Konde.co menyajikan kamus feminis sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata feminis agar lebih mudah dipahami pembaca.
Perkosaan adalah sebuah terminologi feminis sebagai penundukan pada tubuh perempuan.
Feminisme tidak melihat perkosaan sebagai tindakan kriminal tunggal yang didasari hasrat seksual. Bagi feminisme, perkosaan adalah tindakan politik yang mencerminkan dan memperkuat struktur kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Ia adalah alat patriarki untuk menundukkan perempuan.
Pemerkosaan sesungguhnya merefleksikan dominasi, kontrol, dan kekuasaan laki-laki atas tubuh perempuan. Dari perspektif feminis, hal ini adalah alat kekuasaan yang dilembagakan dalam sistem patriarki. Ia juga digunakan untuk menegaskan hierarki gender yang menempatkan perempuan di posisi subordinat.
Feminis Susan Brownmiller dalam bukunya, ‘Against Our Will’ (1975), menjelaskan bahwa pemerkosaan adalah cara laki-laki menakut-nakuti perempuan. Ini dilakukan laki-laki demi memastikan bahwa perempuan, “Tetap berada di tempatnya.” Maka pemerkosaan bukan ‘hanya’ merupakan kekerasan terhadap individu perempuan, ia menjadi taktik sosial yang digunakan untuk mengontrol—khususnya perempuan, umumnya masyarakat—secara kolektif.
Berbagai peristiwa perkosaan atas perempuan dalam sejarah Indonesia menjadi contohnya. Mengapa banyak perempuan menjadi korban pemerkosaan, penganiayaan, hingga pembunuhan dalam peristiwa pasca-1965 dan Tragedi Mei 1998? Mengapa dalam peristiwa pasca-1965, kebanyakan perempuan yang jadi korban adalah mereka yang dituduh sebagai Gerwani, juga dalam peristiwa Mei 1998, korbannya adalah para perempuan dari komunitas Tionghoa?
Baca juga: 27 Tahun Berlalu, Kami Masih Menuntut Keadilan Perkosaan Mei 1998
Feminisme menunjukkan bahwa dalam masyarakat patriarkal, tubuh perempuan adalah wilayah politik: ia diatur, diawasi, dinilai, dan dimiliki. Pemerkosaan pun digunakan sebagai sarana untuk menegaskan hak kekuasaan atas tubuh perempuan. Konteksnya bisa beragam; mulai dari konteks domestik hingga politik, seperti dalam perang, konflik kekuasaan, dan sebagainya. Taktik kontrol kolektif itu pun tidak melulu menggunakan cara pemerkosaan massal. Kekerasan seksual terhadap 1-2 sosok perempuan juga dapat dilihat sebagai bentuk teror dan ancaman terhadap kelompok perempuan dan masyarakat pada umumnya.
Pemerkosaan juga bukan ‘sekadar’ kasus kriminal, lapisan kekerasan bisa terjadi dalam sebuah kasus pemerkosaan. Mulai dari perkosaan itu sendiri, stigma masyarakat terhadap perempuan korban atau penyintas, lemahnya penegakan hukum untuk melindungi korban dan menghukum pelaku, bahkan hingga kekerasan berulang yang justru dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap korban. Oleh karena itu, pemerkosaan lebih tepat disebut sebagai kekerasan sistemik.
Disebut sistemik karena perkosaan tak bisa lepas pula dari budaya perkosaan (rape culture) yang masih dianggap lumrah di kalangan masyarakat. Feminisme mengkritik rape culture, suatu sistem budaya yang menormalkan kekerasan seksual, menyalahkan korban (victim blaming), mengabaikan persetujuan (consent), serta menggambarkan pemerkosaan sebagai hal kecil atau sepele. Budaya perkosaan menjadi bagian dari alat sistemik untuk membungkam perempuan dan mempertahankan dominasi patriarki.
Selain itu, feminisme juga menyoroti bahwa institusi seperti hukum, polisi, media, dan keluarga kerap tidak berpihak pada korban. Malah, kehadiran mereka memperkuat ketimpangan gender dan merintangi jalan korban untuk mendapatkan keadilan. Ini bisa dilihat dari penolakan untuk mempercayai korban, serta proses hukum yang menyiksa. Atau narasi media yang membela pelaku. Hal-hal tersebut merupakan bagian dari dominasi struktural yang membuat pemerkosaan terus terjadi.
Keluarga, sekolah, tempat kerja, bahkan lembaga keagamaan pun kadang ikut melindungi pelaku dan membungkam korban demi menjaga ‘nama baik’. Negara juga sering abai dalam melindungi dan memulihkan korban, serta enggan membuat kebijakan yang berpihak pada korban. Inilah yang membuat pemerkosaan menjadi kejahatan sistemik.
Feminisme Menyoroti Kekerasan Interseksional
Feminisme juga melihat pemerkosaan sebagai kekerasan seksual yang interseksional. Ia tidak hanya merupakan bagian dari patriarki, tetapi juga melambangkan kekerasan berbasis latar belakang perempuan.
