Pidato Presiden Prabowo Subianto menyindir para pengkritiknya dengan sebutan ‘ndasmu’ berkali-kali. Ucapan itu disampaikan dengan ekspresi mengejek dan diiringi tawa para pejabat dalam acara perayaan Hari Ulang Tahun ke-17 Gerindra pada 15 Februari 2025.
Prabowo, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, membahas tiga isu pada saat itu. Antara lain program makan bergizi gratis, pembentukan kabinet, serta hubungannya dengan mantan presiden Joko Widodo.
“Badan Gizi Nasional bisa begini cepat, di luar dugaan orang. Biasa, ada yang nyinyir ‘mana bisa kasih makan?’” ucapnya dengan mimik bibir sedikit maju, menirukan ucapan pengkritiknya. “Tidak ada presiden Indonesia yang punya tongkat Nabi Musa, negara kita sangat besar. Sudah kita mulai sekian ratus orang, masih ada yang komentar: ‘iya, tapi belum banyak’,” masih dengan mimik bibirnya sembari menggerakkan kepala.
“Kalau enggak ada wartawan, saya bilang, ‘ndasmu’,” bisiknya, disambut tawa riuh para hadirin.
Prabowo juga menunjukkan ketidaksenangan terhadap kritik yang menyebut kabinetnya terlalu besar dengan istilah ‘kabinet gemuk’. “Ada orang-orang pintar (bilang) ‘kabinet ini kabinet gemuk, terlalu besar’… Ndasmu!” katanya, kembali dengan berbisik saat menyebut ‘ndasmu’. “Ndak peduli saya disebut apa, yang penting hasilnya!” teriaknya.
“Nanti saya dibilang dikendalikan Pak Jokowi, cawe-cawe—ndasmu!” lagi-lagi ia mengulang kata tersebut.
Baca Juga: Program ‘Food Estate’ Harmonis Dengan Lingkungan dan Masyarakat Adat: Mungkinkah?
Istilah ‘ndasmu’ sendiri berasal dari bahasa Jawa, yang secara harfiah berarti ‘kepalamu’. Namun, dalam percakapan sehari-hari, kata ini sering digunakan sebagai bentuk ekspresi ketidakpercayaan, sindiran, atau ejekan terhadap pernyataan seseorang.
Prabowo bukan pertama kali menunjukkan gaya komunikasi yang blak-blakan, emosional, dan kadang dianggap tidak pantas dalam forum publik. Sebelumnya, ia beberapa kali melontarkan pernyataan dengan nada keras sampai menggebrak meja podium yang menampilkan ekspresi kemarahannya. Seperti saat kampanye Pilpres 2019. Dalam berbagai kesempatan, Prabowo juga dikenal menggunakan bahasa yang menyindir pengkritiknya. Seperti menyebut, “Profesor itu pintar atau bodoh?”
Sementara pada saat masa kampanye, citra Prabowo justru dibangun sebagai sosok yang gemoy, imut, dan pecinta kucing. Strategi politik itu bertujuan melunakkan citranya sebagai figur militer yang selama ini dikenal garang. Menciptakan kesan bahwa ia adalah pemimpin yang ramah dan penuh kasih sayang. Narasi ini kontras dengan kenyataan bahwa di berbagai kesempatan, ia kerap menunjukkan sikap meledak-ledak, mengeluarkan retorika kasar, dan sulit menerima kritik. Fenomena ini memperlihatkan betapa citra politik bisa dikonstruksi untuk menarik simpati publik, meskipun perilaku aslinya tidak selalu mencerminkan kehangatan yang digembor-gemborkan selama kampanye.
Tumbuh dalam Gelimang Privilese Bukan Jadi Jaminan Bisa Regulasi Emosi
Padahal, Prabowo Subianto lahir dan tumbuh dengan berbagai privilese yang memberinya akses luas ke pendidikan, jaringan politik, dan sumber daya. Ia berasal dari keluarga elite. Ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, adalah ekonom terkemuka. Sumitro pernah menjabat sebagai menteri di era Soekarno dan Soeharto. Prabowo menghabiskan masa kecil di luar negeri. Ia juga menempuh pendidikan di luar negeri. Termasuk di Victoria Institution di Malaysia, Zurich International School di Swiss, dan The American School di London, sebelum masuk ke Akademi Militer Magelang.
Selain itu, ia memiliki nominal harta kekayaan yang besar. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2023, harta kekayaan Prabowo mencapai Rp2,04 triliun. Ini menjadikannya salah satu pejabat terkaya di Indonesia. Dengan latar belakang ini, Prabowo memiliki akses dan pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan masyarakat biasa. Oleh karena itu, gaya komunikasinya yang kasar dan emosional justru tampak kontras dengan statusnya sebagai bagian dari elite politik dan ekonomi di Indonesia.
Ia hampir serupa dengan Donald Trump yang gaya komunikasinya blak-blakan dan emosional. Keduanya kerap menggunakan retorika yang kasar, menyerang pengkritik dengan ejekan, meskipun berasal dari kalangan elite. Trump kerap menyebut media sebagai “enemy of the people (musuh masyarakat)” kala pemberitaan tidak menguntungkannya. Ia juga menyebut negara-negara Afrika sebagai “shithole countries“ dalam rapat kebijakan imigrasi.
