Pulang kampung untuk merayakan Lebaran seharusnya menjadi momen yang menyenangkan. Namun, kadang keriangan Hari Raya jadi buyar ketika pertanyaan-pertanyaan pribadi seperti, ‘Kapan menikah? Kenapa belum menikah? Kapan punya anak?’ dan sebagainya dilontarkan tetangga maupun keluarga sendiri. Di sisi lain, ketika seseorang memutuskan untuk bercerai atau berpisah dengan pasangan, mereka justru dikasihani dan diberitahu untuk mencari pasangan baru. Apa lagi ketika perempuan menjadi pihak yang bercerai.
Stigma terhadap perempuan yang bercerai sangat beragam. Perempuan yang bercerai sering dianggap gagal dalam menjalankan perannya sebagai istri atau ibu. Terutama dalam budaya yang sangat menekankan pernikahan sebagai pencapaian hidup.
Beberapa perempuan yang bercerai pun dianggap sebagai ancaman bagi rumah tangga lain. Apa lagi jika mereka masih muda dan mandiri. Selain itu, meskipun alasan perceraian beragam—termasuk KDRT atau perselingkuhan pasangan)—perempuan lebih sering disalahkan atas kegagalan pernikahan.
Sementara itu, menurut Mutiara Poenhoenman, founder komunitas Save Janda, perempuan memang cenderung didera banyak pertanyaan seputar kehidupan diri dan keluarganya saat pulang kampung untuk Lebaran dan bertemu sanak saudara. Mulai dari pertanyaan, “Kapan kawin?” hingga, “Anaknya sekolah di mana? Kenapa nggak di sekolah ‘ini’ aja?” Namun, ketika berkaitan dengan perceraian dan status perempuan sebagai ‘janda’, pertanyaan yang diarahkan menjadi lebih problematik.
“Jadi karena memang dasarnya janda itu dianggap sebagai aib keluarga,” ucap Mutiara kepada Konde.co, Sabtu (29/3/2025). “Apa lagi di kota-kota kecil, lebih terasa. Kota gede juga sama aja sih, sebenarnya, tapi caranya aja yang mungkin… Kota gede lebih ‘halus’ aja, gitu. Tapi kalau di kota kecil lebih frontal karena dekat, biasanya udah kayak keluarga sendiri.”
Merayakan Perceraian
Guruh Riyanto, wartawan media Xinhua, pernah mengunggah status di media sosial dengan topik ‘merayakan’ perceraian. Baginya, unggahan tersebut lebih dimaksudkan untuk merayakan ‘normal alternatif’. “Kayak, orang jadi tahu bahwa pertama, ada jalan hidup alternatif; kedua, bahwa perpisahan itu perlu dirayakan atau—katakanlah—bisa dirayakan,” kata Guruh saat dihubungi Konde.co. “Tergantung situasi perceraian juga. Kan, kadang ada orang yang cerainya ya, cerai meninggal. Ada yang cerai karena KDRT, macam-macam. Kalau pisah (karena) KDRT menurutku juga perlu dirayakan.”
Guruh melanjutkan, ada sesuatu dalam pandangan banyak orang tentang normalisasi kehidupan. “Bahwa orang yang dianggap normal itu yang sudah menikah. Dan orang single, termasuk perceraian itu dianggap di luar kebiasaan, di luar normal,” ujarnya. Namun, dengan keterbukaan informasi saat ini, nilai masyarakat cenderung makin beragam. Ada perubahan pandangan di generasi yang lebih muda.
“Jadi mereka punya, mengadopsi nilai yang berbeda dan merayakan hal yang berbeda.” Guruh menambahkan selorohan, “Nanti kalau Lebaran, pasti akan banyak tanya. Jadi kalau orang ditanyain, ‘kapan nikah?’ Ya bisa juga, boleh tanya, ‘kamu kapan cerai? Teman-teman lu udah pada cerai, senang-senang’.”
Reversed Stigma Pada Laki-Laki
Mutiara mengingatkan bahwa terkait perceraian, bukan cuma perempuan yang mendapatkan stigma. Sebetulnya kadang laki-laki duda juga dilekatkan pada stereotipe tertentu.
