Lebaran adalah momen yang identik dengan kebersamaan, silaturahmi, dan tentu saja makanan. Namun, bagi sebagian orang, momen ini juga bisa menjadi pemicu kecemasan yang luar biasa, terutama bagi mereka yang mengalami body dysmorphia atau memiliki persepsi buruk tentang tubuh mereka karena komentar yang tidak diminta.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kelly dan Phillips (2017), body dysmorphia atau Body Dysmorphic Disorder (BDD), adalah gangguan kesehatan mental ketika seseorang terobsesi dengan kekurangan penampilan, yang sering kali hanya bersifat minimal atau bahkan tidak nyata sehingga obsesi tersebut mengganggu kehidupan sehari-hari.
Individu dengan BDD bisa mengalami berbagai bentuk preokupasi (pikiran yang terus-menerus), mulai dari masalah kulit seperti jerawat atau kerutan. Masalah rambut seperti kebotakan atau tekstur yang tidak diinginkan, hingga ketidakpuasan terhadap bentuk hidung atau bahkan “ketidakseimbangan” proporsi tubuh. Termasuk bentuk otot (yang dalam kasus tertentu dikenal sebagai muscle dysmorphia).
Banyak orang pertama kali mengalami ketidaknyamanan terhadap tubuh mereka bukan dari media sosial atau iklan, melainkan dari keluarga besar sendiri. Komentar-komentar seperti, “Kok sekarang gemukan ya?”, “Kapan kurus lagi?”, atau “Wah, makin kurus aja, sakit ya?” sering kali terdengar di meja makan, disampaikan dengan nada bercanda, seolah itu hal yang biasa.
Sayangnya, bagi banyak individu, terutama perempuan, komentar-komentar ini tidak sekadar candaan. Ini menjadi luka, membentuk persepsi diri yang negatif, dan bisa berdampak panjang terhadap hubungan perempuan dengan tubuh sendiri.
Patriarki Berkaitan Erat dengan ‘Tubuh Ideal Perempuan’
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam memahami body dysmorphia dari sudut pandang feminis adalah fenomena objektifikasi tubuh perempuan. Dalam masyarakat patriarkis, tubuh perempuan sering kali dipandang sebagai objek yang harus memenuhi standar kecantikan tertentu untuk menarik perhatian laki-laki atau agar diterima oleh kalangan tertentu.
Perempuan yang tidak memenuhi standar kecantikan yang dominan, seperti perempuan dengan kulit gelap atau perempuan dengan tubuh yang lebih besar, sering kali mengalami tekanan sosial yang lebih berat. Mereka mungkin merasa kurang dihargai atau bahkan terabaikan dalam representasi budaya.
Feminisme berjuang untuk membebaskan perempuan dari keterbatasan yang ditentukan oleh standar kecantikan yang sempit dan tidak realistis. Gerakan body positivity (sikap positif terhadap tubuh) bertujuan untuk merayakan tubuh dalam segala bentuk dan ukuran, tanpa perlu memenuhi ekspektasi estetika yang dibuat oleh masyarakat.
Banyak kesalahpahaman terhadap konsep body positivity yang digaungkan. Misalnya, seseorang yang mendukung body positivity berarti akan menjadi obesitas selamanya.
Anindya Restuviani atau yang kerap disapa Vivi dari Jakarta Feminist mengatakan, “Padahal poin dari body positivity adalah kita peduli dengan badan kita. Intinya, kita pengen semua orang, dalam bentuk apapun, akan merasa positif terhadap tubuhnya sendiri. Bukan berarti menjalankan hidup yang tidak sehat dan siapakah yang berhak menilai bahwa hidup seseorang sehat atau gak?,” jelas Vivi saat dihubungi Konde.co pada (26/3/2025).
Vivi juga menjelaskan bagaimana kaitan antara kiat patriarki dalam mendefinisikan tubuh perempuan lewat program diet.
“Segala diet culture ini untuk memuaskan hasrat patriarki yang sexualized perempuan. Contohnya, image model Victoria Secret sebagai ‘tubuh ideal sempurna’. Itukan bukan pandangan kita sebagai perempuan. Iya mereka cantik, tetapi itu bukan satu-satunya ide dari ‘perfect body’, tetapi itu adalah ide dari patriarki,” ucap Vivi.
Cerita Vivi dalam Unlearning Insecurity dan Menerima Tubuh
Keluarga yang seharusnya jadi ruang aman untuk bercerita, sering kali justru menjadi alasan seseorang mengalami ketidakpercayaan diri. Hal tersebut dialami oleh Vivi.
Vivi bercerita bagaimana dia sedari kecil sudah dibentuk melawan tubuhnya. Misalnya melalui praktik diet atau modelling agency yang dia ikuti sejak umur 5 tahun.
