Kekerasan seksual di Universitas Mulawarman Samarinda

Kekerasan Seksual di Universitas Mulawarman: Ada 11 Macam Kekerasan, Terduga Pelaku Melenggang Bebas

AP, seorang mahasiswa Universitas Mulawarman Samarinda diduga melakukan kekerasan seksual pada sejumlah mahasiswi. Dari analisis kasus tim Savrinadeya, ditemukan 11 dugaan bentuk kekerasan seksual yang dilakukan AP. Mulai dari pola manipulatif seperti membagikan cerita sedih, memanfaatkan secara ekonomi, sampai janji pernikahan.

Trigger warning: isi dari artikel ini dapat memicu trauma, khususnya bagi para korban kekerasan seksual.

Pada Selasa 25 Juli 2023, LS (korban), hadir di acara konferensi pers yang digelar organisasi jurnalis dan organisasi lingkungan di kotanya. Ia adalah seorang jurnalis perempuan yang bekerja untuk perusahaan media A. 

Di acara tersebutlah, LS pertama kali bertemu dengan terduga pelaku bernama AP.

AP (24 tahun) adalah jurnalis yang bekerja untuk perusahaan media B. Ia juga seorang mahasiswa Universitas Mulawarman (Unmul) angkatan 2019. AP selama ini juga beraktivitas di sejumlah komunitas sastra dan seni di Kota Samarinda, seperti Komunitas Menuju Rubanah dan Malam Puisi Samarinda di tahun 2018.

Saat itu AP meminta nomor telepon LS. Sebagai kawan satu profesi, LS memberikan nomornya. Esok harinya sebagai wartawan baru LS mem-follow beberapa akun yang disarankan oleh Instagram, salah satunya AP.

Sore harinya AP menjawab story Instagram korban dan mengajak bertemu untuk makan. AP lanjut menelepon LS dan menyatakan ketertarikannya. AP mengatakan sebelumnya pernah bertemu LS di acara pentas musik pada 7 Juni 2023.

Saat menelepon, AP mencoba merayu dan meyakinkan LS.

“Kamu ini tipe aku banget, aku sudah memperhatikan kamu sejak acara itu,” rayu AP.

Baca Juga: Boro-boro THR, Kekerasan Seksual dan Gaji Layak Masih Jadi Ancaman Pekerja Lepas

Korban menanggapi dengan mengatakan kalau usianya jauh diatas AP dan tidak bisa menjalin hubungan dengan terduga pelaku. AP kembali meyakinkan kalau hal tersebut tidak masalah buatnya. Lantaran mantannya juga usianya di atas dirinya dan ia biasa berelasi dengan perempuan yang lebih berumur.

Terduga pelaku pun mengajak bertemu dengan menawarkan jemputan dari lokasi liputan korban. Setelah itu AP mulai flirting dengan memanggil ‘sayang’ via Whatapps. AP juga kerap bercerita tentang kesedihannya ditinggal ayahnya, kondisi keluarganya, keadaan ekonominya, juga kesulitan dan relasinya yang tidak direstui orang tua. Saat itu LS hanya bersimpati layaknya kawan.

Terduga pelaku juga bertanya pada korban tentang statusnya yang saat itu sedang tidak menjalin relasi dengan siapapun. Korban lalu bertanya soal kecurigaannya kepada pelaku yang mematikan telepon di tengah percakapan.

Dari pengalaman korban hal itu sering dilakukan orang yang memiliki relasi. Namun terduga pelaku menyangkal dan meyakinkan korban kalau dirinya tidak sedang menjalin hubungan dengan orang lain.

AP juga berkali-kali meminta untuk pacaran dengan korban, tapi korban merasa lebih baik mereka berteman saja. Ia mengaku tertarik pada LS dan tidak bisa sekadar berteman. Kalau tidak bisa pacaran dengan LS, ia memilih tidak berkomunikasi sama sekali padahal saat itu AP masih punya utang pada LS.

Lebih jauh AP juga berkali-kali meminta hubungan seksual dengan menjanjikan akan menikahi dan menawarkan cincin. Ia juga membangun ikatan emosional dengan membuat cerita-cerita palsu pada LS.

