Poligami

Mengapa Kami Menolak Poligami? Pengalaman Keluarga Kami Jadi Korban Poligami

Ini adalah pengalaman keluarga kami, nenek dan bibi-bibi yang awalnya sulit menolak poligami. Poligami ternyata tak memberikan kebaikan untuk istri pertama, kedua dan anak-anaknya, hanya memberi ruang pada ego laki-laki.

Bertahun lalu, sebelum seorang laki-laki dan perempuan (calon isteri ke-2) laki-laki ini mengajakku berpoligami, aku juga pernah menolak ajakan poligami untuk menjadi istri kedua.

Selama ini aku telah mengamati praktik poligami yang menimpa anak-anak dan para istri pertama di lingkungan keluarga dan sahabat-sahabatku. Realitas-realitas ini menjadi ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kebesaran Allah yang bisa dilihat dari fenomena alam, termasuk pengalaman manusia,  untuk mengenal dan menguatkan iman kepada Allah)  yang membimbingku untuk mendengarkan nurani, rasa kasih sesama manusia dengan menolak poligami.

Menolak poligami, menurutku bisa melalui dua pintu. Pertama, melalui pengalaman atau pengamatan bagaimana konsep dan praktik poligami melukai rasa kemanusiaan. Kemudian merefleksikan realitas itu dan  mendeteksi kontradiktifnya dengan hati nurani dan nilai-nilai keilahian – sifat-sifat Allah. 

Kedua,  mempelajari-membuka hati terhadap interpretasi monogami yang dilakukan para pemikir muslim. Dua pintu itu dapat dipelajari untuk mempertahankan marwah kita sebagai perempuan yang transenden dengan yang Illahi, sekaligus makhluk yang menapak di bumi dan merasakan penderitaan para korban poligami. Ini yang aku pelajari dari keluarga besarku.

Baca Juga: Cerai karena Suami Poligami, Gimana Aturan Hukum soal Hak Istri dan Anak?

“Ya Allah, bila sekiranya jabatan dan uang yang membuat suamiku terus berpoligami, maka mudahkanlah pensiun awal pada suamiku.” Itu doa (alm) nenek dalam tahajudnya. Nenek juga merupakan perempuan yang pernah jadi korban poligami suaminya atau kakekku. 

Nenek,  perempuan tersabar di keluarga kami, yang menghabiskan hidupnya beribadah di kamar, selain mengurus anak-anak. Doa nenek dikabulkan. Kakek pensiun lebih awal  dan kembali pada pernikahan monogami bersama nenek. 

Bibiku yang pertama dan anak-anaknya juga mengalami tahun terburuk dalam berkeluarga,  ketika paman diam-diam menikahi perempuan lain. Pamanku menceraikan isteri ke-2nya, ketika anak perempuan kesayangannya bermimpi buruk,  hingga berteriak-teriak meminta golok akibat kemarahan yang hebat. Kecintaan paman terhadap anak perempuannya mengembalikan paman pada pernikahan monogami. 

Bibiku yang kedua bertahan dalam poligami dengan cara menyelubungi dirinya dengan jilbab yang semakin lebar. Meyakinkan dirinya dan kami (keluarga besarku) bahwa apa yang ia alami ‘takdir’ yang harus ia terima. 

Di tahun-tahun awal poligami mereka,  kedua anak laki-lakinya yang masih sekolah dasar dan menengah, memilih tinggal bersama bibiku yang sudah bebas dari poligami, meskipun berbeda pulau. 

Seperti kakek dan kedua pamanku juga menikahi perempuan lain, ketika penghasilan mereka sedang berkecukupan. 

Baca Juga: Membongkar Citra Perempuan Wakatobi yang Harus Setia, di Saat Laki-laki Suka Poligami

Penderitaan dan perjuangan hidup anak-anak dalam poligami aku pelajari juga dari dua sahabatku. Pertama, sahabat,  sarjana ilmu agama, yang hingga kini direpotkan dengan kerentanan konflik antara ia dengan saudara tirinya terkait pembagian warisan bapaknya. Lebih dalam lagi,  luka yang tak kunjung pulih “mengapa waktu aku kecil, aku ditinggalkan begitu saja dengan ibuku. Ketika bapak sudah tua dan sakit-sakitan kembali dan minta diurus oleh ibuku.”  Kedua, sahabatku yang laki-laki, meninggalkan rumah dan berhenti sekolah sejak ia masih berumur belasan tahun. Ia memilih hidup di jalan dan menjadi pengamen, karena berontak dengan babeh yang menikah lagi.  

