Data BPS Sebut Perempuan Diupah Lebih Kecil Dibanding Laki-laki, Padahal Banyak Female Breadwinners

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data upah buruh, dimana buruh laki-laki upahnya lebih tinggi dibanding buruh perempuan. Ini menunjukkan adanya stereotipe gender dan domestikasi yang melanggengkan diskriminasi upah.

Seorang pekerja media SG, mengalami diskriminasi upah di media tempatnya bekerja selama 5 tahun, yaitu dari tahun 2014-2019.

Pasca munculnya data terbaru BPS (2025), dia merasa bahwa pengalaman buruknya ini difalidasi oleh data.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini menunjukkan bahwa buruh perempuan seolah “selalu” dianggap lajang dan tak ada tanggungan. Padahal banyak dari mereka yang menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga atau female breadwinners.

Realita itu sesuai dengan rilis data Badan Pusat Statistika (BPS) bertajuk ‘Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2025’. Disebutkan, upah buruh rata-rata pada Februari 2025 sebesar Rp 3,09 juta. Pada buruh laki-laki rata-rata upahnya Rp 3,37 juta. Sedangkan, buruh perempuan sebesar Rp 2,61 juta. 

Rata-rata upah buruh tertinggi ada pada sektor usaha pertambangan dan penggalian yaitu sebesar Rp 5,09 juta. Sementara upah terendah ada pada sektor aktivitas jasa yaitu Rp 1,81 juta. 

Selama periode Februari 2024-Februari 2025, data BPS  juga menunjukkan temuan perubahan upah buruh menurut lapangan usaha. Sektor yang paling tinggi mengalami kenaikan upah buruh (8,96%) yaitu konstruksi. Sedangkan, sektor yang paling tajam penurunan upah buruhnya adalah sektor informasi dan komunikasi (-12,78%). 

Ditelusuri dari situs resmi BPS, data soal kesenjangan upah buruh berbasis gender ini untuk pertama kalinya dirilis di tahun 2025 ini. Sebab, data serupa tidak ditemukan pada tahun lalu, sepuluh tahun lalu, dan sebelum-sebelumnya. Selama bertahun-tahun sebelum 2025, data rata-rata upah buruh hanya disajikan berdasarkan atas wilayah (provinsi). 

Baca juga: Upah Tak Cukup, 76 Persen Buruh Terjerat Hutang Rentenir Modern

Selain soal kesenjangan upah buruh perempuan, temuan dari data BPS yang patut direfleksikan adalah temuan soal meningkatnya pekerja informal. Pada Februari 2025, penduduk bekerja pada kegiatan informal sebanyak 86,58 juta orang (59,40%), sedangkan yang bekerja pada kegiatan formal sebanyak 59,19 juta orang (40,60%). Dibandingkan Februari 2024, persentase penduduk bekerja pada kegiatan formal mengalami penurunan sebesar 0,23 persen poin. Berdasarkan kriteria BPS, buruh informal ini mencakup kegiatan berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/pekerja keluarga/tidak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga/tidak dibayar. 

Kepala BPS, Amelia Adininggar Widyasanti mengatakan bahwa peningkatan buruh informal ini terjadi terutama didorong oleh bertambahnya penduduk yang berusaha dibantu buruh tidak tetap. 

“Kenaikan pekerja informal salah satunya terkait dengan peningkatan perempuan yang bekerja, utamanya di lapangan usaha perdagangan eceran makanan, industri pengolahan makanan dan penyediaan makanan minuman,” ujar Amelia dalam paparan yang ditayangkan daring di kanal Youtube BPS, pada 5 Mei 2025. 

Pada Februari 2025, tingkat pekerja paruh waktu perempuan (36,66%) juga lebih tinggi dibanding pekerja paruh waktu laki-laki (18,55%). Dibandingkan Februari 2024, tingkat pekerja paruh waktu perempuan mengalami peningkatan sebesar 0,19 persen poin. Sedangkan, laki-laki mengalami penurunan sebesar 0,41 persen poin. 

(Informalisasi pekerjaan buruh perempuan. Sumber: BPS) 
Cerita Buruh Perempuan yang Diupah Lebih Murah

Lebih dari satu dekade berlalu, situasi buruh perempuan yang diupah lebih murah nyatanya masih terjadi. 

