Di tengah momentum pernikahan Al Ghazali dan Alyssa Daguise, perbincangan tentang Maia Estianty dan Mulan Jameela kembali mencuat.
Publik di media sosial mengomentari mereka, tak hanya soal tubuh dan penampilannya, tapi juga menjadi objek pelabelan “perempuan baik versus perempuan buruk”.
Tulisan ini ingin mengungkap bahwa di balik pernikahan Ahmad Dhani dan Mulan yang melukai Maia, namun yang mendapatkan hujatan hanya Mulan, sedangkan Ahmad Dhani lepas dari hujatan.
Bagi generasi yang tumbuh di tahun 2000-an, tentu tidak asing dengan sosok Maia dan Mulan. Mereka dulunya adalah dua perempuan yang tergabung di grup musik Ratu. Mulan menggantikan posisi Pinkan Mambo sebagai vokalis Ratu, yang sebelumnya keluar. Perceraian Maia dengan Ahmad Dhani (musisi Dewa 19), yang saat itu diketahui sudah menikah dengan Mulan, menjadi muasal pelabelan yang ditujukan kepada Mulan.
Berbagai pemberitaan saat itu menyebut, ada polemik pada perceraian Maia dan Ahmad Dhani. Maia menceritakan dia menjadi korban kekerasan psikis dalam rumah tangga, dia dipisahkan dari anak-anaknya, hingga dia “dimiskinkan” karena harta bendanya dilenyapkan. Mulan adalah orang yang tahu situasi ini, namun ia tetap menikah dengan Ahmad Dhani. Perlakuan Ahmad Dhani dan Mulan ini menambah luka Maia Estianty.
Namun alih-alih menyoroti soal Ahmad Dhani yang ‘diduga’ menjadi pengendali hubungan 2 perempuan ini, publik tak sedikit yang justru terus menerus hanya menyorot Mulan. Publik dengan pola pikir patriarki itu, melakukan dikotomi perempuan vs perempuan, dan Ahmad Dhani justru terlepas dari penilaian ini.
‘Perebut laki orang’, ‘Gundik’, ‘Penggoda’, dan sederet lainnya menjadi labelisasi, jika bukan disebut hujatan, yang ditujukan publik terhadap Mulan. Sementara Maia, ditampilkan sebagai lawanannya. Pelabelan perempuan dalam dua kutub yang berseberangan seperti ini, berakar pada gagasan oposisi biner patriarki yang dalam konteks ini orang yang mengendalikan hubungan
Penulis cum filsuf, Helene Cixous dalam Toril Mai (1985), menguraikan analisisnya tentang hal itu. Menurutnya, ada “kematian” yang bekerja dalam pemikiran oposisi biner patriarki (perempuan baik vs perempuan buruk). Agar salah satu istilah punya makna, maka istilah yang lain harus dihancurkan. “Pasangan” ini tak bisa dibiarkan utuh: dia menjadi medan perang untuk menandakan supremasi selalu terulang kembali.
Pemikiran oposisi biner yang mengadu perempuan vs perempuan itu, mengobjektifikasi mereka sebagai kepasifan, yang identik dengan kekalahan. Sementara, patriarki yang melanggengkan gagasan supremasi laki-laki, menjadi “pemenangnya”.
Itu terjadi tak lepas juga dari pemikiran patriarki yang menempatkan perempuan sebagai ‘The Other’ (liyan). Dalam upaya dikotomi, sesama perempuan dibenturkan, lalu kemudian dikontraskan dengan laki-laki sebagai subjek utama dalam masyarakat. Dalam bukunya ‘The Second Sex’ (1949), Simone de Beauvoir menyoroti bahwa ketidaksetaraan gender adalah hasil konstruksi sosial, bukan sesuatu yang alami.
“Perempuan tidak dilahirkan, tapi dikonstruksikan,” begitu kata Simone.
Dalam konteks Maia-Mulan, pendikotomian antara ‘perempuan baik vs perempuan buruk’ itu terus direproduksi narasinya, walau yang dilakukan Mulan sangat melukai Maia. Mulan tahu kondisi keretakan rumah tangga Maia dan Ahmad Dhani, tapi tetap menikahi Ahmad Dhani. Publik hanya menghujat Mulan, Ahmad Dhani lepas dari hujatan ini.
Masyarakat patriarki bukan hanya menjadi “kompas moral” yang seolah berhak menghakimi mereka, namun juga menunjukkan seksis (prasangka diskriminatif berbasis gender) bahkan misogini yang menyerang tubuh perempuan sampai mengatur bagaimana semestinya perempuan berperilaku sesuai standar mereka.