Baca Juga: Buku ‘Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori’ Perjuangan Penyintas KDRT Berdamai dengan Masa Lalu

LS lalu mengetahui kalau dirinya hanya dijadikan selingkuhan, ditambah ia juga mendapat informasi AP sudah sering melakukan hal tersebut. Kemudian LS speak up melalui medsos soal indikasi perselingkuhan dan penipuan oleh AP.

Kondisi LS sempat down. Akhirnya ia keluar dari media A. Setelah speak up, LS sempat bertemu dengan beberapa pihak yang dianggap memiliki relasi pekerjaan dengan terduga pelaku. FT, jurnalis sekaligus mahasiswa yang juga teman sekantor AP, kebetulan ada di lokasi pertemuan itu dan merekomendasikan untuk melaporkan ke Satgas PPKS Universitas Mulawarman. 

Beberapa hari kemudian LS bertemu Nelly Agustina, Koordinator Savrinadeya. Nelly menawarkan bantuan untuk mendampingi lewat Savrinadeya. Pada 30 Agustus 2023, Savrinadeya melakukan wawancara pertama dengan LS. 

Tanggal 2 September 2023, dilakukan wawancara kedua. Pada hari tersebut FT menghubungi Savrinadeya dan minta untuk menganalisis kasus serta mendorong penanganan terhadap korban. Analisis kasus dimaksudkan untuk mendapatkan tindakan yang tepat di tempat kerja terduga pelaku.

Lalu pada 6 September 2023 korban melapor secara resmi ke Savrinadeya Support Group untuk mendapatkan pendampingan. Pelaporan juga dimaksudkan agar Savrinadeya membantu mengusut kasus yang diadukan.

Modus Terduga Pelaku

Kondisi LS yang down membuat tim Savrinadeya perlu pelan-pelan untuk bisa mendapatkan informasi dari korban. Pendamping menuturkan LS sempat tidak tidur berhari-hari.

“Kita coba reach out ke dia, gimana (kondisinya)? Nah itu perlu pertemuan beberapa kali juga untuk memastikan kronologinya,” tutur Nelly.

Nelly secara intens berkomunikasi dengan LS untuk memantau keadaannya yang saat itu kondisinya masih naik turun.

“(LS) akhirnya mulai pelan-pelan mau terbuka, mau datang sama kita, mau cerita, mau berobat ke psikiater, mau ke psikolog. Mau datang ke support group, mau ngeluarin apa yang dia rasain,” papar Erick Julian, pendamping dari Savrinadeya.

Nelly dan sejumlah pendamping dari Savrinadeya lalu menyusun kronologi dan analisis kasus. Mereka juga melengkapinya dengan bukti-bukti. Ini tak hanya dilakukan pada kasus LS tapi juga pada sejumlah korban lain dari AP yang mau memberikan bukti-bukti.

Selama proses mendampingi LS, Savrinadeya juga mendapat informasi dan berkontak dengan sejumlah perempuan yang menjadi korban AP. Seperti salah satunya seorang korban yang mengalami kekerasan seksual dari AP sekitar tahun 2020. Namun korban tersebut belum mau speak up dan melanjutkan kasusnya akibat trauma yang dialami.

Baca Juga: Apa yang Harus Kamu Lakukan Jika Kamu Jadi Saksi Kasus Kekerasan Seksual?

Selama kasus ini berjalan, Savrinadeya mencatat setidaknya ada 10 korban dari tindak kekerasan seksual yang dilakukan AP. Sebanyak 6 korban berani melaporkan kasusnya ke Savrinadeya, sedang 4 korban lainnya tidak dapat dijangkau. Ini lantaran keempat korban tersebut mengalami trauma dan memilih tidak melapor ke Savrinadeya.

Dari 6 korban tersebut sebanyak 2 orang mendapatkan kekerasan seksual di ranah virtual. Mereka mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO). Keduanya berada di luar Pulau Kalimantan, yakni Jakarta dan Yogyakarta.

