Siang itu, 6 Oktober 2025. Para musisi, Manson dari MENTHOSA, Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca, Eka Annash dari The Brandal, dan Delpi dari Dongker datang ke Polda Metro Jaya bersama para aktivis KontraS.
Mereka menjenguk tahanan politik yang masih ditahan. Merasa sedih, prihatin atas kondisi ini. Sesama musisi lalu menghimpun diri. Mereka juga menyatakan akan menjadi penjamin bagi para tahanan politik yang masih dipenjara.

Para tahanan politik ini ditahan dengan kondisi makan dan tidur seadanya. Syahdan Husein, salah satu tahanan politik pernah memutuskan untuk mogok makan di dalam penjara, sebagai bentuk protes atas penangkapan ini.
Dari seluruh aktivis yang ditahan, empat diantaranya, Delpedro Marhaen, Syahdan Husein, Muzaffar Salim, dan Khariq Anhar. Mereka ditahan karena dianggap telah melakukan ‘penghasutan’ saat aksi demonstrasi bulan Agustus dan September 2025 lalu.
Baca Juga: #ResetIndonesia: Eskalasi Aksi dan Brutalitas Aparat 25 Agustus-1 September, di Mana Muara Persoalannya?

Para musisi hadir di Polda Metro Jaya bersama KontraS dan Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) dan sejumlah jaringan masyarakat sipil lainnya. Total berjumlah sekitar 30 orang, untuk menjadi penjamin penahanan sekaligus menunjukkan dukungan moral terhadap para tahanan.
“Kami datang bukan hanya sebagai musisi, tapi sebagai warga negara yang peduli. Mereka ditahan hanya karena menyampaikan aspirasi masyarakat, sesuatu yang dijamin oleh konstitusi,” ujar Cholil Mahmud saat menyampaikan keterangannya.
Dalam kunjungan solidaritas tersebut, para musisi dan aktivis bertemu langsung dengan para tahanan. Salah satu tahanan politik dan Direktur Lokataru, Delpedro telah memasuki hari ke-37 masa penahanan dan tengah menunggu proses praperadilan. Sementara Syahdan, Khariq, dan Muzaffar ditahan di blok terpisah.
Sebanyak 27 orang tahanan di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya beberapa hari sebelumnya telah membentuk sebuah serikat. Mereka menamakan diri sebagai Serikat Tahanan Politik Indonesia pada 4 Oktober 2025. Mereka membentuk serikat tersebut setelah salah satu tahanan mengalami penyiksaan di dalam rumah tahanan. Serikat tersebut diketuai oleh aktivis Gejayan Memanggil, Syahdan Husein. Ia ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penghasutan terkait dengan demonstrasi Agustus 2025 dan telah ditahan sejak awal September 2025.
Tujuan dari Serikat Tahanan Politik Indonesia adalah menyerap aspirasi anggota serikat tahanan politik selama proses hukum berlangsung.
Baca Juga: Mogok Makan di Balik Jeruji Penjara, Syahdan dan 16 Aktivis Muda Protes Penangkapan Mereka
“Sebelum ada serikat, hak-hak politik mereka sulit terpenuhi. Setelah bersatu dan menyuarakan kebutuhan bersama, baru ada tanggapan. Kesadaran kolektif ini penting untuk memperkuat posisi tahanan politik di seluruh Indonesia,” ujar Cholil.
Dengan terbentuknya Serikat Tahanan Politik Indonesia, sejumlah mantan Tahanan Politik (Tapol) dan Narapidana Politik (Napol) korban kekuasaan otoriter di Indonesia lainnya, juga menyatakan mendukung dan menyambut baik terbentuknya Serikat Tahanan Politik Indonesia serta ajakan untuk membentuk Serikat Tahanan Politik Indonesia di berbagai daerah di Indonesia.
Mereka antara lain ara Mantan Tapol/Napol, yaitu Tri Agus Siswa Santoso (Mantan Napol Yayasan Pijar), Petrus H. Harianto (Mantan Tapol PRD), Wilson Obrigados (Mantan Tapol PRD), Ken Budha Kusumandaru (Mantan Napol PRD), Surya Anta (Mantan Napol Papua), Fauzi Isman (Mantan Tapol kasus Talangsari Lampung). Lalu Ambrosius Mulait (Mantan Napol Papua), Suroso (Mantan Napol PRD), Victor Yeimo (Tapol Papua), Isti Nugroho (Mantan Napol Buku Pramoedya) dan Coen Husain Pontoh (Mantan Napol PRD)
Baca Juga: Demokrasi Hari Ini, Mengapa Para Aktivis Laki-laki Bergabung di Pemerintahan Prabowo?: Wawancara Made Tony Supriatma
Para aktivis yang mantan Tapol dan Napol ini mengecam polisi yang mengintimidasi korban saat pemeriksaan dan melakukan berbagai tindak kekerasan selama proses interogasi. Menuntut penghentian kriminalisasi atas aktivis dan pembebasan seluruh tahanan politik tanpa syarat.
Selama aksi 25 Agustus-1 September 2025, Konde.co mencatat, terdapat 10 orang meninggal, 3.337 orang ditangkap polisi. 1.042 orang luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit, 20 dari 23 orang masih hilang, 60 kasus kekerasan menimpa jurnalis.
Dengan deretan angka tersebut, Presiden RI Prabowo Subianto justru memberikan kenaikan pangkat bagi para anggota kepolisian yang terlibat dalam kekerasan saat unjuk rasa. Serta menyatakan bahwa aksi-aksi yang terjadi merupakan indikasi “makar dan terorisme”. Tanpa sedikit pun permintaan maaf kepada keluarga korban yang tewas dibunuh aparat, kelompok marginal yang kian tertindas, dan masyarakat yang dihantui ketakutan. Hingga saat ini, Jakarta dan sejumlah kota lainnya di Indonesia masih berstatus siaga 1. Dengan polisi dan tentara yang ‘mengepung’ kota dan kian menekan rakyat sipil, dan warga masih marah.
Baca Juga: Ramai-ramai Sweeping Campaigner dan Aktivis di Medsos: Bapak Aparat, Stop Kriminalisasi

