Kita hidup di era ketika hampir semua orang bisa mengungkapkan pendapatnya secara terbuka baik dalam komunikasi sehari-hari maupun lewat media sosial. Dalam kondisi seperti ini kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan. Pasalnya tidak semua argumen yang terdengar logis benar-benar masuk akal. Kita bisa menjumpai fenomena ini dalam relasi pribadi maupun relasi sosial.
Salah satu contohnya bisa kita lihat pada fenomena gaslighting yang sering memanfaatkan logical fallacy (kesalahan berpikir). Ini biasanya dilakukan untuk memanipulasi orang lain secara halus tetapi berdampak sangat dalam bagi orang tersebut.
Pernahkah kamu merasa bingung setelah berdebat dengan orang lain, seolah-olah perasaanmu tidak valid dan logikamu keliru? Bisa jadi itu bukan perdebatan biasa atau sekadar berbeda pendapat, melainkan kamu sedang dimanipulasi dengan cara berpikir yang keliru.
Gaslighting merupakan suatu bentuk manipulasi psikologis yang membuat korbannya meragukan realitas, penilaian, atau ingatannya sendiri. Istilah ini berasal dari sebuah film berjudul Gaslight (1944) yang mengisahkan seorang suami yang sering memanipulasi dan menyiksa istrinya. Tindakan itu membuat sang istri merasa dirinya telah kehilangan kewarasan hingga si suami bisa mendapat kendali penuh atas istrinya.
Baca Juga: Drakor ‘Nevertheless’, Gaslighting Itu Tanda Hubunganmu Tak Sehat
Dalam praktiknya, pelaku gaslighting biasanya tidak melakukan kekerasan fisik secara langsung, melainkan mereka akan menggunakan kekerasan halus lewat argumen-argumen yang mereka lontarkan. Pelaku akan mengungkapkan argumen atau kata-kata yang terlihat logis di mata korban sehingga membuat korban mulai meragukan kepercayaannya sendiri. Di sinilah logical fallacy berperan.
Logical fallacy adalah kesalahan dalam proses berpikir atau berlogika. Artinya, logical fallacy merupakan suatu pola pikir yang tampak logis, tetapi sebenarnya keliru atau menyesatkan. Menurut kajian filsafat, ada banyak jenis logical fallacy, beberapa diantaranya sering muncul dalam praktik gaslighting. Misalnya, fallacy jenis ad hominem, yaitu menyerang karakter pribadi lawan bicara alih-alih menanggapi argumennya. Contohnya bisa dilihat dalam kalimat berikut.
“Kamu terlalu sensitif, makanya kamu merasa tersinggung terus.”
Alih-alih membahas ucapannya yang menyakitkan, si pembicara justru menyerang perasaan lawan bicaranya. Serangan semacam ini membuat korban berpikir permasalahan itu bersumber dari dalam dirinya sendiri, bukan karena perilaku pelaku yang menyakiti hatinya.
Baca Juga: Pemerintah Kambinghitamkan Pendemo Dalam UU Cipta Kerja: Gunakan Strategi Gaslighting
Jenis logical fallacy lainnya yang sering muncul dalam praktik gaslighting adalah strawman argument, yaitu mendistorsi atau memelintir argumen lawan bicara agar lebih mudah dipatahkan. Misalnya, bisa dilihat pada percakapan berikut.
“Aku merasa tidak didengar.”
“Jadi maksud kamu aku selalu salah dan egois?”
Padahal, korban hanya ingin menyampaikan perasaannya. Dengan memelintir maksud perkataan korban, pelaku menciptakan konflik yang membuat korban ragu dan akhirnya memilih untuk mengalah. Dalam jangka panjang, hal ini dapat melemahkan kepercayaan diri korban dan membuatnya makin bergantung pada pelaku.
Logical fallacy lain yang umum digunakan adalah Post Hoc Ergo Propter Hoc atau kesalahan sebab akibat. Jenis fallacy yang satu ini mengasumsikan bahwa jika suatu peristiwa terjadi setelah peristiwa lain, maka peristiwa pertamalah yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa yang kedua. Dalam praktik gaslighting, fallacy jenis ini dapat membuat korban meragukan penilaiannya sendiri karena kesimpulan sebab akibat yang tidak valid dari pelaku tetapi terdengar logis. Contohnya, seperti tampak dalam percakapan berikut.