Hal ini ditunjukkan oleh SG, pekerja media perempuan, yang turut mengalami kesenjangan upah berbasis gender pada kisaran tahun 2014-2019. Pasca munculnya data terbaru BPS (2025), dia merasakan bahwa pengalamannya sebagai buruh perempuan yang diupah lebih murah divalidasi oleh data.   

Pada saat itu, SG bekerja di sebuah koran lokal di Nusa Tenggara Barat (NTB). Diskriminasi upah yang dialami SG, bermula saat upah yang diterima pekerja di kantornya itu ditentukan dari jumlah berita yang “tembus” tayang di koran. Per 50 berita tiap bulan, pekerja diupah Rp 300 ribu. 

Masalahnya, standar bisa “tembus” tayang di medianya adalah mesti mengutip pernyataan dari pemerintah setempat. Jika tidak, maka siap-siap naskah beritanya ditolak. 

Sebagai satu-satunya pekerja perempuan di redaksi, SG ditugaskan untuk khusus meliput isu perempuan dan anak. Desk yang terbilang sulit, jika hanya mengandalkan dari pernyataan pemerintah setempat, dikarenakan liputannya lebih kepada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Disamping kuantitasnya tidak tentu, perspektifnya pun harus berperspektif korban. Bukan dari perspektif pemerintah seperti “permintaan” kantornya. 

Sementara rekan laki-lakinya yang lain, memiliki keleluasaan untuk bisa nge-pos ke isu politik, kriminal, pendidikan dll, yang relatif lebih gampang untuk bisa mendapatkan pernyataan dari pihak pemerintah. 

“Gak banyak beritaku yang tayang, itu yang bikin upahku lebih rendah,” cerita SG kepada Konde.co melalui sambungan telepon, Kamis (29/5). 

Dalam sebulan, SG hanya sanggup “tembus” sekitar 20 hingga 30-an berita. Dengan kata lain, upahnya pun saat itu tidak sampai Rp 300 ribu. Jumlah itu sangat timpang dibandingkan rekan kerjanya yang lain, yang semuanya laki-laki, bisa “tembus” lebih dari 100 berita per bulan. Sehingga, mereka bisa mengantongi minimal Rp 600 ribu per bulan. 

Baca juga: Riset AJI Jakarta: Ada Praktik Ketimpangan Upah antara Jurnalis Perempuan dan Laki-laki 

Upah yang dikantongi rekan kerja laki-lakinya itu, belum termasuk komisi jika bisa menarik iklan (advertorial) dari pemerintah yang berkaitan dengan isu yang diliput. Komisinya bisa berpuluh persen dari iklan yang masuk. 

“Yang laki-laki banyak yang dapat 100 berita lebih (perbulan), selain itu juga ‘tempat basah’ isu-isu yang mereka liput itu,” katanya. 

Adanya stereotip gender yang mengkonstruksikan bahwa perempuan seperti SG mestinya hanya mengurusi peliputan ‘perempuan dan anak’ ini, adalah bentuk domestikasi dalam kerja-kerja jurnalistik. 

Sistem kerja yang eksploitatif dan tidak adil gender, memperparah ini. Peliputan soal isu perempuan dan anak yang mayoritasnya tentang kasus kekerasan yang membutuhkan perspektif dan proses panjang untuk consent, menjadikan SG harus bekerja ekstra keras. Namun sayangnya, kerja-kerjanya justru hanya dilihat secara kuantitas sebagai penentu upah. Sebagaimana istilah yang biasa dipakai ‘Budak Korporat” kira-kira begini: “Kerja keras bagai kuda, upahnya bercanda”.  

Selain soal upah, ekosistem medianya yang tak ramah gender juga ditunjukkan dengan tidak adanya pemenuhan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi. Tidak ada cuti haid. Dia masih harus bekerja seperti biasa seperti rekan laki-lakinya, bahkan saat dia saat itu haid di hari pertama. 

Dikarenakan kerja di koran yang tayang pukul 12 malam, SG pun harus menempuh jam kerja yang panjang. Jika dia harus mendatangi agenda peliputan sejak pagi, maka bisa dipastikan jam kerjanya sampai lebih dari 12 jam. Tidak ada upah lembur. 

Meski kerja-kerja peliputannya berisiko, SG juga tidak mendapatkan jaminan kesehatan (sekarang BPJS Kesehatan). Kerjanya tidak pula dilindungi oleh standar prosedur operasional (SOP) anti kekerasan berbasis gender. 