Dari informasi dan temuan yang didapat dari para korban, Savrinadeya mengidentifikasi sejumlah modus yang dipakai AP untuk menjerat para korban. AP biasa mendekati calon korban dengan mengomentari storygram akun Instagram para korban. Ia juga memanfaatkan korban secara ekonomi.

AP juga membagikan cerita sedih dan memanfaatkan relasi kuasa dalam konteks relasi intelektual dan kemampuan bahasa. Selain itu AP juga memanfaatkan ruang akademis dan ruang-ruang kegiatan dalam komunitas untuk mencari korban.

“Pola pelaku ini memang seperti itu, mencoba untuk membangun hubungan sehingga mengakibatkan korban-korban itu tidak merasa sebagai korban karena sudah termanipulasi. Dia melakukan manipulasi dengan cara tadi menjual cerita sedih, memanfaatkan (secara) ekonomi, dan sebagainya,” jelas Nelly.

Baca Juga: Film ‘Women from Rote Island’, Panjangnya Perjuangan Perempuan Adat Lepas Dari Kekerasan Seksual

Dari analisis kasus, tim Savrinadeya menemukan ada 11 bentuk kekerasan seksual yang dilakukan AP. Analisis mengacu pada 2 kebijakan, pertama Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Kesebelas bentuk kekerasan seksual tersebut meliputi: menggunakan pola manipulatif seperti membagikan cerita sedih, memanfaatkan secara ekonomi dan menjanjikan pernikahan. Pelecehan verbal, love bombing, pemaksaan penetrasi, kekerasan psikologis, gaslighting, kekerasan fisik, membujuk melakukan aktivitas seksual, dan membujuk melakukan aktivitas anal sex.

Bentuk kekerasan yang lain adalah KBGO berupa ancaman penyebaran dan penyebaran konten intim tanpa persetujuan. Serta melakukan kontak fisik tanpa persetujuan.

Terduga Pelaku Dipecat dari Tempat Kerja

Pada 22 September 2023 Savrinadeya bertemu dengan pemimpin redaksi (pemred) Media B. Mereka menyampaikan hasil analisis kasus beserta bukti pendukung. Erick menuturkan pihaknya lebih dari sekali bertemu dengan pemred media tersebut.

“Kami mendiskusikan masalah itu. Saat itu sebenarnya pemred-nya tidak sepakat dengan perilaku dari terduga pelaku. Tapi memang tidak ada kabar setelah itu,” kata Erick.

Setelah pertemuan tersebut hingga Konde.co mewawancarai tim Savrinadeya, mereka mengaku tidak mendapat informasi lebih lanjut dari media tersebut. Dari FT yang juga bekerja di media tersebut, tim Savrinadeya mendapat kabar pelaku sudah dikeluarkan. AP diberhentikan dari media tempatnya bekerja pada 9 Oktober 2023.

“Terakhir memang sempat disidak terkait permasalahan tersebut. Dari perusahaannya coba untuk bertanya ke pelaku begitu ya. Tetapi pada akhirnya pemecatannya bukan karena dia sebagai pelaku kekerasan seksual,” ujar Nelly.

Informasi yang mereka peroleh alasan pemecatan terduga pelaku lebih terkait dengan aspek profesionalitas. Sementara itu, dengan kondisi psikologisnya yang naik turun korban akhirnya berhenti dari pekerjaannya sebagai jurnalis. LS keluar dari Media B pada 1 November 2023.

Lapor Satgas PPKS Universitas Mulawarman

Posisi AP yang juga masih menjadi mahasiswa Universitas Mulawarman, membuat LS melaporkan AP ke kampusnya. Tim Savrinadeya pun mendampingi LS melapor ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Mulawarman. Korban melapor pada 7 Oktober 2023.

Laporan tersebut ditindaklanjuti Satgas PPKS Unmul dengan melakukan klarifikasi terhadap LS (pelapor). Pada pertemuan pertama tersebut pelapor didampingi Savrinadeya. Di pertemuan pertama tersebut pelapor bertemu dengan psikolog dari Satgas PPKS Unmul.

Ada empat kali pertemuan antara pelapor dengan Satgas PPKS Unmul. Pada pertemuan kedua dan ketiga berlangsung proses BAP (berita acara pemeriksaan).