“Tapi kalau laki-laki, kayak reversed stigma,” kata Mutiara. Maksudnya, jika perempuan identik dengan stereotipe ‘malang’, ‘buruk’, hingga ‘murahan’ dengan status sebagai janda, laki-laki justru dilekatkan dengan imaji ‘tampan’, ‘mapan’, dan ‘keren’ sebagai duda. Masalahnya, menurut Mutiara, adalah ketika lelaki duda tersebut tidak memenuhi standar yang dibentuk masyarakat tersebut.
“Sekarang gimana kalau laki-laki yang cerai itu, katakanlah, driver ojek? Atau buruh, atau semacamnya yang nggak sesuai dengan kriteria masyarakat?” Mutiara berkata. “Jadi laki-laki juga dirugikan, seakan-akan harus memenuhi standar itu tadi sebagai duda. Tapi stigmanya kebalikan dari yang perempuan alami.”
Kembali lagi, ketika perempuan berpisah dari pasangannya, ia bukan hanya dituntut untuk kembali atau mencari pasangan baru. Perempuan yang bercerai atau berpisah dalam hubungan pun harus menanggung stereotipe buruk sebagai janda. Dicap tidak sempurna, dikasihani, dianjurkan untuk menurunkan standar, dan sebagainya. Sementara itu, laki-laki juga kerap disuruh mencari pasangan baru setelah berpisah, tapi untuk alasan berbeda dan imaji yang ‘lebih baik’ dari perempuan.
Menurut Catahu Komnas Perempuan 2022, data dari Badan Pengadilan Agama (Badilag) menyebut salah satu penyebab tertinggi perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus (281.323 kasus). Sedangkan di tahun 2021, Badilag mencatat KDRT menjadi penyebab keempat perceraian di Indonesia. Ada 4.779 kasus KDRT yang berujung pada perceraian sepanjang tahun tersebut.
Mutiara tidak menampik hal itu. Maka dari itu, ia sepakat bahwa perceraian dapat dilihat sebagai ‘prestasi’ karena bisa lepas dari hubungan toksik atau sarat kekerasan. Sayangnya, alih-alih demikian, pandangan orang-orang terhadap perempuan yang bercerai justru memojokkan.
“Sebetulnya ada juga kan, yang menyebut kalau perceraian itu membuat tingkat kebahagiaan bertambah. Tentu nggak semua, tapi terutama untuk yang terjebak dalam KDRT, itu seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang baik,” ucap Mutiara. “Cuma ya, itu. Kadang-kadang ucapan buruk tentang perpisahan atau perceraian juga datang dari orang tua atau keluarga sendiri. Sebab perceraian dianggap sebagai aib.”
Di Hari yang Suci, Saatnya Mengubah Standar Terhadap Status Hubungan Orang Lain
Pandangan bahwa status single adalah sesuatu yang buruk atau ‘tidak sempurna’ kerap menjadi alasan banyak orang melihat perceraian juga sebagai tragedi alih-alih suatu pencapaian. Tutur Guruh, orang-orang sebaiknya mulai mengubah standar mengenai status ‘jomblo’ atau ‘single‘, terutama dalam konteks perceraian.
“Jadi bukan standar mutlak, itu, lho,” ujarnya. “(Tapi) ada nilai pengakuan terhadap keragaman jalan hidup orang itu.”
Sedangkan Mutiara berpesan agar para perempuan yang bercerai atau berpisah dari suatu hubungan tidak terlalu terbawa perasaan atas ucapan orang-orang saat Lebaran.
“Kalau aku, ketika dibilangin, ‘Kamu kenapa nggak cari pasangan lagi?’ atau apapun lah, itu, soal menjadi janda. Biasanya aku jawab, ‘Habis, gimana? Standarku tinggi banget, belum ketemu yang begitu’ atau, ‘Ya udah, cariin dong’. Jadi kesal ya wajar, tapi menurutku kita pintar-pintar aja jawabnya,” kata Mutiara.
Di sisi lain, ia juga berpesan kepada orang-orang untuk tidak merasa perlu terlalu mengurusi kehidupan orang lain. “Urus hidupmu sendiri dulu yang benar, deh,” selorohnya.