Kedua sahabatku memang berhasil mentransformasi lukanya. Yang satu menjadi aktivis perempuan, yang satu menjadi musisi jalanan dan mengembangkan taman bacaan untuk anak-anak. Ia ingin menemani anak-anak yang broken home sepertinya. 

Tapi sebelum kekuatan itu lahir, keduanya mengalami kesakitan dan kekecewaan luar biasa. Pun tidak setiap anak korban poligami dapat mengolah kekecewaan menjadi kreatifitas untuk kerja-kerja kemanusiaan. 

Perempuan Kedua 

Aku mendapat tawaran menjadi perempuan ke-2, sebanyak dua kali. Kedua tawaran itu datang bukan dari laki-laki yang akan menikahi kami, tetapi dari guru ngaji di kampus dan adik kelasku. 

Keduanya berlangsung saat aku mahasiswa. Argumen guruku, ia ingin menjalani pernikahan sebagai ibadah dan ditemani oleh madu yang sepemikiran. Argumen adik kelasku, sama, dengan tambahan ia ingin punya madu yang cerdas dan  baik (menurutnya) sepertiku. 

Argumenku pada keduanya sama, “aku tidak dapat menerima doktrin poligami, walaupun interpretasi ‘membolehkan poligami’ dihidupkan dalam pengajian yang kami ikuti.”  

Penolakanku saat itu bertambah, karena aku mengamati,  praktik menikah demi ibadah-jihad  yang dimaksud lebih banyak berlangsung dengan teman-temanku yang cantik,  ketimbang guru-guru ngajiku yang tidak lebih cantik dari muridnya. 

Aku menyaksikan (alm) mamaku memarahi adik kandungnya, juga perempuan dan keluarga perempuan yang berencana menikah dengan pamanku –yang sudah berkeluarga. 

“Kamu perempuan gadis dan kamu orang tuanya apa tidak punya pikiran. Mau menikah dengan adikku yang sudah berkeluarga? Apa nggak memikirkan isteri dan anak-anak dari pernikahan pertama?.”  

Baca Juga: Hidupku Mendadak Berhenti, Aku Bertemu Calon Istri Suamiku

Walaupun saat itu kami mengetahui pernikahan paman tidak sedang harmonis,  tetapi bukan lalu menjadi jalan lapang untuk berpoligami.

Adik kandungku (laki-laki) sangat marah mengetahui sepupu kami (perempuan) menjadi istri kedua. Sepupu kami menjelaskan pernikahan calon suaminya tidak bahagia dan dalam persiapan bercerai. Bukankah itu  alasan klasik yang sering perempuan dengar dari pacar yang sudah menjadi suami orang?. 

“Hati-hati, biasanya akan ada yang  perempuan ke-3 dan seterusnya. Bila kita memberi jalan poligami pada ego laki-laki,” tutur adikku. 

Sekarang sepupuku menyampaikan penderitaannya dalam pernikahan yang sudah melahirkan dua anak. Suaminya tak pernah setia dan ia mulai self harmfull (melukai diri sendiri) karena tidak tahan dengan keadaan. 

Merefleksikan pengalaman-pengalaman itu, membuatku tak ada keraguan sebutir pasir pun untuk menolak poligami sejak dari konsep hingga praktik. Poligami tak memberikan kebaikan untuk istri pertama, kedua  dan anak-anaknya, hanya memberi ruang pada ego laki-laki.  Realitas di sekelilingku menunjukan,  tidak ada peristiwa poligami yang mendekatkan pada nilai-nilai keilahian –suasana penuh kasih, kedamaian,  dan penghormatan sesama manusia –anak ke orang tua dan sebaliknya, suami ke isteri dan sebaliknya atau isteri ke isteri.   

