Chimamada Ngozie Adhichie, Shah Rukh Khan, dan Lisa 'Blackpink' di Met Gala 2025. (sumber foto: themetgalaofficial / Getty Images)

Di Balik Jas Mewah Met Gala 2025, Ada Kolonialisme Baru Berbalut Perlawanan Simbolik

Met Gala 2025 menyajikan pameran fesyen yang tampak ‘revolusioner’, dengan tema ekspresi melawan rasisme di masa kolonial. Namun, ajang itu juga lekat dengan kerusakan berkepanjangan yang dibalut simbolisme tanpa substansi.

Met Gala menjadi salah satu acara fesyen terbesar dan paling menarik perhatian dunia. Tahun ini, ajang tersebut diselenggarakan pada 5 Mei 2025 dengan tema ‘Black Superfine Tailoring Black Style’. Tema tersebut mengusung Black Dandyism, sebuah gaya berbusana dan ekspresi diri yang lahir dari perlawanan terhadap penindasan rasial. Terutama yang dialami oleh orang-orang kulit hitam pada masa kolonialisme.

Kehadiran banyak artis juga membuat semua mata tertuju pada Met Gala. Di ajang tahun ini, misalnya, selebritas seperti Shah Rukh Khan hingga Lisa ‘Blackpink’ turut hadir dan memamerkan busana dari para desainer ternama. Namun, di balik parade gemerlap dan jargon ‘perlawanan simbolik’, muncul sebuah pertanyaan: apakah Met Gala benar-benar mengadvokasi perjuangan atau sekadar merayakan estetikanya sambil melestarikan ketimpangan global?

Simbolisme Tanpa Substansi?

Mengangkat tema Black Superfine Tailoring Black Style dengan konsep Black Dandyism, sebuah gaya berbusana dan ekspresi diri yang lahir dari perlawanan terhadap penindasan rasial, terutama oleh orang-orang kulit hitam pada masa kolonialisme dan segregasi. Secara simbolis, ini adalah langkah yang tampaknya progresif. Black Dandyism, sebagaimana diuraikan dalam buku Slaves to Fashion karya L. Miller, adalah tentang bagaimana pria kulit hitam merebut kembali martabat mereka lewat pakaian.

Dandyisme kulit hitam telah muncul sejak abad ke-18 dan ke-19 di Amerika Serikat dan Karibia. Menjahit menjadi sarana merebut kembali martabat di tengah perbudakan dan kolonialisme. Mereka mengambil simbol-simbol aristokrat, kolonial dan segregasi lalu mengubahnya menjadi senjata keanggunan. Mereka merespon penindasan dengan gaya dan elegansi yang menyiratkan klaim terhadap superioritas moral. Pada masa Renaisans Harlem (1918-1930-an) para pesolek kulit hitam merayakan kehidupan mereka di tengah tekanan sosial-politik yang berat. Maka dari itu ini seharusnya menjadi refleksi atas sejarah panjang perjuangan identitas dan perlawanan.

Namun apakah acara Met Gala tahun ini benar-benar simbolisme yang setara dengan bobot simbol yang diusung atau justru jatuh dalam jebakan simbolisme kosong?

Tokenisme dalam Balutan Mewah

Meski untuk pertama kalinya Met Gala melibatkan beberapa desainer kulit hitam, apakah keterlibatan mereka hanya bentuk tokenisme atau langkah nyata menuju kesetaraan di industri fashion. Pertanyaan kritis muncul terhadap pakaian dari brand-brand besar yang dikenakan oleh para tamu undangan, sungguh mendukung narasi pembebasan kulit hitam atau mereka justru mengambil keuntungan dari simbol-simbol tersebut tanpa menyentuh akar ketidakadilan yang masih berlangsung.

Jika benar Met Gala ingin menjadi wadah perjuangan simbolik, seharusnya ia juga menjadi forum refleksi kritis. Dunia mode perlu melakukan introspeksi atas rantai pasoknya, dampaknya terhadap komunitas marjinal dan etika keberlanjutan dalam produksi. Tanpa itu semua, maka perayaan fashion semewah apa pun tidak lebih dari parade estetika yang hampa makna.