“Jangankan ada SOP, meski sudah kerja 5 tahun aja aku gak pernah dapat kontrak kerja,” ucapnya getir. 

Baca juga: Pertamakali Dunia Memperingati Hari Kesetaraan Upah: Stop Diskriminasi Upah Perempuan

Selira Dian, Koordinator Divisi Gender dan Inklusi Sosial SINDIKASI, juga mengungkap pengalaman soal diskriminasi upah yang dialami buruh perempuan di industri kreatif dan media. Salah seorang teman perempuannya, sebut saja Anggi,  pernah melakukan konfrontasi kepada teman laki-laki yang bekerja di kantor sama soal gaji yang diterima. Faktanya, buruh laki-laki diupah lebih tinggi dibandingkan buruh perempuan. 

“Dia dan teman laki-lakinya latar belakang pendidikannya sama, S1, terus masa kerjanya sama 3 tahun. Tapi setelah jujur-jujur-an gaji, eh ternyata bedanya jauh sama dia (buruh perempuan),” cerita Dian ketika dihubungi Konde.co, Rabu (28/5). 

Tak lama kemudian, Anggi meminta penjelasan kepada HRD di tempatnya bekerja. Mengapa gajinya bisa berbeda dengan teman laki-lakinya? Padahal dari segi latar belakang, pekerjaan, dan masa kerjanya sama. 

“Terus HRD bilang, ya karena teman kamu itu laki-laki dan sudah menikah. Jadi, dia kepala rumah tangga. Sementara, kamu perempuan dan kamu belum menikah. Alasannya itu,” lanjut Dian yang menirukan perkataan Anggi. 

Berdasarkan penjelasan HRD, kebijakan yang ditetapkan kantor soal perbedaan upah berbasis gender itu, mengacu pada aturan pemerintah yaitu UU Perkawinan. Pada UU No. 1/1974 (UU Perkawinan) pasal 34 (1) dan (2) disebutkan, “suami wajib memberi nafkah kepada istri dan istri wajib mengurus rumah tangga”. 

Imbasnya, itu bisa berpotensi menimbulkan bias gender terutama di dalam hal “pengupahan”. Dikarenakan, adanya komponen tunjangan keluarga, maka upah laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Sebab, laki-laki “selalu” dianggap sebagai kepala keluarga. Padahal realitanya, bisa jadi tidak seperti itu: banyak juga perempuan yang menjadi kepala keluarga, single parent, generasi sandwich, atau lajang namun harus tetap menghidupi keluarga. 

“Perempuan itu, (seolah) dilihat kerja itu cuma main-main doang, sementara laki-laki itu kelihatannya mencari nafkah untuk keluarga,” katanya. 

Baca juga: “Negara Harus Hadir” Ribuan Ojol Demo Tuntut Kesejahteraan Sampai Hapus Skema Diskriminatif

Menyoal UU Perkawinan yang dijadikan landasan dalam pengupahan yang tidak adil bagi perempuan, aktivis perempuan dari LBH Apik, Nursyahbani Katjasungkana pernah berpendapat yang dimuat di Hukum Online. Dia menilai, pembentukan UU Perkawinan sangat ambivalen dan bias gender dalam menentukan kedudukan dan peran perempuan dan laki-laki dalam keluarga. “…Sangat kaku peran masing-masing, suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.”  

Nursyahbani menegaskan, ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUP tersebut tidak ada hubungannya dan kurang tepat jika dihubungkan dengan pemberian upah terhadap laki-laki dan perempuan sebagai buruh. Ketentuan tersebut berlaku terkait dengan hak dan kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga dalam ranah hukum perkawinan. Sedangkan, masalah upah buruh diatur dalam UU Ketenagakerjaan (saat itu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan/UUK, yang kemudian menjadi UU Ciptaker).

Dalam UU ketenagakerjaan, berlaku prinsip dan asas non-diskriminasi. Pada Pasal 6 UUK ditegaskan bahwa setiap buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. Pada UU Ciptaker, pasal itu tidak direvisi yang artinya mestinya tetap berlaku.  

Pada pengaturan dalam Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”) yang berlaku sejak 1981, juga ditekankan bahwa pengusaha dalam menetapkan upah tidak mendiskriminasi antara buruh laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya. Dengan begitu, semestinya tidak ada dalih yang bisa diterima ketika ada kesenjangan upah yang diberlakukan oleh perusahaan. 

