“Ojol bersatu tak bisa dikalahkan”
“Ojol bersatu tak bisa dikalahkan”
Seorang perempuan pengemudi ojol terus menggemakan kalimat itu. Dia berdiri di barisan paling depan bersiap menyampaikan orasinya.
Dia membuka dengan pernyataan soal situasi kesejahteraan pengemudi ojol yang timpang. “Aplikator dapat keuntungan sebesar-besarnya, pengemudi dapat kebuntungan,” ujarnya yang disambut riuh massa aksi.
Orator perempuan itu kembali membakar semangat massa aksi dengan menyebut, pengemudi ojol lah, pemilik alat produksi. Mereka yang selama ini, harus bekerja keras meski tanpa jaminan perlindungan. Belum lagi, mereka harus menanggung potongan besar dan skema diskriminatif. Tapi, aplikator yang hanya memiliki aplikasi justru bisa menikmati keuntungan luar biasa.
Ia lantas mempertanyakan, ketidakhadiran negara dalam memberikan keadilan bagi mereka. Padahal, kontribusi mereka begitu besar kepada negara. Di tengah sistem kerja gig economy, menempatkan mereka sebagai kemitraan yang mengabaikan hak perlindungan pekerja. Yaitu, tak adanya jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan yang memadai.
Baca Juga: Cerita 3 Ojol Perempuan: Ditolak Penumpang Laki-laki karena Bukan Muhrimnya Sampai Bias Algoritma
Mereka seperti “tersandera” dalam sistem kapitalis yang eksploitatif. Tenaga dan waktu mereka diperas habis-habisan, sementara upah dan perlindungan kerja begitu minim. Sistem yang dibuat aplikator juga membuat para mitra pengemudi ini lemah daya tawarnya.
“Maka, kami meminta kepada pemerintah hari ini, berilah keadilan pada ojol,” kata dia.
“Aplikator sudah merampok hak-hak pengemudi ojol yang memberikan kontribusi,” imbuhnya.
Tak lama berselang, orator di mobil komando (mokom) lainnya, turut bersuara dalam aksi yang mulai pukul 1 siang itu. Dia meluapkan kekesalannya karena negara absen untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka.
Baca Juga: Jalan Terjal Ojol Perempuan, Bertaruh Pada Panas Aspal dan Algoritma: Hasil Riset Konde.co (1)
Sudah melakukan aksi sejak 2017, orator itu, mempertanyakan jika suaranya tak pernah didengar. Bahkan yang hadir di aksi, selama ini, tak ada dari kalangan pembuat kebijakan dan pengambil keputusan. Suara mereka seperti menguap begitu saja, seperti asap knalpot yang lalu lalang di aspal yang mereka tapaki.
“Saya ingin yang hadir itu, pengambil keputusan. Jangan yang hadir itu orang yang bilang ‘nanti kami sampaikan ke pimpinan’. Capek, capek, capek, sudah dari 2017 sampai detik ini, nol besar,” kata dia dengan nada yang meninggi.
“Negara harus hadir!!! Negara harus hadir!!!” serunya.
Baca Juga: Jalan Terjal Ojol Perempuan, Bertaruh Pada Aspal dan Algoritma: Hasil Riset Konde.co (2)
Massa aksi yang sudah memadati area dekat patung kuda, turut meneriakkan seruan itu. Mereka juga tampak membentangkan baliho serta poster-poster tuntutan aksi.
Ribuan massa aksi pengemudi ojol sudah berdatangan sejak tengah hari pada Selasa (20/5). Bahkan, ada yang sedari pagi. Sebagian mereka ikut dalam arak-arakkan massa aksi yang mendorong sepeda motor.
Aksi demonstrasi ini juga diiringi dengan pengemudi ojol melakukan off bid (mematikan layanan aplikasi) massal selama sehari penuh sebagai bentuk protes mereka atas pelanggaran regulasi yang dilakukan platform dengan pemotongan tarif tak masuk akal. Pemotongan komisi yang lebih tinggi dari 20% membuat pengemudi tidak mendapat perlindungan dan dirugikan.
