerintah untuk menyusun kesepakatan dengan negara lain dalam hal pengakuan kualifikasi dan akreditasi pustakawan dan pekerja informasi Indonesia di negara lain.
Singapura, misalnya. Mereka memiliki perjanjian pengakuan bersama (mutual recognition agreement) dengan ALA di AS. Ini untuk saling mengakui dan menerima standar, kualifikasi, dan akreditasi satu sama lain.
Kesepakatan pengakuan kualifikasi dan akreditasi juga akan memperkuat posisi tawar negara-negara terkait untuk membuat profesi pustakawan dan pekerja informasi menjadi lebih inklusif dan tidak terlalu mengacu pada Western-centric Librarianship.
Indonesia juga bisa meniru langkah ini. Misalnya dengan mengadvokasi pengakuan kualifikasi dan akreditasi di lingkup regional Asia Tenggara. Sehingga pustakawan dan pekerja informasi Indonesia bisa memiliki kesempatan untuk bekerja di perpustakaan atau kantor informasi di negara-negara Asia Tenggara.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.