Ketika Sampah Fesyen Jadi Warisan Kolonial

Brand seperti Chanel, Louis Vuitton, dan Prada yang tampil menonjol di Met Gala merupakan pelaku utama dalam industri fashion global. Mereka menciptakan tren, membentuk estetika dan menanamkan nilai-nilai visual yang mengalir ke seluruh dunia. Namun, pada saat yang sama, industri inilah juga menghasilkan limbah bekas yang dibuang ke negara-negara berkembang.

Ghana adalah salah satunya. Negara di Afrika Barat itu menjadi importir besar pakaian bekas dari negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Cina. Setiap minggu, sekitar 15 juta pakaian bekas dikirim ke Ghana. Setidaknya 40% di antaranya langsung menjadi limbah, karena tak semua pakaian bekas tersebut layak pakai.

Pakaian bekas dari berbagai merek fesyen dunia yang seharusnya tidak digunakan kembali, bahkan dijual ke negara-negara berkembang. Ini telah menciptakan masalah baru bagi penduduk lokal. Masalah tersebut terkait isu lingkungan hingga ekonomi lokal. Contohnya, pantai-pantai di Accra kini dipenuhi limbah tekstil.

Jonathan Abbey, seorang nelayan setempat mengatakan bahwa limbah tekstil kini sering tersangkut di jaringnya. Peter McLaughlin dari Harvard menjelaskan bahwa Ghana kini “tenggelam dalam pakaian,” menghadapi tumpukan limbah yang terus membesar, pencemaran bahan kimia dari pakaian berbahan sintetis yang dibakar atau dibuang sembarangan.

Bagaimana mungkin brand-brand yang selama ini menjadi bagian dari industri fashion global yang berkontribusinya terhadap pencemaran lingkungan dan ketimpangan sosial di negara-negara berkembang begitu nyata, sekarang mengambil posisi dalam perayaan “pembebasan” orang-orang kulit hitam.

Bukan hanya sekedar masalah lingkungan, tetapi juga bentuk baru kolonialisme kultural dan ekonomi oleh negara-negara “kaya” yang mengekspor masalahnya ke negara-negara “miskin.” Di Accra, ibu kota Ghana, pantai-pantai dan sistem drainase kota kini tersumbat oleh tumpukan limbah tekstil. Dalam laporan Greenpeace Africa, ditemukan bahwa area publik seperti toilet umum telah tercemar zat kimia berbahaya yang melebihi batas aman menurut standar kesehatan internasional. Selain itu fenomena ini mengikis industri tekstil lokal, menghancurkan ekosistem dan mengancam kesehatan masyarakat.

Negara-negara Afrika menjadi tempat pembuangan produk busana yang berasal dari brand-brand mewah yang juga tampil dalam Met Gala. Ketika merek-merek fashion dunia ingin menunjukkan solidaritas terhadap sejarah penindasan kulit hitam melalui fashion, pada saat yang sama orang-orang kulit hitam di Afrika justru harus menghadapi dampak nyata dari industri tersebut, limbah pakaian, kerusakan lingkungan dan gangguan terhadap ekonomi lokal.

Jadikan Fesyen Ekspresi Perlawanan, Bukan Penyebab Kerusakan

Fashion selalu menjadi ekspresi budaya, perlawanan dan identitas. Namun ketika fashion digunakan hanya alat simbolik sementara, ketimpangan sistemiknya tetap lestari, maka kita perlu bertanya, siapa yang benar-benar diuntungkan oleh perayaan ini.

Fashion memang punya kekuatan, ia bisa membebaskan, menyuarakan bahkan melawan. Tapi kekuatan itu tidak akan berarti jika hanya berfungsi untuk melayani estetika segelintir orang sambil meninggalkan kerusakan bagi banyak hal.

Sebenarnya acara Met Gala bisa jadi momen reflektif jika pelaku industri fashion mau jujur dan bertanggung jawab terhadap dampak sosial dan ekologisnya.

Jika dunia Fashion sungguh ingin merayakan warisan budaya kulit hitam, maka langkahnya tidak berhenti di panggung Met Gala. Ia harus hadir di sistem produksi yang adil, distribusi yang bertanggung jawab dan terutama pengakuan bahwa sejarah penindasan tidak bisa ditebus hanya dengan sehelai jas mewah di karpet merah.

(Editor: Salsabila Putri Pertiwi)

(sumber foto: themetgalaofficial / Getty Images)

Ayu Puspita Lestari

Mahasiswa semester akhir jurusan Akuntansi dari Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!