Setidaknya ada 5 (lima) tuntutan utama dalam aksi ini. Di antaranya, mereka menyerukan potongan komisi maksimal 10%, penghapusan skema dan program diskriminatif seperti Argo Goceng (Aceng) Gojek, Grab Bike Hemat, Prioritas, sistem hub ShopeeFood, dll.
Baca Juga: Glass Ceiling Perempuan Pekerja: Distigma Tak Mampu Kerja, Dijerat Beban Ganda
Mereka juga menuntut Presiden & Menteri Perhubungan agar menjatuhkan sanksi tegas kepada perusahaan aplikasi yang melanggar regulasi Permenhub PM Nomor 12 Tahun 2019 dan Kepmenhub KP Nomor 1001 Tahun 2022. Regulasi ini mengatur jaminan keselamatan bagi pengguna sepeda motor.
Selain itu, mereka juga menuntut penetapan tarif layanan makanan & pengiriman barang secara adil. Hingga mendesak agar Komisi V DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) gabungan Kemenhub, Asosiasi, & Aplikator.
Dalih “Mitra” atau “Pekerja Di Luar Hubungan Kerja” Jadi Celah Pengabaian Hak
Aksi solidaritas pengemudi ojol turun ke jalan, adalah bentuk perlawanan buruh. Saat hukum perburuhan yang disusun negara, lebih mementingkan pengusaha (kapital), maka para buruh harus bersatu melawan segala bentuk pengabaian dan penindasan.
Fadhila Isniana, peneliti dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS Sedane) mengamini hal itu. Dia mengapresiasi aksi massa yang lahir dari kejengahan dan keresahan atas ketidakadilan buruh yang dikondisikan sebagai “kemitraan” ini.
“Terlebih yang ojol hadapi saat ini adalah pengusaha (kapital) yang memiliki hubungan baik dengan negara. Maka perlu untuk memperkuat solidaritas dan gerakan buruh ojol ketika hukum tidak berpihak kepada buruh. Salah satu caranya dengan melakukan aksi, turun ke jalan untuk menunjukkan kekuatan massa,” ujar Fadhila ketika dihubungi Konde.co, Selasa (20/5).
Baca Juga: Belajar dari Kasus NewJeans, Kelas Pekerja Gen Z Lawan Stigma dan Kekerasan di Tempat Kerja
Dia mengatakan, perjuangan ojol yang menuntut hak-haknya sejak bertahun-tahun silam, terlalu dini jika disebut tidak menghasilkan perubahan apapun. Paling tidak, kesadaran para pengemudi ojol yang disebut “mitra” bahwa mereka buruh yang terikat dengan pemenuhan hak ketenagakerjaan kini bisa kian masif.
Maka dari itu, aksi massa ini menjadi penting untuk menguatkan solidaritas. Utamanya, mendesakkan negara hadir dalam memberikan kesejahteraan dan jaminan perlindungan bagi mereka. Pengakuan sebagai buruh juga tak kalah penting.
“Ojol yang awalnya apolitis menjadi terpolitisasi atau mau tergerak untuk ikut dalam gerakan buruh ojol. Jadi, aksi buruh ojol bisa dikatakan sebagai agenda untuk pendidikan dan menggaet lebih banyak solidaritas buruh dalam gerakan buruh ojol. Meski tuntutannya lama dipenuhi, setidaknya gerakan buruh ojol semakin menguat. Ketika sudah menguat maka mereka punya kekuatan lebih untuk mempengaruhi kebijakan negara,” terang dia.
Baca Juga: Overwork Sampai Union Busting Menimpa Septia, Sutradara Film Sampai Jurnalis CNN
Fadhila menegaskan, negara selama ini cenderung abai terhadap kesejahteraan buruh. Regulasi yang dibangun cenderung memihak pengusaha seperti UU Cipta Kerja (Ciptaker). Dalam konteks ojol, negara justru mendukung pengusaha ride hailing.