Meretas Interpretasi Agama Pro-Poligami 

Sebaliknya,  menolak poligami akan menjadi berat bila logikanya dibalik. Maksudku bukannya  merefleksikan realitas poligami dari aspek kemanusiaan dan nilai-nilai keilahian, melainkan malah mencocok-cocokan bahkan memaksakan realitas dengan interpretasi agama yang pro-poligami. 

Seringkali dengan ancaman yang seolah-olah interpretasi itu sudah final kebenarannya. Seperti ungkapan “sudah ada ketentuannya,” “dibenarkan oleh agama, ” “sunnah nabi” dan lain-lain. Argumen-argumen kebenaran final seperti itu membahayakan kesalehan dan kemanusiaan. Karena meresikokan kita pada merasa lebih tahu soal kebenaran melebihi yang Ilahi dan mengabaikan penderitaan sesama manusia demi kefinalan interpretasi tersebut. 

Lebih keliru lagi,  kalau poligami dianggap jalur legal untuk pacaran dan aktivitas seks di luar nikah. Argumen itu juga sering membela diri dengan pembelaan yang jauh lebih keliru, misalnya dengan menuduh orang yang menolak poligami membenarkan pacaran atau perzinahan. Padahal kalau mau sar’i dan hijrah bersabarlah dengan pernikahan monogami, berpuasa – belajar untuk mengendalikan hasrat. Hasrat berzina, hasrat merasa diberi privilege sebagai laki untuk beristri lebih dari satu oleh Allah SWT (padahal belum tentu), dan hasrat untuk menikahi laki-laki yang sudah berkeluarga. 

Yang keliru  itu tidak akan lanjut dibahas, karena tidak ada manfaatnya. Tetapi argumen normalisasi poligami dengan menggunakan interpretasi agama ini lah yang akan kita selidiki dengan meminjam pemikiran pemikir muslim yang mengedepankan monogami. Ini upaya yang agak susah. Susahnya bukan karena Islam mendukung poligami, melainkan klaim atau interpretasi arus utama yang cenderung pro-poligami. Sedangkan interpretasi agama yang menganjurkan monogami belum populer di kalangan umat Islam Indonesia. 

Poligami Tidak Diperlukan Lagi karena Sudah Ada Dinas Sosial dan Rumah Yatim

Sekarang, marilah kita temui jalan susah tapi lebih dekat dengan kepedulian dan kasih sayang ini dengan menelusuri-membuka diri kepada para pemikir muslim yang menganjurkan monogami dan menolak poligami, antara lain interpretasi yang dilakukan oleh (alm) K.H. Buya Syakur Yasin MA dan Prof. Musdah Mulia. 

Buya Syakur dalam dakwahnya yang tersebar di youtube dan tiktok menyampaikan  bahwa Al Qur’an tidak pernah menyuruh laki-laki berpoligami,  melainkan menyantuni anak-anak yatim paska perang yang sering berlangsung di masa nabi. Mengapa  dengan cara menikahi para janda?  Karena di masa itu belum ada yayasan anak yatim (masa perang) dan departemen sosial (belum ada negara). Poligami di masa itu diperbolehkan bagi yang punya kepedulian kepada anak-anak yatim. Lebih lanjut, Buya Syakur menjelaskan bahwa konteks seperti itu sekarang sudah berubah: Rumah yatim sudah ada, dinas sosial sudah ada. Kepedulian terhadap anak-anak yatim dapat disalurkan dengan lebih banyak cara. 

Bagi Buya Syakur, ketika kemudian poligami dipersulit dengan persyaratan tertentu seperti persyaratan laki-laki yang berpoligami harus adil,  hal itu menunjukan bahwa sejak nabi Muhammad masih hidup,  perkawinan memang diarahkan ke monogami.  

Baca Juga: Film ‘Raise the Red Lantern’: Soroti Poligami dan Kompetisi Perempuan yang Tragis

Berdasarkan penelusuran Buya Syakur melalui asal-usul dan penafsiran bahasa Arab terkait syarat adil dalam poligami, ternyata maknanya bukan bersikap adil terhadap para istri –sebagaimana penafsiran arus utama saat ini, karena hal itu tak akan tercapai, melainkan bersikap adil terhadap anak kandung dan anak tiri. Hal itu terkait dengan tujuan poligami untuk mengurus anak-anak yatim yang terlantar bukan untuk menambah isteri.