Baca Juga: #OkeGasAwasiRezimBaru: Pemberian Amnesti, Gimmick Politik Prabowo di Tengah Hukum yang Bias Gender?
Keduanya juga punya pola yang mirip dalam menangani serangan politik. Alih-alih merespons dengan argumentasi substansial, mereka lebih memilih retorika emosional, sindiran, atau bahkan mempermainkan kritik yang ditujukan kepada mereka.
Selain Prabowo dan Trump, banyak pemimpin laki-laki membalas kritik dengan retorika maskulin, bahkan cenderung misoginis. Seperti mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte yang menyatakan bahwa posisi presiden tidak cocok untuk perempuan karena, “Kondisi emosionalitas” perempuan. Ia juga memerintahkan militer untuk menembak “vagina pemberontak perempuan.” Atau perwakilan mantan presiden Brazil Jail Bolsorano yang mengatakan bahwa ia tidak akan memerkosa anggota kongres perempuan, karena perempuan tersebut tidak layak diperkosa.
Pemimpin Laki-Laki Tidak Berevolusi
Politik maskulin tampaknya tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. Sejak era kepemimpinan raja-raja bertangan besi hingga politisi masa kini, polanya tetap serupa. Kemarahan dan ejekan masih menjadi strategi untuk merebut dukungan dan menunjukkan kuasa.
Dari awal sejarah, pidato di ruang publik dipandang sebagai simbol kekuasaan dan maskulinitas. Seperti kisah Demosthenes, seorang orator besar Athena yang terkenal karena pidato-pidatonya pada abad 4 SM. Sejak muda, ia menghadapi hambatan dalam berbicara. Suaranya yang halus dan gagap sering menjadi bahan ejekan ketika ia pertama kali berbicara di hadapan khalayak luas. Ia pun melatih suaranya agar terdengar lebih tegas dan berwibawa, karena suara yang tidak cukup kuat dianggap kurang maskulin.
Menurut Plutarch dalam Parallel Lives, untuk belajar berpidato, Demosthenes melakukan latihan berbicara yang keras. Ia berbicara dengan meletakkan kerikil di mulutnya, membaca teks sambil berlari, dan mengasah suaranya dengan berpidato di tepi laut, menantang gemuruh ombak. Dalam budaya Yunani kuno, pidato yang kuat dianggap sebagai ciri khas seorang laki-laki sejati (andreia, atau kejantanan).
Rupanya politik maskulin tidak hanya tentang suara yang lantang dan tegas. Sejarah menunjukkan, banyak laki-laki berusaha melegitimasi kekuasaannya dengan emosi yang meledak-ledak. Sederet nama laki-laki dalam sejarah, mulai dari Caligula, Gengis Khan, sampai raja Henry VIII menjadi gambaran emosional laki-laki yang tidak stabil. Amarah jadi alat legitimasi kekuasaan. Semakin murka seorang pemimpin, semakin ditakuti dan dihormati ia oleh rakyatnya. Dari raja-raja perang hingga diktator modern, politik maskulin tak banyak berevolusi, hanya bergeser dari pedang ke mikrofon.
Tapi Kenapa Perempuan yang Selalu Dituduh Emosional dan Tidak Rasional?
“Ah, perempuan terlalu emosional, mana bisa memimpin?”
“Perempuan tidak usah jadi pemimpin, berpikir logis saja tidak bisa. Nanti malah baper (bawa perasaan)”
Kemudian setelah melihat contoh di depan mata maupun dari buku sejarah, tampak bahwa para tokoh laki-laki cenderung emosional. Ledakan kemarahan, sikap defensif terhadap kritik, hingga penggunaan retorika kasar dalam debat politik justru sering mereka perlihatkan. Padahal, selama ini perempuanlah yang sering distereotipe sebagai makhluk emosional dan tidak rasional. Sedangkan laki-laki dianggap lebih logis dan tenang dalam mengambil keputusan.
Stereotipe ini dipopulerkan oleh tokoh laki-laki seperti Charles Darwin dan Otto Weininger. Darwin dalam The Descent of Man vol.2 berpendapat, laki-laki lebih berani, agresif, dan energik dibandingkan perempuan, serta memiliki kecerdasan yang lebih inventif. Seperti kata-kata Darwin, “Man is more courageous, pugnacious, and energetic than woman, and has a more inventive genius.” Sementara Weininger dalam Sex and Character menggambarkan perempuan sebagai makhluk tidak rasional yang didominasi oleh emosi. Namun, realitas menunjukkan bahwa laki-laki juga bisa sangat emosional, baik dalam politik, kepemimpinan, maupun kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Demokrasi Hari Ini, Mengapa Para Aktivis Laki-laki Bergabung di Pemerintahan Prabowo?: Wawancara Made Tony Supriatma
Dari Prabowo hingga Trump, kita melihat ekspresi emosi tidak terkendali yang digunakan sebagai alat politik. Sering kali tanpa konsekuensi sosial yang sama seperti yang dialami perempuan. Jika perempuan menunjukkan emosi serupa dengan yang mereka lakukan, perempuan bakalan dicap histeris atau tidak kompeten. Ini membuktikan bahwa mitos tentang perempuan sebagai satu-satunya gender yang emosional bukan hanya keliru. Tetapi juga digunakan untuk menghambat potensi kepemimpinan perempuan.