Menurut bell hooks, kekerasan seksual sangat dipengaruhi oleh pendekatan interseksional. Pengalaman kekerasan seksual tidak bisa dilepaskan dari konteks ras, kelas, gender, dan posisi sosial lainnya. Pada dasarnya, pengalaman perempuan sendiri tidak bisa sepenuhnya dilihat sebagai satu kesatuan. Perbedaan pengalaman perempuan dalam berbagai hal, termasuk kekerasan, tergantung dari posisi mereka dalam sistem sosial. Semakin banyak lapisan sosial perempuan, semakin tinggi kerentanannya mengalami kekerasan.
bell hooks menilai, perempuan kulit hitam, perempuan miskin, dan perempuan dari kelompok marginal mengalami pemerkosaan dalam konteks yang jauh lebih kompleks dan berlapis. Artinya, selain patriarki, perempuan-perempuan tersebut juga berada di bawah struktur kekerasan yang lain: rasisme, klasisme, dan sebagainya. ‘Struktur kekerasan’ berarti bahwa kekerasan itu tidak berhenti pada pelaku, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat serta sistem dan institusi yang menangani kasusnya. Seperti polisi, pengadilan, dan media.
Dalam bukunya ‘Ain’t I A Woman? Black Women and Feminism’, bell hooks menjelaskan sejarah kolonialisme dan perbudakan di Amerika. Pada saat itu, tubuh perempuan kulit hitam dijadikan objek eksploitasi seksual dan kekuasaan rasial. Oleh karena itu, pemerkosaan terhadap perempuan kulit hitam bukan hanya tindakan patriarki. Tetapi juga alat supremasi kulit putih dan dominasi ekonomi. Ini menunjukkan bahwa pemerkosaan tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial yang kompleks dan berlapis-lapis.
Hal itulah yang terjadi dalam kasus pemerkosaan massal Mei 1998. Perempuan mengalami kekerasan seksual, bahkan dibunuh setelahnya, karena pelaku menyasar komunitas etnis Tionghoa. Sedangkan dalam peristiwa pasca-1965, banyak perempuan diperkosa dan dibunuh karena dicap Gerwani. Label tersebut dijadikan momok karena Gerwani adalah gerakan perempuan ‘kiri’ yang progresif dalam melawan penindasan terhadap perempuan.
Baca juga: Baca juga: Mei 1998, Sejarah Hitam Perempuan Dalam Tragedi Perkosaan
Bukan cuma soal identitas mereka sebagai perempuan; pemerkosaan dalam dua kasus itu menunjukkan bahwa ada agenda rasisme dan politik yang lebih besar dan terstruktur. Sejarah dunia juga mencatat pemerkosaan terhadap perempuan sebagai bagian dari cerita-cerita perang, penjarahan, dan konflik. Tubuh perempuan kerap dijadikan objek penindasan dan tanda penguasaan dalam konteks yang lebih luas.
Tentu saja kasus pemerkosaan tidak hanya terjadi dalam dua tragedi tersebut. Ia terjadi setiap hari sampai detik ini. Kadang disampaikan dengan narasi yang keliru, sering kali dibantah atau justru dianggap wajar oleh masyarakat patriarki dan misoginis. Masyarakat meragukan cerita korban karena ‘tidak ada saksi’, dianggap ‘mau sama mau’, ‘mengada-ada dan berlebihan’, atau membungkam korban karena ‘merusak nama baik seseorang’.
Kini kesadaran mengenai keadilan gender dan kekerasan seksual kian meluas. Meski stigma dan penghakiman terhadap korban masih terjadi, paling tidak makin banyak orang yang terpapar informasi mengenai pemerkosaan sebagai sebuah bentuk kekerasan seksual yang nyata. Dalam ‘tumpahan’ cerita-cerita kasus pemerkosaan di media sosial, banyak yang bersimpati. Banyak pula yang kontan mengutuk pelaku, membuka identitasnya, dan mendesak hukuman seberat-beratnya.
Hal itu juga penting. Pelaku pemerkosaan kerap menggunakan kekuasaan dan status sosial sebagai tameng impunitas dari hukum. Maka kecaman dari masyarakat mesti mampu menyeretnya pada hukuman yang setimpal. Namun, secara beriringan, akan lebih baik jika masyarakat diajak untuk memahami pula tentang relasi kuasa serta memastikan hadirnya perlindungan bagi korban atau penyintas.
Baca juga: Aktivis Perempuan: Stop Kekerasan Berulang Pada Korban Perkosaan, Jangan Bungkam Media!
Pembelajaran mengenai konsep consent yang tidak mutlak harus termaktub dalam pemahaman itu. Dengan demikian, masyarakat sadar bahwa pemerkosaan bukan sekadar soal pertanyaan, “Kenapa korban tidak menolak?” Sebagai kekerasan berlapis, menghentikan pemerkosaan juga berarti mendesak penegakan hukum yang adil gender dan memutus rape culture.
Perlindungan, pemulihan, dan penghargaan terhadap korban juga harus menjadi prioritas. Dalam sejarah, patriarki dan penguasa kerap membuat luka korban pemerkosaan tak kunjung sembuh dengan melekatkannya pada stigma berkepanjangan, mengabaikan perlindungannya, membiarkan pelakunya berkeliaran bebas, bahkan menghapus kisahnya dari narasi sejarah dominan. Pemerkosaan harus berhenti; bukan hanya pada perbuatannya, tetapi juga pada sistem yang senantiasa membuatnya terus terjadi.
(Editor: Luviana Ariyanti)