Saat dilaporkan terduga pelaku sedang menyusun skripsi. Kala itu dia sedang mempersiapkan seminar hasil. Tim Savrinadeya berupaya menginformasikan soal kasus AP ke pihak kampus. Jadi selain melaporkan ke Satgas PPKS Unmul, mereka juga mendatangi Kepala Program Studi (Kaprodi) dan Wakil Dekan.

Mereka mengimbau agar seminar hasil terduga pelaku ditahan dahulu sementara proses penyelidikan oleh Satgas PPKS masih berjalan.

“Kita juga berupaya agar pihak kampus mengetahui (kasus) ini. Jadi kita sempat mendatangi Wakil Dekannya, Kaprodinya, untuk berusaha menginformasikan juga bahwa dia adalah pelaku. Sebaiknya ditahan dulu untuk bicara tentang seminar hasilnya karena memang ada proses yang masih berlanjut. Saat itu posisinya kita sudah melaporkan ke Satgas,” papar Nelly.

Namun pihak kampus saat itu beralasan belum mendapat surat keterangan dari Satgas. Karena itu kampus tidak bisa menghentikan sementara waktu aktivitas akademik terduga pelaku.

Baca Juga: Aktivis Ajak Publik Empati Pada Korban, Melki Sedek Terbukti Lakukan Kekerasan Seksual

Tak berhenti di situ, tim Savrinadeya juga berupaya menggalang solidaritas dari berbagai unsur, termasuk sejumlah dosen Universitas Mulawarman. Terdapat beberapa dosen yang mendengar kasus ini dari salah seorang korban. Korban ini merupakan salah satu dari 6 korban yang melapor ke Savrinadeya. Ia adalah mahasiswa Universitas Mulawarman dan adik kelas terduga pelaku.

Salah satu dosen tersebut merupakan dosen penguji terduga pelaku. Setelah tahu bahwa AP diduga terlibat dalam kasus kekerasan seksual dan kasusnya sedang ditangani, ia minta AP menyelesaikan dahulu masalahnya. Proses seminar hasil baru bisa dilanjutkan kalau kasusnya sudah selesai.

Dalam proses pendampingan kasus terhadap LS, sepanjang Oktober 2023 tim Savrinadeya menemukan sejumlah korban AP yang lain. Mereka menemukannya lewat media sosial dan melalui beberapa pihak dari kerabat korban.

Pada 12 Oktober 2023 Savrinadeya bertemu dengan korban, sebut saja X, untuk mencatat kronologi sekaligus kesaksiannya. Begitu juga pada 23 Oktober 2023, Savrinadeya bertemu dengan korban (Y) untuk membuat kronologi dan minta kesaksiannya.

Savrinadeya menemukan saksi (Z) pada 28 Oktober 2023 melalui media sosial Twitter atau X dan menghubunginya untuk mencatat kronologi.

Meski ada beberapa korban, untuk saat ini Savrinadeya fokus pada LS, korban yang melaporkan diri ke Satgas PPKS Unmul. Sementara untuk para korban Savrinadeya juga melakukan pendampingan. Pada 26 November 2023 tim Savrinadeya mengadakan Support Group bagi setiap pelapor yang mengadukan kasus dengan pelaku yang sama. Proses tersebut didampingi oleh psikolog klinis.

Proses pendampingan terhadap LS secara perlahan akhirnya membuat korban mau berkonsultasi dengan psikiater. Pada 21 Desember 2023 LS mendapatkan obat dan pengobatan intensif dari psikiater.

Kritik Terhadap Penanganan Kasus Oleh Satgas PPKS Universitas Mulawarman

Dalam perkembangan penanganan kasus ini Savrinadeya merasa Satgas PPKS Universitas Mulawarman melakukan sejumlah kejanggalan dan tidak profesional. Karena itu Savrinadeya bersama sejumlah organisasi dan individu yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual mengkritik kinerja Satgas PPKS Unmul.

Kritik disampaikan Koalisi dengan menggelar konferensi pers pada Sabtu 24 Februari 2024. Savrinadeya menegaskan kritik terhadap Satgas PPKS Unmul tidak dimaksudkan sebagai sentimen personal.

