Beberapa waktu lalu, sebuah video klarifikasi viral di aplikasi TikTok muncul di berandaku. Dalam video itu, seorang mengatakan, dia ingin meminta maaf atas nama “seluruh perempuan Indonesia” jika saat ada kelompok laki-laki bercerita tentang isu yang disebutnya “agak berat” seperti tentang politik, dia tidak paham.
Jujur, sebagai seorang perempuan yang dengan segenap hati berusaha mencintai negeri ini, saya tidak merasa ‘terwakilkan’ jika perempuan dianggap “selalu” tidak paham dan tak punya kapasitas, untuk bicara soal politik seperti yang ada dalam video viral itu.
Ini menjadi refleksi bagiku, betapa selama ini isu politik itu memang seolah “dijauhkan” dari realitas perempuan. Hal yang paling kasat mata tampak, saat ada acara di televisi yang bahas isu politik, kita akan dengan mudah menemukan mayoritas, bahkan semua, pembicaranya adalah laki-laki (all male panel).
Isu politik dikonstruksikan sebagai isu maskulin; tentang strategi berkuasa, menggunakan kekuatan (power) untuk mempengaruhi, dan perbincangan “intelektual” yang tak semestinya mengikutkan perempuan. Patriarki dan pengikutnya, ingin perempuan hanya berkutat pada urusan domestik dan kerja-kerja perawatan.
Stereotipe gender perempuan yang tak seharusnya melek isu politik pun muncul. Perempuan juga terus diragukan, agar kepercayaan dirinya untuk merebut pengaruh secara politik, jadi luruh.
Baca juga: #OkeGasAwasiRezimPrabowo: ‘Ndasmu!’ Retorika Maskulin Prabowo adalah Tanda Politik yang Tak Berevolusi
Maka dari itu, saya dengan hormat mengajak semua perempuan Indonesia, untuk merebut ruang-ruang pembahasan di berbagai isu yang dianggap “berat” bagi perempuan itu. Termasuk isu politik dan isu-isu lainnya seperti, sosial, ekonomi, lingkungan dan lainnya.
Kita mesti sadari, setiap pengalaman yang kita miliki sebagai perempuan itu bersifat politis. Sebagaimana gagasan personal is political, yang menekankan dimensi politik dari masalah-masalah seksisme yang dihadapi perempuan setiap hari. Bukan hanya bersifat pribadi dan privat bagi perempuan, namun mempengaruhi semua perempuan karena isu itu terkait dengan masyarakat patriarki.
Sebagai contoh, pembagian dan pengaturan peran dalam keluarga atau rumah tangga seperti pengasuhan anak, pembagian kerja rumah tangga, pengaturan keuangan, dll terkait erat dengan peran dan harapan gender yang berlaku dalam masyarakat. Jadi keputusan dan pilihan yang diambil seorang perempuan terkait perannya dalam rumah tangga bukan semata-mata sebagai sebuah pilihan personal, melainkan ada dimensi politis di situ. Karena seringkali pilihan perempuan ini, bukan dipilih oleh perempuan, tapi dipilihkan oleh laki-laki atau lingkungannya.
Perlawanan Ketidakadilan Gender
Nancy Fraser, seorang filsuf politik feminis, menjelaskan sebuah konsep bernama “paritas partisipasi”. Konsep ini fokus pada hak perempuan untuk mendapatkan posisi setara dengan laki-laki bukan karena untuk memperjuangkan ‘kepentingan perempuan’ atau hal-hal spesial lainnya, melainkan karena perempuan merupakan bagian dari orang yang berdaulat.
Paritas dalam konsep franser bukan sekadar perkara kuota dan jumlah, melainkan akses dan keterbukaan terhadap perempuan. Berlawanan dengan pendapat Fraser terkait paritas partisipasi, video yang tengah ramai di media sosial tersebut malah mendiskreditkan posisi perempuan untuk mencapai keterbukaan kesempatan untuk membicarakan isu secara bebas.
Paritas partisipasi Nancy Fraser dengan tiga dimensinya—rekognisi, representasi, dan redistribusi—secara komprehensif menjelaskan ironi dalam video viral TikTok dan dampaknya terhadap keadilan gender. Terkait rekognisi, pernyataan perempuan dalam video yang justru melanggengkan stereotip bahwa ranah politik dan intelektual adalah dominasi laki-laki, merupakan bentuk ketidakadilan rekognisi menurut Fraser.
Penstereotipan ini berpotensi menginternalisasi pandangan negatif pada perempuan itu sendiri, menghalangi akses mereka untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. Dalam dimensi representasi, Fraser menekankan pentingnya suara yang didengar dalam wacana publik, bukan sekadar kuota.