Buya Syakur juga berhipotesis bahwa nabi Muhammad mengajak pada pernikahan monogami, tetapi prosesnya  belum selesai, ketika nabi meninggal.  Pandangan ini tentu mendapat tentangan dari mereka yang menginterpretasikan bahwa semua ajaran-solusi hidup (termasuk perkawinan) sudah selesai ketika nabi Muhammad meninggal. Buya Syakur menjelaskan bahwa apa yang disampaikan nabi bukan “kucukupkan seluruh ajaranku” melainkan “kucukupkan fondasi ajaranku, yang kemudian akan dilanjutkan oleh orang-orang setelah di zamannya”. Karena peradaban masih akan terus berkembang, termasuk konteks poligami. (Untuk menyimak asbabul nuzul (latar belakang munculnya ayat Al Qur’an), asbabul wurud (sejarah lahirnya hadis), konteks dan penafsiran bahasa Arab dalam cara Buya Syakur menginterpretasi sepenuhnya)

Kekurangan Isteri Peluang Suami untuk Meningkatkan Ketakwaan, Bukan Berpoligami 

Sejalan dengan Buya Syakur, Prof. Musdah Mulia menelusuri satu-satunya ayat dari 6000-an ayat dalam  Al Qur’an  yang sering dijadikan alasan berpoligami adalah ayat yang dalam konteks melindungi anak yatim.  

Dalam pandanganku,  bila praktik poligami saat ini dijalankan sesuai ayat tersebut,  maka seharusnya  ketika poligami marak dan kini semakin dimarakan akan banyak anak yatim yang terselamatkan kehidupannya,  ketimbang  pencari sugar daddy atau kawan-kawanku yang bahkan ngajak aku berpoligami sebelum anaknya yatim,  malah belum mereka lahirkan. 

Prof. Musdah Mulia juga mengkritisi UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang membenarkan laki-laki berpoligami karena istri dianggap mengalami kekurangan. Landasan ini sering dijadikan alasan suami berpoligami misalnya karena istri sakit atau tidak dapat memberikan keturunan. 

Menurut Prof. Musda hidup ini misteri, setiap orang bisa  saja mengalami kecelakaan, atau sakit yang mengakibatkan cacat, mandul lumpuh, masuk penjara dan lain sebagainya. Kondisi kekurangan pada pasangan harusnya semakin mengekalkan cinta dan kasih sayang yang sudah diikrarkan melalui perkawinan. 

Baca Juga: Suamiku Mau Poligami, Ini Kisahku Berlatih Jadi Janda

Lebih lanjut Prof. Musdah merujuk pada Al Qur’an surat an-Nisa (4):19, yang menjelaskan solusi bagi suami yang menghadapi problem dalam perkawinannya, seperti kekurangan isterinya yang justru memerintahkan agar suami berlaku santun, arif dan bijaksana terhadap isterinya. Jika suami mendapatkan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam diri isteri, maka hendaklah ia bersabar. Sebab, boleh jadi hal-hal yang tidak menyenangkan dalam diri istri justru membawa hikmah yang besar bagi suami.  

Prof. Musdah juga mengkritik pengajian-pengajian yang lebih banyak  mengajarkan ibu-ibu untuk bersabar dalam pernikahan poligami bukan dakwah yang mengajarkan suami bersabar dalam monogami. 

Interpretasi lain yang dikritisi Prof. Musdah adalah poligami sebagai sunnah nabi. Menurutnya, interpretasi itu keliru bahkan sejak penggunaan diksi sunnah. Karena pengertian sunnah mencakup keseluruhan perilaku nabi –ketetapan, ucapan, tindakan dan semua aspek meliputi kehidupannya. Sunnah tidak dapat dipersempit hanya ketika berkaitan dengan poligami. Jika umat Islam ingin mengikuti sunnah nabi, betapa banyak aktivitas yang dapat dilakukan terkait keadilan dan kedamaian sebagaimana komitmen nabi sepanjang hidupnya. Dan nabi melakukan poligami di 6 tahun terakhir pernikahan-kehidupannya. Sementara dalam 28 tahun pernikahan (17 tahun sebelum kerasulan dan 11 tahun kerasulan) nabi monogami bersama Khadijah. Menurutku, mengapa bukan ‘sunnah’ yang 28 tahun yang lebih menjadi acuan?  