“Kritik yang kami sampaikan kepada lembaga Satgas itu bukan bersifat sentimen, tetapi bersifat objektif. Karena mungkin saja bukan cuma di Satgas Unmul yang dalam keadaan seperti ini, mungkin banyak juga satgas-satgas yang punya problem yang sama,” ujar Nelly.

Koalisi berharap kritik mereka bisa mendorong pemangku kepentingan terkait agar memajukan perspektif orang-orang yang tergabung di satgas. Lebih lanjut diharapkan dalam penanganan kasus satgas benar-benar berpihak pada korban. Bukan sebatas retorika namun juga terimplementasi dalam tutur dan sikap. 

Savrinadeya mengungkapkan dalam proses BAP terhadap korban atau pelapor, pertanyaan yang diajukan psikolog dinilai tidak berperspektif korban. Pertanyaan tersebut seperti, “Sakit gak, kalau sakit berarti AP tidak jago?”

Pertanyaan itu muncul pada proses BAP yang berlangsung di pertemuan ketiga. Saat itu pelapor bertemu dengan psikolog forensik dari Satgas PPKS Unmul seorang diri. Sementara pendamping dari Savrinadeya diminta menunggu di luar ruangan.

Baca Juga: Tak Punya SOP Hingga Bias Gender: Peta Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus

Di awal korban tidak menyadari kalau pertanyaan tersebut merupakan bentuk pelecehan. Dia menganggapnya sebagai bagian dari prosedur pemeriksaan. Tapi setelah pemeriksaan tersebut korban jadi merasa makin sedih dan terguncang secara psikis.

Setelah mengetahui kondisi korban, tim Savrinadeya fokus mendampingi korban. Nelly lalu mencoba mengonfirmasi soal tersebut ke Ketua Satgas PPKS saat dirinya ditelepon. Menurut ketua satgas PPKS pertanyaan itu sudah sesuai dengan prosedur. Nelly juga menyampaikan korban minta waktu untuk melanjutkan kasusnya karena merasa dirinya dilecehkan.

Bahkan menurut Nelly, ketua Satgas PPKS Unmul sempat melontarkan pernyataan yang cenderung menyalahkan korban. Pernyataan ini disampaikan saat Nelly bertemu dengan ketua Satgas PPKS untuk proses BAP. Ia membahas soal aspek hukum dan posisi korban yang dianggap menginisiasi tindakan terduga pelaku.

Saat itu Nelly menyatakan keberatan dengan sikap Satgas. Tapi Satgas berdalih tindakan mereka sudah sesuai dengan prosedur.

Selain itu ada anggapan dari Satgas bahwa pendamping kasus tidak valid menyampaikan informasi. Saat melaporkan kasus tersebut, Savrinadeya memberikan kronologi kasus kepada Satgas PPKS. Namun pada pertemuan kedua saat korban dimintai keterangan, ia menangis dan tidak bisa menjelaskan kronologi secara gamblang.

Nelly yang saat itu mendampingi korban kemudian membacakan kronologi kasusnya. Kronologi tersebut disusun tim Savrinadeya berdasarkan penjelasan korban dalam proses pendampingan bersama tim Savrinadeya. Pemeriksaan kedua tersebut kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan ketiga dengan pendamping tidak diperbolehkan masuk dalam ruang pemeriksaan.

Baca Juga: Ayah di Aceh Perkosa Anaknya Hingga Melahirkan, Korban Kesana Kemari Cari Keadilan 

Esty menambahkan sikap Satgas PPKS Unmul yang tidak berpihak pada korban memunculkan pertanyaan terkait fungsi satgas. “Apakah memang dia lembaga kampus yang pada akhirnya seperti kepolisian?”

Selain tidak berperspektif korban, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual juga menilai penanganan kasus ini berjalan lamban. Juru bicara Koalisi dalam konferensi pers yang digelar Sabtu (24/2/24) mengatakan upaya untuk mendorong kasus ini selalu terhambat permasalahan administratif.