Pernyataan dalam video tersebut justru kontraproduktif dengan hak perempuan untuk menyuarakan perspektif mereka, gagal menjadi representasi beragam suara perempuan Indonesia yang seharusnya diajak dalam berbagai diskusi isu penting. Lebih lanjut, meski tidak eksplisit dalam video, ketidakadilan rekognisi dan representasi ini berimplikasi pada dimensi redistribusi.
Jika perspektif perempuan diabaikan karena dianggap tidak memahami isu penting, kebijakan yang dihasilkan berpotensi gagal memenuhi kebutuhan mereka secara adil, melanggengkan diskriminasi berbasis gender di berbagai sektor, termasuk ekonomi, seperti abainya kebijakan ketenagakerjaan terhadap isu pelecehan dan kekerasan berbasis gender.
Penyediaan Akses Setara dan Inklusif
Keterlibatan perempuan dalam diskusi-diskusi terbuka terkait isu-isu penting menjadi krusial karena melalui diskusi inilah kebutuhan dan kepentingan perempuan akan dipertimbangkan secara adil.
Pengalaman hidup yang dilalui perempuan berbeda jauh dari apa yang dialami laki-laki. Perempuan mengalami proses biologis seperti menstruasi dan melahirkan ketika mereka juga mengalami pelecehan fisik dan diskriminasi sosial. Hal ini membuat pengalaman hidup perempuan unik sehingga memberikan pengetahuan yang berharga dalam pembentukan opini publik hingga mempengaruhi kebijakan.
Jika perempuan tidak hadir dan terwakilkan dalam diskusi, maka akan ada risiko kebijakan yang bias gender dan kembali mendiskriminasi.
Perempuan memiliki pengetahuan, keterampilan, hingga pengalaman hidup yang sama berharganya dalam masyarakat yang berdaulat. Hal tersebut dapat berkontribusi pada pembangunan sosial, politik, dan ekonomi negara yang lebih baik.
Ketika perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam memberikan pendapat atas pengetahuan yang mereka miliki, menceritakan pengalaman yang pernah mereka alami, dan mengajarkan keterampilan yang mereka kuasai, maka akan terbentuk ekosistem diskusi yang lebih inklusif dan berpotensi menghasilkan berbagai solusi yang lebih inovatif.
Membicarakan isu-isu penting seperti isu sosial, politik, dan ekonomi sudah seharusnya juga menjadi wajar di kalangan perempuan. Hal tersebut menjadi bagian penting dalam upaya untuk perempuan mencapai kesetaraan gender. Stigma terhadap perempuan yang dibentuk oleh patriarki menempatkan perempuan di ranah domestik dan dianggap tidak mampu membicarakan isu penting ketika laki-laki ditempatkan sebagai sosok yang rasional dan kompeten dalam urusan publik.
Baca juga: Manifesto Politik Perempuan Kritik Rezim Prabowo-Gibran Di Hari Pergerakan Perempuan
Kehadiran perempuan dalam diskusi publik dapat mendobrak stigma-stigma patriarki, membuktikan bahwa perempuan punya kapasitas intelektual, analitis, dan kepemimpinan yang sebelumnya tidak diakui.
Partisipasi aktif perempuan dalam diskusi yang inklusif membuka kesadaran tentang beragam masalah yang dialami perempuan. Diskusi ini memungkinkan untuk membaca lebih dalam terkait pola diskriminasi, bias gender yang sistemik, dan berbagai norma masyarakat yang merugikan perempuan.
Melalui proses berbagi pengalaman ini, perempuan dapat memvalidasi realitas yang terjadi satu sama lain. Lebih lanjut, diskusi inklusif yang memberikan ruang keterlibatan perempuan secara aktif akan mendorong perubahan sosial yang positif. Ketika masalah disuarakan dan dihimpun, maka hal ini akan mendorong untuk terjadinya perubahan kebijakan, praktik sosial, dan norma.
Mendasarkan pada teori dan konsep keadilan Fraser, pernyataan dalam video viral tersebut bukan sekadar pernyataan nyeleneh dan bercanda dari seorang individu, melainkan menggambarkan ketidakadilan yang luas dalam masyarakat. Pernyataan bahwa perempuan tidak dapat memahami pembicaraan terkait isu-isu penting dan substansial memperkuat stereotip terhadap perempuan yang diskriminatif.
Argumen dalam video tersebut menyebabkan proses rekognisi perempuan yang cakap dan kompeten dalam pembahasan isu-isu penting menjadi terhambat. Akibatnya, representasi perempuan yang adil dalam diskusi di ruang publik menjadi rendah dan memperburuk ketidakadilan redistribusi sumber daya dalam jangka panjang.
Perempuan sudah seharusnya memiliki kesempatan untuk berdiskusi secara bebas dan terbuka terkait berbagai isu penting; politik, ekonomi, sosial budaya, dan lain sebagainya. Hal ini bukan sekedar karena perempuan akan memperjuangkan perempuan, melainkan karena perempuan juga merupakan bagian dari masyarakat luas.
(Editor: Nurul Nur Azizah)