Berbeda dengan gaya kepemimpinan yang sering ditunjukkan oleh tokoh-tokoh laki-laki seperti Prabowo Subianto dan Donald Trump. Banyak pemimpin perempuan justru menunjukkan kemampuan yang luar biasa dalam mengelola emosi dan mengambil keputusan dengan tenang serta rasional. Pemimpin perempuan seperti Jacinda Ardern, mantan Perdana Menteri Selandia Baru, dan Angela Merkel, mantan Kanselir Jerman, telah membuktikan bahwa kepemimpinan tidak harus melibatkan retorika kasar atau ledakan emosi.
Jacinda Ardern, misalnya, dikenal karena pendekatannya yang empatik dan tetap terkendali. Bahkan dalam situasi sulit seperti serangan teroris di masjid Christchurch pada tahun 2019. Dalam menghadapi tragedi tersebut, Ardern menunjukkan kepemimpinan yang penuh belas kasih. Ia dengan cepat mengambil tindakan tegas untuk memperketat undang-undang senjata sambil tetap menjaga martabat para korban dan keluarga mereka. Kemampuannya untuk tetap tenang dan fokus pada solusi, tanpa terpancing emosi, menjadi contoh nyata seorang pemimpin dapat mengelola krisis dengan profesionalisme dan empati.
Baca Juga: Nasib Kesetaraan Gender di Era Prabowo Makin Pesimis, Apakah Ada Harapan?
Sedangkan Angela Merkel, yang memimpin Jerman selama 16 tahun, juga dikenal karena gaya kepemimpinannya yang rasional dan minim drama. Merkel, yang dijuluki “Mutti” (Ibu) oleh rakyat Jerman, selalu mengambil keputusan tanpa terpengaruh oleh tekanan politik atau emosi sesaat. Dalam menghadapi krisis pengungsi Eropa pada tahun 2015, Merkel mengambil keputusan berani untuk membuka pintu Jerman bagi para pengungsi. Meskipun keputusan tersebut menuai kritik dari berbagai pihak. Namun, dengan ketenangan dan ketegasannya, Merkel berhasil memimpin Jerman melalui masa-masa sulit tersebut. Mereka contoh bahwa perempuan membangun otoritas mereka melalui integritas, empati, dan kemampuan untuk tetap tenang meski dalam situasi yang penuh tekanan.
Laki-laki tumbuh dalam budaya yang mengajarkan mereka untuk menekan emosi tertentu, seperti kesedihan dan keraguan. Tetapi menormalisasi atau bahkan merayakan kemarahan dan dominasi. Dalam politik dan kepemimpinan, pola ini berlanjut. Kemarahan atau retorika kasar dianggap sebagai tanda ketegasan, sementara ekspresi emosi yang lebih lembut sering dipandang sebagai kelemahan. Norma maskulinitas ini diperkuat oleh lingkungan sosial, mulai dari keluarga, sekolah, hingga media. Sebagian besar film, buku, dan cerita sejarah menampilkan pemimpin yang kuat secara fisik dan agresif, karakter-karakter yang jarang menunjukkan kerentanannya. Gambaran ini menegaskan bahwa karakter ini adalah standar untuk menjadi pemimpin.
Barangkali Prabowo dan para pemimpin laki-laki lainnya tidak mau repot-repot membangun citra bijaksana atau rasional. Ledakan emosi, ejekan, dan retorika kasar justru semakin menunjukkan mereka sebagai bagian dari politik maskulin. Jadi, mungkin alih-alih menjawab kritik dengan substansi, cukup satu kata kasar yang diucapkan dengan percaya diri sudah cukup untuk mempertahankan kuasa.
Baca Juga: Kabinet Mangkir, Isu Perempuan Tak Hadir: Riset 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran
Demokrasi katanya membuka ruang bagi kritik. Tetapi dalam praktiknya, kritik justru sering dianggap sebagai pembangkangan atau bahkan serangan pribadi. Padahal, tanpa kritik, demokrasi hanya menjadi tirai tipis yang menutupi otoritarianisme yang semakin mengakar.
Di era politik modern, masyarakat sudah lebih kritis dalam menilai pemimpin. Bukan dari seberapa keras mereka berbicara, tetapi dari seperti apa kebijakan mereka dijalankan. Pemimpin yang benar-benar visioner tidak perlu mengandalkan teater emosi untuk menunjukkan kekuatan. Volume suara dan retorika kasar seharusnya sudah ditinggalkan dan berevolusi ke integritas, empati, dan kemampuan merangkul semua pihak dengan sikap hormat dan profesionalisme.
Artikel ini termasuk dalam serial liputan #OkeGasAwasiRezimPrabowo dalam rangka mengawasi pemerintahan Prabowo-Gibran.
Editor: Salsabila Putri Pertiwi
Sumber foto: Instagram @prabowo