Female Breadwinners, Perempuan Sebagai Pencari Nafkah Utama

Anggapan kepala keluarga itu “selalu” laki-laki, terpatahkan oleh banyaknya realitas perempuan yang faktanya jadi pencari nafkah utama. Bukan omon-omon, ini secara terang benderang ditunjukkan oleh data BPS tadi.

Jika dihitung, per 2024, ada senilai 14,37% atau setara 1:10 pekerja perempuan di Indonesia merupakan female breadwinners. Female breadwinners di Indonesia memegang peran krusial dalam perekonomian keluarga. Bahkan dalam laporan BPS, 47,65% menyumbang 90-100 persen dari total pendapatan keluarga dan menjadikan mereka satu-satunya sumber nafkah. Tingginya ketergantungan rumah tangga pada pendapatan perempuan ini mencerminkan perubahan peran ekonomi.

Senada dengan data, female breadwinners justru paling banyak secara administratif posisinya adalah sebagai istri yaitu 40,77%. Lalu, disusul yang memang sebagai kepala keluarga 39,82%. Sisanya ada anak, menantu, cucu, orang tua atau kerabat lainnya.

Angka terbesar ada di kelompok usia 60 tahun ke atas dengan 17,9%. Disusul oleh kelompok usia produktif 30 sampai 59 tahun dengan presentasi merata di atas 10%.

“Tidak hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan pribadi, mereka juga menanggung biaya hidup anggota keluarga lainnya, baik sebagai pencari nafkah utama maupun satu-satunya. Peran mereka sebagai tulang punggung keluarga menunjukkan perubahan dalam dinamika ekonomi rumah tangga serta tantangan yang dihadapi perempuan dalam dunia kerja dan kehidupan keluarga,” jelas BPS dalam laporan.

Female breadwinners tertinggi ada di Provinsi DKI Jakarta dan terendah di Provinsi Papua Pegunungan. Sebanyak 47,53% bekerja dengan membuka usaha perorangan, lalu sisanya sebagai karyawan dan freelancer. Sektor pekerjaannya sendiri berbagai macam, paling banyak di perdagangan, kemudian sektor pertanian dan industri pengolahan, akomodasi, pendidikan dan lainnya.

Baca juga: Riset AJI: Perusahaan Media Diskriminatif, Jurnalis Perempuan Diupah Lebih Rendah

Di tengah realitas banyaknya female breadwinners di Indonesia, buruh perempuan masih harus mendapati belenggu multidimensi. Tak hanya kesenjangan upah, namun juga masih sering menjadi korban diskriminasi, stereotip gender, kurangnya akses terhadap teknologi,  serta beban ganda sebagai pencari nafkah sekaligus ibu rumah tangga yang dituntut tetap menjalankan peran domestiknya.

Institute of Development Studies (IDS) dalam laporannya tahun 2016 menyebutkan, secara global, perempuan melakukan sekitar 75 persen dari total pekerjaan perawatan dan pekerjaan rumah tangga (unpaid care and domestic work). 

Hal tersebut berakibat kurang baik pada berbagai aspek kehidupannya. Perempuan rentan mengalami kelelahan fisik, emosional serta mental akibat tanggung jawab ganda (multiple burdens). Perempuan juga harus menghadapi tuntutan pekerjaan, tanggung jawab mengelola tugas domestik, pengasuhan serta ekspektasi masyarakat seputar gender.

Untuk itu kebijakan untuk mendorong pembagian kerja yang setara dalam rumah tangga perlu digalakkan, karena hal ini berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental female breadwinners. Sebagai contoh, kebijakan terkait regulasi di pasar tenaga kerja agar laki-laki dapat secara sah mengambil waktu istirahat (cuti) untuk berpartisipasi lebih aktif dalam pekerjaan rumah tangga juga menjadi penting. 

Selain itu, penting juga untuk kita terus mendesakkan kesetaraan upah dan menghapus diskriminasi upah pada buruh perempuan. Itu sebagaimana, Organisasi Buruh Internasional (ILO) sudah mengatur mengenai persamaan upah untuk buruh atau pekerja dengan jenis pekerjaan yang sama dalam Konvensi 100/1951 dan Indonesia sudah meratifikasi konvensi tersebut dalam Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957. 

Nurul Nur Azizah

Redaktur Pelaksana Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!