Proses Pemeriksaan Satgas PPKS Universitas Mulawarman

Pada 13 Oktober 2023 sekitar sepekan setelah LS dan pendampingnya membuat laporan lewat kanal pengaduan, Satgas PPKS Unmul bertemu pelapor. Proses ini merupakan prosedur yang dijalankan tim satgas PPKS Universitas Mulawarman dalam penanganan kasus kekerasan seksual (KS).

Ketua Satgas PPKS Universitas Mulawarman, Haris Retno kepada Konde.co mengatakan pada pemeriksaan awal tim satgas merasa tidak cukup informasi yang bisa digali.

“Panduan buat bekerjanya satgas PPKS itu Permen 30 tahun 2021, di Pasal 5, Ayat 2, diatur 21 jenis kekerasan seksual. Jadi tugasnya Satgas itu pertama memastikan kondisi korban aman. Kedua dalam proses penanganan harus memastikan menemukan pelanggaran KS yang dilakukan pelaku masuk kategori mana dari 21 jenis itu,” ujarnya.

“Nah karena pemeriksaan awal itu kami belum mendapatkan titik terang, jadi waktu itu kami sampaikan kepada korban. Bisa nggak kalau korban bertemu langsung dengan psikolog dari tim pendampingan Satgas PPKS untuk mendapatkan gambaran bentuk KS-nya,” tambahnya.

Koordinator Divisi Pendampingan Lisda Sofia mengatakan pada pertemuan kedua pemeriksa menjelaskan di awal korelasi atau relevansi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam konteks pemeriksaan dan penanganan kasus. Saat itu tim satgas juga menyampaikan mungkin akan ada pertanyaan-pertanyaan yang terkesan sensitif yang akan membuat pelapor merasa tidak nyaman.

Baca Juga: ‘Apakah Harus Jadi Korban Yang Sempurna agar Dibela?’ Pertanyaan Mitos yang Harus Disudahi

“Itu kita sudah sampaikan di awal. Kemudian kita sampaikan juga bahwa ketika pelapor merasa tidak nyaman, boleh sekali untuk menghentikan jalannya pemeriksaan atau menolak untuk menjawab. Dan itu beberapa kali disampaikan hampir setiap kali kita ingin mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sensitif,” kata Lisda.

Lisda menambahkan satgas menyampaikan pertanyaan sensitif dengan sangat hati-hati. Misalnya dengan intonasi suara pelan, dengan kata-kata yang sangat dipilih, dengan tempo perlahan, dsb. Singkatnya satgas berpegang pada standar operasional prosedur (SOP) penanganan kasus kekerasan. Karena itu adanya ketidaknyamanan dari pelapor bukan hal yang disengaja.

“Tapi mungkin tidak bisa terhindarkan kalau ternyata hal itu membuat pelapor menjadi merasa tidak nyaman. Tapi tidak ada niatan sama sekali untuk misalnya melecehkan atau merendahkan. Tidak ada seperti itu,” jelas Lisda.

Ia menambahkan satgas juga tidak bisa menghindari kalau proses pemeriksaan terhadap pelapor menimbulkan ekses-ekses tidak nyaman. Tapi menurut Lisda semua prosedur atau standar-standar yang seharusnya dilakukan pada pemeriksaan korban kekerasan sudah dijalankan.

Lisda menyayangkan pendamping tidak melaporkan kepada psikolog pendamping ketika ada ekses dari pemeriksaan secara psikis. Ia menjelaskan dalam proses pemeriksaan ada psikolog pendamping yang mendampingi korban, mestinya hal tersebut dilaporkan kepada psikolog pendamping. Karena fungsi psikolog pendamping untuk menstabilkan atau mengembalikan rasa percaya korban.

Baca Juga: Khristianti Weda Tantri: Dear Calon Presiden 2024, Sudahkah Anda Peduli dengan Isu Kekerasan Seksual?

Proses BAP kedua terhadap pelapor dilakukan pada 30 Oktober 2023. Pada pemeriksaan kedua tim satgas PPKS menemukan dugaan kekerasan seksual sehingga pemeriksaan dikembangkan. Setelah tim satgas minta keterangan dari pelapor sebanyak dua kali, mereka lalu minta keterangan dari saksi yang diinformasikan oleh Savrinadeya.