“Kamu jadi lebih sering marah setelah berteman dengan si A. Pasti dia yang menghasut kamu.”
Baca Juga: Hubungan Standar di TikTok: Bisakah Kita Mencapainya?
Padahal, belum tentu kemarahan tersebut berkaitan dengan si A. Klaim semacam ini bisa menjadi cara halus untuk mengisolasi atau menjauhkan korban dari orang-orang terdekatnya.
Gaslighting yang disertai logical fallacy sangat berbahaya karena mampu menciptakan ilusi-ilusi kebenaran. Korban bisa merasa argumen pelaku masuk akal, walaupun dalam batin merasa ada yang tidak beres. Di sinilah muncul konflik internal pada diri korban, ia jadi mempertanyakan mana yang benar, logika atau perasaan. Pada titik ini, banyak korban mulai meragukan intuisi dirinya dan menyerah dengan konsep “kebenaran” yang dipaksakan oleh pelaku.
Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam hubungan pribadi, tetapi juga dapat terjadi dalam relasi publik yang lebih luas. Misalnya saja, dalam debat politik, logical fallacy sering digunakan untuk menjatuhkan lawan atau mengalihkan isu. Ketika hal ini terus-menerus terjadi, masyarakat akan menjadi kebal terhadap argumen atau pernyataan yang benar dan malah lebih percaya pada kalimat-kalimat manipulasi yang meyakinkan.
Hal ini menunjukkan memahami konsep logical fallacy sangatlah penting. Bukan hanya untuk akademisi atau mahasiswa filsafat, melainkan juga untuk siapa saja yang ingin berpikir jernih dan adil.
Logika yang sehat dapat menjadi alat pertahanan dari manipulasi. Ketika kita bisa mengenali pola-pola sesat pikir, kita dapat mempertimbangkan dan mempertanyakan hal-hal seperti, “Apakah argumen tersebut benar-benar masuk akal atau hanya meyakinkan?” Atau, “Apakah saya sedang dimanipulasi dan kebenarannya sedang diputarbalikkan?” Pertanyaan-pertanyaan ini, dapat membantu kita terbebas dari jebakan manipulasi.
Baca Juga: Kekerasan Seksual di Universitas Mulawarman: Ada 11 Macam Kekerasan, Terduga Pelaku Melenggang Bebas
Jadi, logical fallacy bukan sekadar konsep teori dalam pelajaran logika. Melainkan, ia dapat digunakan sebagai alat manipulasi yang membungkam dan memunculkan kebingungan, seperti pada praktik gaslighting.
Pada era teknologi seperti sekarang, ketika berbagai informasi dan opini berseliweran cepat, kemampuan memilah informasi yang valid menjadi keterampilan hidup. Karena ketika logika disalahgunakan, kebenaran bisa dipelintir.
Apalagi, di media sosial, opini bisa disamarkan sebagai fakta, dan emosi bisa menyamar sebagai logika. Maka, belajar berpikir logis bukan sekadar bentuk latihan otak, melainkan cara untuk mempertahankan kewarasan. Dengan memahami bahwa logika bisa dimanipulasi, kita bisa menyelamatkan diri dan juga orang lain dari jebakan yang tampak rasional tetapi sejatinya beracun.
Referensi
Indasah, S. N. (n.d.). The logical fallacies: Kesalahan berlogika yang dianggap berpikir kritis. Anak Hebat Indonesia. https://books.google.co.id/books?id=gezjEAAAQBAJ&lpg=PA194&ots=pZ4wrQ2WG4&dq=apa%20itu%20logical%20fallacy&lr&pg=PP1#v=onepage&q&f=false
Program Studi S2 Pendidikan Bahasa Inggris. (2024, 2 November). Jenis-jenis kesalahan berpikir dan bernalar (logical fallacy) berdasarkan filsafat. Universitas Negeri Surabaya. https://s2pendidikanbahasainggris.fbs.unesa.ac.id/post/jenis-jenis-kesalahan-berpikir-dan-bernalar-logical-fallacy-berdasarkan-filsafat
Yulistiani, I., & Fitriani, A. (2023). Menangkal gaslighting dalam bentuk intimidasi dan manipulasi komunikasi. Jurnal Abdimas, 4(5), 123–130. Universitas Esa Unggul.