Lagi-lagi, pemerintah mempersempit kedaulatan perempuan sebagai manusia yang setara. Alih-alih mendorong kesetaraan, pemerintah justru secara sadar menempatkan perempuan dalam ketidakadilan.
Pada 6 Januari 2025, pemerintah daerah Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2025 yang mengatur pernikahan Aparatur Sipil Negara (ASN), khususnya mengenai Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian.
Dalam peraturan tersebut, ASN diperbolehkan memiliki lebih dari satu istri dengan beberapa alasan, seperti istri tidak menjalankan kewajibannya, mengalami cacat fisik atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan tidak dapat melahirkan keturunan. Pemerintah daerah DKI Jakarta berdalih bahwa peraturan ini bukan untuk mengizinkan poligami, melainkan memperketat aturan untuk poligami.
Dalih tersebut tidak berhasil meredam pertanyaan etis dan moral terutama terkait diskriminasi terhadap perempuan serta potensi penyalahgunaan wewenang akibat peraturan baru ini. Lebih parah lagi, bukannya mendukung kesetaraan, peraturan ini justru semakin mempersempit ruang bagi perempuan korban kekerasan di Indonesia.
Sudah banyak riset yang membuktikan bahwa negara memperkuat struktur patriarki dengan membatasi akses perempuan korban kekerasan terhadap perlindungan hukum dan keadilan. Data dari Komnas Perempuan tahun 2024 mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap istri meningkat drastis. Yaitu, dari 1.353 kasus pada 2003 menjadi 485.270 kasus, dengan banyak di antaranya dilakukan oleh suami korban.
Baca Juga: Pergub DKI Jakarta 2/2025: Benarkah Mengatur Poligami atau Justru Mendiskriminasi Perempuan?
Ironisnya, pelaku kekerasan ini berasal dari berbagai kalangan, termasuk pejabat publik. Dari 4.147 pelaku kekerasan, 571 di antaranya adalah pejabat yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat. Dalam konteks ini, legalisasi poligami hanya akan semakin menormalisasi eksploitasi perempuan dan memperburuk kondisi perempuan yang menjadi korban kekerasan. Fakta ini menegaskan bahwa dikeluarkannya peraturan tersebut menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak perempuan dan menjamin kesetaraan gender.
Peraturan pemprov DKI ini bukanlah kali pertama lembaga pemerintah mencoba mengatur perkawinan. Tahun 2015 misalnya, Kementerian Pertahanan mengeluarkan surat edaran tentang persetujuan perkawinan dan perceraian pegawai di kementerian dengan sejumlah syarat. Beberapa syarat yang ditetapkan dalam SE/71/VII/2015 itu beberapa di antaranya, tidak bertentangan dengan agama, perlu persetujuan istri dan punya penghasilan yang mampu membiayai lebih dari satu istri yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan. Selain itu, pegawai diperbolehkan poligami dengan syarat menyertakan surat jaminan tertulis akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Contoh lainnya, pada tahun 2021 ada PNS asal Makassar yang terjerat kasus poligami. Tidak hanya itu, pada tahun yang sama kasus poligami juga menjadi sorotan pemerintah kota Bengkulu. Dikarenakan ada Plt Dinas Pendidikan Kota Bengkulu yang melakukan poligami.
Sejarah Restu Negara untuk Poligami
Jika menilik sejarah, dalam setiap rezim pemerintahan selalu ada UU yang mengatur perkawinan sekaligus memberi ruang pada poligami. Dimulai dari masa pemerintahan Soeharto (1966–1998), pernikahan diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, yang pada dasarnya menegaskan prinsip monogami. Namun, UU ini tetap membuka celah bagi poligami dengan syarat tertentu. Seperti jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, menderita penyakit berat, atau tidak dapat melahirkan keturunan. UU ini pun tetap berlaku hingga era reformasi. Tampak tidak ada perubahan signifikan akan prasyarat yang muncul hingga saat ini.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati, juga tidak ada revolusi peraturan terkait pelarangan poligami dalam UU Perkawinan. Meskipun kedua presiden ini cukup menekankan hak-hak perempuan, tetapi poligami tetap diizinkan. Begitu pula pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014). Pemerintahannya saat itu, menegaskan pelarangan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) melalui UU Nomor 45 Tahun 1990. Akan tetapi, secara kontradiktif, UU ini juga memberikan izin poligami jika memenuhi persyaratan tertentu.
Ketika peraturan negara cenderung memberi ruang untuk poligami, penolakan terhadap poligami justru datang dari masyarakat. Terutama setelah beberapa tokoh terkenal tersandung kasus poligami. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik beberapa tahun lalu adalah pernikahan poligami Aa Gym. Ia adalah seorang tokoh agama Islam terkemuka di Indonesia. Kasus ini sempat memantik diskusi luas tentang bagaimana relevansi poligami dalam masyarakat modern hingga dampaknya terhadap hak-hak perempuan.