Haris mengungkapkan setelah itu satgas mengembangkan pemeriksaan dan bertemu dengan satu korban yang mau memberikan keterangan. Namun korban ini tidak mau jadi pelapor, dia hanya ingin menceritakan pengalamannya dalam berelasi dengan AP. Selain itu satgas juga minta keterangan dari beberapa saksi.

Haris juga mengakui dalam proses penanganan kasus pendamping korban pernah menginformasikan bahwa korban tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan satgas. Karena itu korban mau menarik laporannya. Namun Haris mengatakan kasus KS bukan delik, jadi kalau bukti-bukti cukup, kasus bisa tetap dilanjutkan.

“Jadi kasus ini tetap berjalan, meskipun ada informasi dari pendamping kalau korban mau menarik laporan. Tapi dari pihak pelapor belum pernah ada pernyataan resmi akan menarik laporannya, sehingga kami tetap melakukan pemeriksaan,” katanya.

Tim satgas menyampaikan ke pendamping kalau satgas sudah mendapatkan cukup bukti, mereka akan melakukan gelar kasus sebelum kesimpulan rekomendasi diserahkan ke pimpinan kampus.

Sepanjang Desember 2023 hingga Januari 2024 mahasiswa libur, jadi kampus tidak ada aktivitas perkuliahan. Karena itu tim satgas tidak melakukan aktivitas pemeriksaan di hampir semua kasus. Meski begitu Haris mengungkapkan timnya tetap mengerjakan hasil-hasil pemeriksaan dan menggali informasi yang mendukung.

Baca Juga: Perempuan di Jabodetabek Paling Banyak Jadi Korban Penyebaran Foto Bernuansa Seksual

Satgas melakukan pemeriksaan terhadap terlapor atau terduga pelaku pada 4 Desember 2023. Proses pemeriksaan berlangsung hampir seharian.

“Kita ajukan lebih dari 40 pertanyaan terhadap terlapor,” kata Fajar Apriani, Koordinator Divisi Pengaduan Satgas PPKS Universitas Mulawarman.

Namun satgas menolak memberikan keterangan terkait temuan pemeriksaan. Pasalnya proses pemeriksaan masih berlangsung.

“Kami belum bisa buka kasusnya secara detail, karena ini masih tahap pemeriksaan. Permen 30 pun menyebutkan Satgas hanya boleh menyampaikannya ke pimpinan perguruan tinggi, yaitu Pak Rektor,” jelas Haris.

Tindak lanjut dari pemeriksaan terlapor pada 10 Januari 2024 Satgas mengajukan permohonan nonaktif terlapor kepada Universitas. Surat Keputusan Rektor Universitas Mulawarman tentang pemberian status non aktif terhadap terduga pelaku keluar pada 31 Januari 2024.

Dari proses pengajuan hingga keluar SK Rektor ada jeda waktu karena ada prosedur yang mesti dijalankan. Haris menjelaskan status nonaktif terhadap terlapor bukan bentuk sanksi melainkan untuk kebutuhan pemeriksaan.

Menurut Haris penonaktifan terduga pelaku punya dampak yang besar karena terlapor sudah dijadwalkan untuk ujian akhir. Status tersebut membuat proses studinya terhenti. Ia menambahkan terduga pelaku sempat protes kepada satgas atas penonaktifan tersebut.

Pada 19 Januari 2024 tim satgas terhubung langsung dengan korban tanpa pendamping. Haris menjelaskan saat itu pendamping memang menyampaikan ingin mendampingi, tapi tim satgas minta sesi pemeriksaan tersebut hanya untuk korban dengan satgas. Pasalnya satgas ingin mendengar langsung keterangan klarifikasi dari korban.

Pada pertemuan itu, satgas memberikan update ke pelapor terkait perkembangan kasus. Selain itu satgas juga melakukan klarifikasi, pertama soal niat pelapor mencabut kasus. Menurut Haris pelapor ingin kasus terus berlanjut.