“Dengan mengakui ojol sebagai mitra bukan buruh, atau yang terbaru adalah mengakui ojol sebagai pekerja diluar hubungan kerja. Dimana status “pekerja diluar hubungan kerja” ini justru melanggengkan kerja rentan dengan melepaskan tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi hak perburuhan (dalam konteks ini ojol). Artinya gak ada bedanya istilah tersebut dengan mitra,” tegasnya.
Selama ini, menurutnya, pemerintah hanya memberikan regulasi atau kebijakan palsu untuk ojol. Maka negara harus memihak kepada buruh ojol, dengan memenuhi tuntutan ojol serta tidak menghancurkan gerakannya. Contohnya, penjagaan ketat oleh aparat saat aksi, mempersulit ojol untuk membentuk serikat, pembentukan komunitas tandingan untuk membuat narasi yang meredupkan perjuangan dan perlawanan buruh ojol.
“Ini akan sulit dicapai selagi negara masih mendukung pengusaha, atau bahkan negara adalah bagian dari pemodal itu sendiri,” katanya.
Regulasi yang ada saat ini belum mampu melindungi buruh ojol, terutama ojol perempuan. Selagi negara tidak mengakui ojol adalah buruh, maka hak hak perburuhan buruh ojol tidak akan terpenuhi. Regulasi yang dibuat hanya memenuhi tuntutan pasar bukan buruh ojol.
“Maka perlu untuk mengakui ojol sebagai buruh agar mereka memiliki perlindungan hukum seperti buruh lain. Serta membuat regulasi bagi ojol yang belum ada dalam regulasi perburuhan saat ini misalnya pembentukan tempat istirahat untuk ojol dan toilet, aturan perlindungan bagi ojol perempuan, mengubah sistem gamifikasi atau algoritma yang merugikan buruh, dll,” kata dia.
Ojol Perempuan Alami Kerentanan Berlapis
Sedekade aplikasi ojek online (ojol) muncul di Indonesia. Seiring tahun, jumlah pengemudi ojek online terus meningkat, tercatat lebih dari 4 juta orang pada akhir 2024. Dari angka tersebut, sekitar 20% di antaranya adalah perempuan.
Pada April 2025, Konde.co melakukan riset terhadap 30 pengemudi ojol perempuan di 9 kota, antaralain di Sukabumi–Cianjur, Cilegon–Serang, dan wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabotabek). Riset ini untuk melihat persoalan gender dan maskulinitas kerja yang dialami ojol perempuan. Riset ini menunjukkan rentetan multidimensi persoalan yang saling silang berdasarkan gender, status keluarga, hingga kelas sosial yang dialami para ojol perempuan.
Sebagian besar pengemudi ojol perempuan yang mengikuti survei Konde.co berusia antara 35–44 tahun (46,7%) dan di atas 45 tahun (26,7%). Sementara hanya 3,3% berusia di bawah 25 tahun. Sekitar 40% responden berstatus menikah, 40% berstatus cerai, dan sisanya belum menikah.
Baca Juga: Stres dan Frustrasi di Dunia Kerja, Perempuan Bisa Keluar Kerja karena Kondisi Ini
Mayoritas (66,7%) memiliki anak yang tinggal bersama, dan 6,7% memiliki anak yang tidak tinggal bersama. Dari 40% yang berstatus janda, kebanyakan di antaranya (83,3%) adalah perempuan kepala keluarga yang memiliki anak untuk dinafkahi, sehingga dapat dilihat kebanyakan perempuan ojol dalam data ini menanggung beban mengurus keluarga.
Meski banyak anak yang menunggu cemas di rumah, para ibu yang berjuang di jalanan ini tidak terlindungi jaminan sosial. Hanya 23,3% responden yang memiliki jaminan sosial dan dari jumlah tersebut mayoritas (86,7%) bukan dari perusahaan aplikator. Artinya, perlindungan negara terhadap mereka sangat lemah.