Kate Manne, filsuf feminisme dalam bukunya ‘Down Girl: The Logic of Misogyny’ (2017) menjelaskan soal misogini sebagai suatu yang merujuk pada sebuah lingkungan atau sistem dimana perempuan menghadapi perlakuan paksaan, tak bersahabat, dan kebencian.
Saat momentum pernikahan Al Ghazali- Alyssa misalnya, tiap jengkal tubuh dan penampilan Maia-Mulan dikomentari. Perempuan “baik” seharusnya berpenampilan elegan, tampak berkelas, sopan, make up natural, dan lainnya. Sedangkan, perempuan yang disebut “buruk” dikaitkan dengan komentar seperti: berpenampilan norak, pakaian ketat, tidak ada adab, sampai make up tebal yang menggoda. Dan Ahmad Dhani lepas dari penilaian ini.
Bukan hanya perempuan yang diversuskan, perempuan lain yang ada dalam radar dikotomi itu juga berusaha “dimatikan”. Itu tampak pada bullying misoginis yang menyerang pula pada anak perempuan Mulan, SA. Dia yang masih berusia anak-anak, seringkali di media sosialnya dikatai-katai sebagai ‘Anak Gundik’, ‘Anak Pelakor’, “Anak Penggoda’ dan lainnya.
Sementara Maia-Mulan-SA diperbincangkan, diobjektivikasi hingga menjadi sasaran dampak dikotomi, Ahmad Dhani tidak pernah tersentuh. Dia tidak menanggung labelisasi, tidak dituntut dengan ekspektasi gender, mudah dimaafkan dan dilupakan, sampai tetap bisa melenggang bebas sebagai sosok yang, meskipun problematik, dikagumi sebagai musisi yang katanya “legendaris”. Posisi inilah yang disebut sebagai “pemenang” dalam gagasan oposisi biner.
Menolak Lupa Pelanggaran Etik Ahmad Dhani Akibat Seksisme
Alasan lain, mengapa Ahmad Dhani menjadi “pemenang” dalam dikotomi patriarki ini, juga terjadi pada kasus lain yang melibatkannya.
Publik mudah sekali lupa, dan memaafkan, laki-laki yang melakukan abuse of power. Dalam hal ini, Ahmad Dhani sebagai pejabat publik juga pernah melakukan seksisme dan pelecehan verbal terhadap perempuan.
Setidaknya ada dua kasus berbeda yang dilaporkan, hingga Ia mendapatkan sanksi berupa teguran lisan dan permintaan maaf.
Kasus pertama, soal penghinaannya pada marga Pono dengan cara sengaja memplesetkan nama “Pono” menjadi “Porno”. Kedua, pernyataan rasis dan seksisnya mengenai naturalisasi pemain sepak bola dalam rapat bersama Ketua Umum PSSI Erick Thohir.
Dengan beralibi “out of the box” dan intonasi bercanda, Dhani mengusulkan agar naturalisasi diperluas bagi pemain bola “di atas 40 tahun… dan mungkin yang duda” untuk dinikahkan dengan perempuan agar menghasilkan keturunan “Indonesian born” yang dinilainya akan bisa memiliki kualitas keterampilan sepakbola yang lebih baik.
Komnas Perempuan angkat bicara soal pernyataan Dhani dinilai melecehkan karena menempatkan perempuan sekedar mesin reproduksi anak, pelayan seksual suami. Apalagi pernyataan ini dilanjutkan dengan menyebutkan bahwa jika pemain sepakbola yang dinaturalisasi itu beragama Islam maka bisa dinikahkan dengan empat perempuan. Padahal hukum Indonesia, dalam hal ini UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, mengatur ketentuan dan prasyarat yang ketat untuk mencegah perkawinan lebih dari satu orang menjadi sekedar menguntungkan satu pihak dan mengeksploitasi lainnya.
“Pernyataan ini juga merendahkan martabat Indonesia dengan rasisme karena seolah kualitas laki-laki pesepakbola dari luar negeri memiliki sifat genetik yang lebih baik daripada dari Indonesia. Kalimat rasis tampak dalam penekanan agar naturalisasi tidak kepada yang “bule” karena ras Eropa yang berbeda,” tulis Komnas Perempuan dalam rilisnya.