“Aku inget banget pertama kali aku disuruh diet itu aku usia 9 tahun, aku dikasih obat kayak jamu pelangsing, biar kalau makan gak laperan. Itu untuk menjaga bentuk tubuh dan itu di kepala jadi terpatri banget,” cerita Vivi.
Proses Vivi menerima tubuhnya merupakan proses yang panjang. Sedari kecil, ia sudah diikutkan ke agensi model oleh orang tuanya.
“Mungkin biar pede, orang tuaku masukin aku ke modelling agency dari aku usia 5 tahun. Dari usia 5 tahun sampai usia 8 tahun masih seneng aja mungkin liatin oh anak kecil catwalk, tapi begitu sudah dalam konteks 8 tahun, kita udah diseksualisasikan. Pola makan anak juga jadi bahan kritikan,” ungkapnya.
Dari sana, Vivi akhirnya mengasosiasikan makanan dengan sesuatu yang membuat tubuh gemuk dan membuatnya negatif. Bahkan, ia juga sempat berada di ukuran tubuh yang kurus, tetapi ia tidak pernah merasa puas.
“Tahun 2014-an aku kurus, tapi aku gak pernah melihat diriku itu kurus. Dan itu yang menyedihkan. Aku selalu merasa aku tuh gemuk, gemuk, dan gemuk,” tutur Vivi.
Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Radikal Ajarkan Bagaimana Melawan Penindasan Tubuh Perempuan
Titik pertama Vivi menyadari bahwa dirinya tidak harus memedulikan komentar sekitar adalah feminisme lewat sexual liberation-nya.
“Dari sexual liberation pola pikirku dibebaskan sehingga aku bisa memahami bagaimana tubuh being sexualized all the time. Jadi aku belajar bagaimana manusia menjadi makhluk seksual dengan perbedaannya, yaitu manusia yang diseksualisasikan, awalnya di situ,” paparnya.
Melalui buku feminis, Vivi belajar bahwa tubuh selalu ada bagi diri sendiri. Dalam keadaan apapun, bahkan saat kita mengutuk diri, dia tetap bersama kita.
“Tubuh kita adalah yang mendukung hidup kita. Mau kita jungkir balik kayak apa, mau kita sebenci apapun sama badan kita. Tapi tubuh kita selalu ada di situ untuk diri kita. Itu saat aku realized ngapain aku sebenci itu dengan tubuhku yang selalu dukung aku?” ucap Vivi.
Yang terpenting bagi Vivi sekarang ialah bahwa dia sehat dan memedulikan dirinya sendiri.
“I am the heaviest that I’ve ever been, but I don’t care. Yang penting aku sehat dan bagaimana caranya aku mengapresiasi diriku sendiri. Insecure pasti ada, tapi setidaknya aku udah bisa fixing my relationship dengan tubuhku dan makanan,” jelasnya.
Mengatasi Trigger Body Dysmorphia: Hindari atau Respons Adalah Pilihanmu
Untuk perempuan yang berjuang dengan body dysmorphia, dukungan sosial dan akses terhadap perawatan kesehatan mental adalah hal yang krusial. Penanganan BDD secara efektif memerlukan pendekatan psikoterapi, khususnya cognitive-behavioral therapy (CBT) yang disesuaikan dengan kondisi pribadi.
Momen berkumpul dengan keluarga bisa triggering bagi perempuan dengan BDD. Saat perempuan mendapatkan komentar negatif, semua kembali lagi ke diri perempuan.
“Kalau kamu nyaman untuk merespons, just respond. Tapi, gak semua orang bisa melakukan itu. Yang bisa aku saranin, find your support system yang ada di lingkungan kamu. Kalau support system kamu adalah sepupu yang gak akan body shaming, silakan berkumpul dengan mereka saja,” jelas Vivi.
Lebih lanjut, ketika situasi mulai terasa menyerang, dianjurkan untuk memilih opsi retract, yaitu mencari tempat yang membuat kita merasa aman dan mendapatkan kembali rasa damai.
“Kalau merasa udah di-attack, pilih retract. Cari tempat yang merasa aman, dimana kamu bisa merasa nyaman untuk gaining your sense of peace. Ketika kita menjadi pusat perhatian memang sulit untuk merespons, apalagi yang ngomentarin ada hierarki yang lebih tinggi,” lanjutnya.
Ruang aman bisa datang dalam berbagai bentuk, bahkan dalam kehadiran hewan peliharaan yang memberikan kenyamanan dan keceriaan.
“Di saat kalian ngerasa ke-trigger banget, I think it’s best untuk cari ruang aman buat kalian dan cari support system. If the only support system that you have is the cats, then just play with the cats,” ujar Vivi,
Perlu diingat bahwa kita juga memiliki peran sebagai active bystander.
“Kalau ada orang-orang yang mulai body shaming ke orang lain, kita bisa coba reassurance orang tersebut atau intervensi orang itu,” pungkasnya.
Editor: Anita Dhewy