Di luar jalanan, perempuan pengemudi menghadapi tuntutan domestik yang berat. Dari survei ditemukan hanya 2 responden yang melapor tidak punya beban rumah tangga. Sisanya membagi diri antara bekerja dan mengurus urusan lain: 20 orang (57,1%) harus urus anak sendirian, 10 orang (28,6%) urus rumah tangga/pekerjaan domestik, 3 orang (8,6%) merawat orang tua/lansia.
Data jam kerja harian dan penghasilan mempertegas kesenjangan. 53,3% perempuan bekerja 9–12 jam per hari dan 23,3% bahkan lebih dari 12 jam. Mayoritas ojol perempuan (60%) bekerja setiap hari tanpa libur (7 hari seminggu), sisanya sebagian besar bekerja 6 hari (26,7%).
Baca Juga: ‘Saya Masih Ngajar, Padahal Mau Lahiran, Sekarang Malah di-PHK’ Cerita Pedih Guru Honorer
Meskipun jam kerja sangat panjang, penghasilan harian bersih rata-rata mayoritas tetap rendah, 73,3% responden menerima penghasilan harian rata-rata di bawah Rp100.000 (13,3% di bawah Rp 50.000 dan 60% Rp50–100 ribu).
Beban-beban inilah yang membuat mayoritas (53,3%) sering mengalami burnout atau kelelahan luar biasa karena kerja ganda, 43,3% lainnya sesekali mengalami kelelahan luar biasa dan hanya 3,3% yang tidak pernah burnout.
96,6% merasakan efek kelelahan akibat menumpuknya tanggung jawab domestik dan kerja platform. Kondisi ini adalah bentuk nyata dari eksploitasi reproduktif, terlihat dari usaha pengasuhan anak, perawatan rumah, dan pemenuhan kebutuhan keluarga yang secara tradisional dibebankan kepada perempuan tak dihargai oleh sistem ekonomi dan malah dijadikan modal kerja tanpa kompensasi.
Sebagai perempuan dan sering kali kepala keluarga, mereka menghadapi diskriminasi gender di ruang publik dan tekanan ekonomi. Penghasilan rendah, jam kerja panjang, dan tanggung jawab domestik yang saling terikat. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan negara yang menganggap mereka sebagai “mitra”.
Pekerja perempuan ini mendapati diri mereka masuk dalam prekariat, berada di antara relasi kerja tidak jelas dan tanggung jawab domestik tak terbayarkan. Dengan demikian, kerentanan mereka bersifat struktural dan multidimensional.
Baca Juga: Boro-boro THR, Kekerasan Seksual dan Gaji Layak Masih Jadi Ancaman Pekerja Lepas
Tantangan utama lain yang dirasakan ojol perempuan sangat terkait erat dengan diskriminasi gender dan ekspektasi tradisional. Sebanyak 26 responden (86,7% dari sampel) mengeluhkan sering dibatalkan order (cancel) hanya karena mereka perempuan.
Hal ini konsisten dengan studi-studi sebelumnya yang menemukan tingkat pembatalan order 2,7% lebih tinggi pada pengemudi perempuan dibanding laki-laki . Sering di-cancel bukan saja merugikan secara ekonomi karena keranjang penghasilan yang hilang, tetapi juga menegaskan stigma sosial bahwa perempuan “tidak pantas” bekerja di jalan.
Selain itu, 43,4% responden mengaku pernah mengalami pelecehan dari penumpang, 43,33% merasa berat menanggung beban ganda (bekerja sambil mengurus rumah dan anak), 36,67% merasa sulit bekerja saat menstruasi atau sakit, dan 10% merasakan kurangnya dukungan keluarga.
Riset ini juga menggambarkan bahwa pengemudi perempuan kerap menghadapi pelecehan seksual atau kekerasan verbal.
Dalam survei tercatat, 43,4% responden mengalami bentuk pelecehan (6,7% sering dilecehkan, 6,7% kadang-kadang, 30% pernah sekali-dua kali), sementara 56,6% menyatakan tidak pernah.