Pada 7 Mei 2025, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI secara resmi menyatakan, anggota DPR RI Ahmad Dhani terbukti melanggar kode etik sebagai anggota dewan. Tak hanya teguran lisan, MKD juga meminta Politikus Gerindra sekaligus pentolan band Dewa 19 itu menyatakan permintaan maaf.
Pola Pikir Patriarki-Misoginis Itu Mestinya Dihilangkan, Bukan Diturunkan
Di luar kasus tersebut, komentar lain yang ramai di media sosial juga terjadi pada Abdul ‘Dul’ Qodir Jaelani.
Walaupun netizen mengaitkannya dengan Ahmad Dhani, karena Ahmad Dhani merupakan ayah dari Dul, namun pernyataan misoginis Dul tak ada hubungannya dengan Ahmad Dhani.
Dalam sebuah potongan video podcast wawancaranya di kanal youtube Deddy Corbuzier, Dul bicara soal ‘seribu perempuan’. Dia bilang:
“Kalau ana boleh sombong nih, ada 1000 wanita mungkin yang mau tidur di samping gua malam ini. Tapi, mereka mau karena apa? karena materi. Atau karena gua anaknya Ahmad Dhani—cuma Tissa doang kayanya yang bener-bener sayang sama gua dan nggak memandang gua tuh siapa,” kata Dul kepada Praz Teguh.
Pernyataan Dul tersebut, bukan hanya narsis dan performatif, namun juga melanggengkan patriarki. Dikarenakan karena gendernya, Dul merasa yang “lebih berkuasa” dibandingkan perempuan. Dia memosisikan dirinya sebagai pusat kendali dalam relasi cinta dan bahkan seks. Dia juga melihat perempuan bukan sebagai subjek otonom, melainkan sebagai objek seleksi laki-laki.
Misoginisme juga tampak pada pernyataan Dul. Dia melakukan generalisasi negatif bahwa semua perempuan itu dianggap sebagai sosok yang bermotif harta/status, kecuali Tissa yang dia pilih.
Pernyataan Dul ini, mencerminkan ketidakadilan dalam pikirannya yang mengonstruksi perempuan sebagai penggembira atau penghargaan atas status laki-laki. Mereka juga menggambarkan perempuan sebagai ‘massa tanpa nama’ yang haus materi. Pandangan ini adalah penghilangan kebebasan eksistensial perempuan yang dijadikan “liyan” sebagai pelengkap cerita laki-laki. Dalam hal ini, perempuan diobjektifikasi sebagai alat validasi ego dan status sosial.
Ketika Dul menyebut “Seribu perempuan mau tidur dengannya, tapi hanya Tissa yang tulus,” ia mengulang pola kuasa yang juga tampak dalam komentar publik yang mengarah pada dikotomi patriarki ‘perempuan baik vs perempuan buruk’.
Kaitannya ini, pentingnya kita menyusun ulang cinta sebagai medan pembuktian kesetiaan perempuan pada laki-laki. Cinta dalam narasi Dul bukan tentang relasi setara, tapi soal siapa yang layak “dipilih”. Inilah yang disebut Kate Millett sebagai sexual politics, politik yang tidak hanya terjadi di ruang parlemen, tapi menyusup ke ranah relasi, bahasa cinta, dan persepsi sosial sehari-hari.
Lalu, apa yang mesti kita lakukan?
Tugas kita bersama untuk jeli membongkar narasi yang bias patriarki-misoginis apapun bentuknya. Pun kita juga sudah harus kritis dan adil gender sejak dalam pikiran, ketika ada narasi yang mendikotomi perempuan ‘baik vs buruk’ sebagai akal-akalan patriarki.
Penting juga untuk kita bisa terlepas dari ‘gender war’ dalam membincangkan bias patriarki-misoginis sebagai upaya mengungkap ketidakadilan sistemik atas struktur sosial yang menindas (supremasi laki-sentris). Ini bukan serangan pribadi terhadap laki-laki itu atau berarti feminis anti laki-laki.
Ini sebagaimana yang ditekankan oleh Bell Hooks dalam buku ‘Feminism is for Everybody’ (2000). Dia menegaskan bahwa feminisme adalah tentang menghapus sistem penindasan. Jadi, bukan semata-mata untuk memusuhi laki-laki. hooks juga mengangkat pentingnya interseksionalitas. Yaitu soal pengaruh kelas, ras, dan gender terhadap satu sama lain dalam menciptakan ketimpangan sosial.
Foto: Liputan6 & Instagram/@maiaestiantyreal & @mulanjameela1