Baca Juga: Mengapa Kami Menolak Poligami? Pengalaman Keluarga Kami Jadi Korban Poligami
Kenyataan bahwa publik lebih peka pada isu kesetaraan perempuan. Mereka menegaskan bahwa pemerintah mengalami kesulitan dalam memahami kesetaraan gender serta gagal menuangkannya dalam peraturan. Alih-alih membangun kesetaraan, peraturan tentang pernikahan malah dikaitkan dengan poligami yang hanya menjadi ajang mencari popularitas hingga click byte. Seharusnya, poligami bahkan tidak perlu menjadi prioritas peraturan pemerintah, baik pada level pusat maupun daerah. Peraturan semacam ini hanya memperkuat ketimpangan secara terstruktur dan memberikan dalih bagi praktik yang merugikan perempuan. Apalagi tren yang muncul justru pejabat publik yang banyak melakukan poligami.
Masyarakat sudah terlalu jengah dengan tingkah pemerintah, baik dari sikap pejabat publiknya maupun peraturan yang diresmikannya. Alangkah lebih bijak jika pemerintah membangun kesetaraan nyata antara laki-laki dan perempuan, bukan sekadar menggunakan kebijakan dan regulasi sebagai alat politik.
Hingga saat ini, pemerintah justru menegaskan ketidaksetaraan yang terstruktur dan menghambat kemajuan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Alih-alih menerbitkan peraturan yang tidak adil pada perempuan, sudah saatnya pemerintah bekerja nyata untuk memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan di Indonesia.
Merespons Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2025 yang mengatur pernikahan Aparatur Sipil Negara (ASN), Komnas Perempuan menyatakan, praktik beristri lebih dari satu merupakan salah satu faktor penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan. Hal itu dapat merupakan salah satu bentuk kekerasan di dalam rumah tangga dan juga tindak pidana kejahatan terhadap perkawinan.
“Perkawinan poligami kerap diawali dari perselingkuhan, yang mengakibatkan penderitaan psikologis dan juga penelantaran pada pasangan. Termasuk dan tidak terbatas pada pemberian nafkah. Tindakan serupa ini merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga, khususnya dalam bentuk kekerasan fisik dan penelantaran, tulis Komnas Perempuan dalam pernyataan sikapnya.
Baca Juga: Suamiku Mau Poligami, Ini Kisahku Berlatih Jadi Janda
Dari 3.079 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan ke Komnas Perempuan sejak UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) disahkan pada 2004, setengahnya adalah kasus kekerasan psikis. Sementara 16% adalah kasus penelantaran dan kekerasan ekonomi lainnya.
Pada tahun 2023, Badan Peradilan Agama (Badilag) mencatat 391.296 pengajuan perceraian; 701 di antaranya adalah dengan alasan poligami, 32.646 karena ditinggalkan salah satu pihak, dan 240.987 karena perselisihan terus-menerus. Baik penelantaran maupun perselisihan terus-menerus ditengarai terkait dengan isu perselingkuhan dan praktik beristri lebih dari satu.
Praktik beristri lebih dari satu seringkali sengaja tidak dicatatkan atau tidak prosedural karena dilakukan tanpa izin istri, tanpa izin atasan dan izin pengadilan. Praktik serupa ini merupakan tindak kejahatan perkawinan karena dengan sengaja tidak menginformasikan atau mengabaikan penghalang sah atas perkawinan lebih dari satu istri yang hendak ia lakukan.
Selain itu, perselingkuhan atau perkawinan siri menjadikan perempuan baik sebagai istri maupun perempuan lainnya di dalam relasi tersebut menjadi korban maskulinitas laki-laki (suami).
“Perubahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu diarahkan pada penguatan pelaksanaan tanggung jawab negara pada pemenuhan hak konstitusional bagi perempuan atas perlindungan hukum, atas bebas dari diskriminasi dan dari kekerasan.”
Baca Juga: Jadi Korban Poligami Karena Janji Manis Suami dan Janji Manis Radikalisme
Padahal, amanat konstitusional untuk memenuhi hak atas pelindungan hukum. Selain itu, bebas dari diskriminasi, dan atas rasa aman atau bebas dari kekerasan bagi perempuan di dalam perkawinan melalui pengaturan yang ketat pada praktik beristri lebih dari satu telah ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi NO. 12/PUU-V/2007. Putusan ini juga menegaskan bahwa pengaturan tersebut tidak bertentangan dengan hak kebebasan beragama warga negara.
Komnas Perempuan juga menyatakan, revisi UU Perkawinan mesti segera diajukan dan dibahas, pelaksanaan Pergub Jakarta 2/2025. Di antaranya, harus diiringi dengan penegakan hukum untuk pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan. UU Administrasi Kependudukan dan pelaksanaan KUHP ketika ASN menikah walau diketahuinya ia memiliki halangan perkawinan yaitu masih terikat perkawinan, serta UU PKDRT.
Selain itu, perlu mempertimbangkan komposisi gender dalam Tim Pertimbangan. Memastikan juga bahwa tim tersebut memiliki perspektif adil gender dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memeriksa dan mengenali kekerasan berbasis gender terhadap perempuan;
“Memastikan pelaksanaan hak atas nafkah bagi istri dan anak pasca perceraian akibat atau terkait tindak perkawinan lebih dari satu istri.”