Prof. Musdah juga menjelaskan Nabi Muhammad berpoligami ketika berusia 58 tahun, 2 – 3 tahun setelah kematian istrinya – Khadijah. Pada konteks ia  harus mengembangkan syiar Islam ke Yatsrib dan juga ke luar jazirah Arab. 

Baca Juga: Kongres Perempuan Dari Masa ke Masa: Perempuan Rebut Tafsir dan Dobrak Stigma Lewat Kongres

Hidup dalam konteks masyarakat yang kesukuannya masih kuat, perkawinan saat itu menjadi alat strategis untuk merangkul beragam suku demi terlaksananya syiar Islam. Isteri pertama yang dinikahi setelah Khadijah wafat, Saudah (janda  berusia 72 tahun) untuk melindunginya, setelah suaminya wafat di medan perang. Waktu  Saudah menyatakan sudah tak punya gairah seksual, nabi menjawab, jangan salah paham, saya menikahi kamu agar ada figur ibu untuk anak dari saya, Fatimah. Satu-satunya istri nabi yang masih muda dan kemudian juga menjadi kawannya bersyiar adalah Aisyah. 

Tetapi, bahkan dengan kualitas kenabian yang selalu berusaha adil, perkawinan poligami nabi jauh dari harmonis. Kecemburuan, fitnah di antara para isteri pernah terjadi yang membuat nabi keliru  bertindak dan ditegur oleh Allah SWT melalui Al Qur’an surat at-Tahrim (66):1 “hai nabi, mengapa kamu mengharamkan  apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan isteri-isterimu? Dan Allah maha pengampun dan penyayang. 

Karena itu, menurut Prof. Musdah bila umat Islam ingin berbahagia, mestinya memilih sunnah perkawinan monogami nabi bersama Khadijah selama 28 tahun, bukan masa nabi berpoligami 6 tahun.  Itu pun karena berbagai pertimbangan keselamatan janda di masa itu yang penuh peperangan, dan demi mempersatukan suku-suku untuk membangun masyarakat madani di Madinah. Selengkapnya pemikiran Prof. Musdah terkait poligami dapat dibaca dalam bukunya Ensiklopedia Muslimah Reformis Pokok-pokok Pemikiran untuk Re interpretasi dan Aksi.

Baca Juga: Wagub Jabar Usulkan Poligami untuk Tekan HIV/AIDS: Kesalahan Fatal Pejabat Publik

Memang bila merefleksikan masa 6 tahun Nabi Muhammad berpoligami, jauh bumi dan langit,  baik secara kualitas kesolehan nabi dan lelaki para pelaku poligami hari ini. Demikian juga antara konteks masyarakat dan negara di masa nabi dan saat ini.     

Masih  banyak pemikir muslim yang melakukan interpretasi pernikahan monogami.  Pemikiran K.H. Buya Syakur Yasin MA dan Prof. Musdah Mulia disajikan untuk menggugah pencarian pemikir muslim selanjutnya. Setidaknya dari dua interpretasi ini, meneguhkan-menjalinkan rasa kemanusiaan (hati nurani) dan interpretasi agama bagi mereka yang membutuhkan.  

Dewi Nova

senang belajar hidup bersama semesta, menulis puisi, cerpen, esai sosial dan naskah akademis. Bukunya antara lain Perempuan Kopi, Burung Burung Bersayap Air, Mata Perempuan ODHA, Di Bawah Kaki Sendiri: Pengabaian Negara Atas Suara Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama /Berkeyakinan, Akses Perempuan Pada Keadilan dan Mengkreasi Bisnis yang Produktif dan Inklusif Keragaman Seksual. Dewi dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!