Baca Juga: Diputus Kontrak, Dijanjikan Kerja Lagi Usai Lebaran: Akal-akalan Perusahaan Hindari THR Buruh
Artinya, hampir separuh perempuan pengemudi pernah terkena pelecehan setidaknya sekali. Pelaku terbanyak adalah penumpang laki-laki. Perusahaan aplikator juga dipandang sebagai sumber ketidaknyamanan. 7 responden menyebut aplikator itu sendiri bersikap kurang menyenangkan, seperti suspensi sepihak atau kurikulum kurang sensitif gender.
Rekan ojol laki-laki pun tidak luput memberikan rasa ketidaknyamanan, total 5 sebutan menyebut rekan sesama pengemudi pernah membuat situasi tidak nyaman. Di sisi lain, 9 pengemudi menyebut orang tidak dikenal sebagai pelaku pelecehan.
Ketika berhadapan dengan pelecehan, mayoritas (54,5%) pengemudi perempuan memilih bercerita ke teman atau komunitas sebagai cara meluapkan emosi dan mencari dukungan. Hanya 22,7% yang berani melapor resmi ke aplikator, sisanya 18,2% memilih diam saja atau tidak tahu harus ke mana, dan 4,5% melakukan tindakan spontan seperti melaju cepat lalu memberi bintang satu pada pelanggan nakal.
Kondisi tersebut menunjukkan metode coping informal yang dominan, yakni solidaritas antar driver jadi pelampiasan utama. Sebab tidak berani melapor bukan tanpa alasan, selain ketakutan diputus kemitraan, mekanisme laporan di perusahaan platform juga tidak ada jaminan hasil.
Baca Juga: Care Work Pada Komunitas Tak Dianggap Kerja, Padahal Ini Kerja Tambahan Perempuan
Dari 24 yang pernah coba melapor, hanya 4 kasus (16,7%) ditindaklanjuti dengan baik. Sebanyak 11 kasus (45,8%) tidak ada tindak lanjut sama sekali, 7 (29,2%) ada respons tapi jawaban aplikator tidak memuaskan, dan 2 orang (8,3%) malah mendapat sikap menuduh atau dihukum balik oleh aplikator.
Artinya, hampir 70% laporan tidak mendapat kejelasan atau justru diperburuk. Hal ini mencerminkan kegagalan sistem kemitraan, pengemudi dianggap otonom, namun kenyataannya malah tidak punya mekanisme perlindungan layak seperti sebagaimana pekerja seharusnya.
Dampak pelecehan dan pencabutan order sering kali membuat perempuan ojol merasa terancam. Sebagian besar responden (66,7%) hanya merasa kadang aman kadang tidak saat bekerja, 13,3% sering merasa tidak aman, dan hanya 20% yang selalu merasa aman.
Hanya 13,3% responden merasa aplikator sudah adil terhadap driver ojol perempuan, sementara 66,7% menilai tidak adil (sisanya tidak tahu). Hal ini mencerminkan persepsi bahwa perusahaan ojek online masih memperlakukan pekerja perempuan secara diskriminatif.
Baca Juga: Ketika Good Looking Jadi Syarat untuk Bekerja, Ini Bisa Sebabkan Diskriminasi Pekerja
Pemberian status tersebut membuat pengemudi tidak diakui berhak atas perlindungan seperti cuti, jam kerja yang manusiawi, atau jaminan sosial. Padahal, data survei menunjukkan 93,4% responden menyatakan hak-hak semacam cuti hamil, cuti haid, dan perlakuan layak sebagai “sangat perlu/perlu” (26,7% perlu, 66,7% sangat perlu). Hanya 6,7% yang tidak memahami urgensinya.
Kondisi ini kontras dengan posisi mereka sekarang yang serba rawan, belum ada kebijakan aplikator untuk cuti sakit/haid, dan jaring pengaman non-ekonomi juga minim. Hanya 63,3% yang pernah mendapatkan semacam Bantuan Hari Raya (BHR), sisanya 36,7% tidak pernah).