Cholil dan para penjamin aktivis menilai tren ini menunjukkan peningkatan represi terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia.
Mereka juga mengungkapkan kekhawatiran atas penggunaan teknologi digital oleh aparat untuk melakukan pelacakan dan penangkapan berbasis data perangkat dan akun pribadi warga.
“Ada kawan yang datang menjenguk solidaritas, malah ikut dicokok. Ini menandakan teknologi digital digunakan untuk menyapu siapa pun yang dianggap berbeda pandangan dengan pemerintah. Itu sudah melanggar hak privasi dan hak asasi manusia,” tegas Cholil.

Berdasarkan catatan tersebut, dengan ini koalisi musisi dan masyarakat sipil menyampaikan tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan mereka antara lain segera bebaskan seluruh tahanan aktivis pro demokrasi, termasuk Del Pedro, Syahdan, Kharik, dan Muzaffar, tanpa syarat. Lalu menuntut untuk hentikan kriminalisasi dan sweeping digital terhadap warga yang mengekspresikan pendapatnya. Hormati dan penuhi hak-hak dasar serta politik para tahanan, termasuk kebebasan berorganisasi di dalam penjara. Selain itu, publik juga diimbau untuk terus menunjukkan solidaritas kepada para aktivis yang ditahan.
“Kawan-kawan di dalam sangat membutuhkan dukungan moral dari luar. Semakin banyak solidaritas publik, semakin besar harapan untuk membebaskan mereka,” ujar Cholil kembali.
Baca Juga: Aktivisme di Media Sosial Jangan Disandera Penokohan Influencer
Para musisi menegaskan bahwa upaya penindasan dan kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi hanya akan menimbulkan ketakutan publik, namun solidaritas yang terus tumbuh akan menjadi kekuatan perlawanan baru.
“Pemerintah boleh mencoba menakut-nakuti, tapi keberanian rakyat harus lebih besar. Hanya dengan bersatu dan terus berdiskusi, kita bisa melawan ketakutan itu dan memperjuangkan kebebasan bersama,” pungkas Cholil sebagai penutup pembacaan pernyataan bersama di Polda Metro Jaya.