Baca Juga: 25 Penyintas Kekerasan Seksual Tuntut Keadilan di Panggung Perempuan Merdeka 2023

Kedua, satgas juga menanyakan keberadaan pelapor pada tanggal 23 November 2023 malam. Satgas mengatakan pelapor mengklarifikasi pada malam ketika tim Savrinadeya mendatangi rumah pelaku, pelapor tidak ada di sana. Ketiga, satgas mengonfirmasi beberapa poin yang disanggah pelaku dalam pemeriksaan dan minta pelapor mengklarifikasi.

Setelah itu Satgas merasa informasi awal tersebut sudah cukup meskipun ada informasi yang masih perlu digali. Tim advokasi satgas sudah membuat kesimpulan dan rekomendasi.

Pada Februari 2024 satgas mengadakan pleno di internal satgas untuk beberapa kasus yang sedang ditangani. Pleno dimaksudkan untuk memastikan hal-hal seperti ketepatan pasal yang dikenakan, hasil pemeriksaan terbukti atau tidak, hasil telaah tim advokasi hukum satgas, dll.

Pleno kasus dengan terduga pelaku AP dilaksanakan pada 8 Maret 2024. Dari pleno tersebut ada beberapa keterangan saksi-saksi yang masih perlu ditambahkan. Saksi tersebut merupakan pengembangan dari keterangan saksi yang sebelumnya.

“Di awal kan kita rasa kasusnya cukup itu saja. Jadi satu pelapor, dua saksi korban, dan ada dua saksi tambahan, itu kita rasa cukup. Namun di hasil pleno kemarin ada hasil kajian kita bahwa perlu penambahan keterangan karena ada informasi tambahan tapi dari saksi yang berbeda. Kita masih mengupayakan untuk mendapatkan keterangan saksi itu,” kata Haris.

Tim Satgas belum bisa memastikan kapan proses pemeriksaan kasus AP akan selesai. Haris berjanji tim satgas akan menginformasikan kepada publik kalau kesimpulan dan rekomendasi sudah diserahkan ke perguruan tinggi dan keluar sanksi.

Pengaduan ke Polres Samarinda

Sementara itu pada Senin (4/3/24) pendamping hukum korban, LBH Samarinda membuat pengaduan kasus ke Polresta Samarinda. Pengaduan terkait dugaan tindakan pidana kekerasan seksual yang dilakukan AP terhadap LS.

Direktur LBH Samarinda Fathul Huda kepada Konde.co mengatakan laporan diterima unit PPA Polresta Samarinda. Pihaknya saat ini menunggu tindak lanjut dari kepolisian.

“Tinggal kita nunggu aja karena kan masih harus naik ke Kasat (Kepala Satuan). Habis dari Kasat nanti penunjukkan penyidiknya di unit PPA, baru nanti ada panggilan untuk pemeriksaan saksi pelapor atau korban,” ujarnya.

Fathul menjelaskan proses pengaduan dilakukan oleh LBH Samarinda karena setelahnya dilanjutkan dengan konferensi pers. Karena itu korban tidak hadir dalam pengaduan dengan pertimbangan kondisi psikologisnya.

Sementara menurut pendamping Savrinadeya saat ini korban masih berupaya mengatasi traumanya. Korban berharap untuk proses penanganan di internal kampus terduga pelaku mendapat sanksi tegas dengan dikeluarkan. 

“Keinginan korban setidaknya (terduga pelaku) dikeluarkan mengingat korbannya banyak dan prosesnya ada manipulasi,” pungkas Nelly.

Hotline Pengaduan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan:

Komnas Perempuan
Telepon: 0213903963
Surel: mail@komnasperempuan.go.id

LBH APIK Jakarta
Hotline (WA): 081388822669
Telepon: 02187797289
Surel: pengaduanlbhapik@gmail.com / lbh.apik@gmail.com

LBH Jakarta Telepon: 0213145518
Surel: lbhjakarta@bantuanhukum.or.id

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Telepon: 0213929840
Surel: info@ylbhi.or.id

Safe Net (KBGO)
Hotline: 08119223375
Surel: info@safenet.or.id

Kolektif advokat untuk keadilan gender (KAKG)
Form: bit.ly/FormAduanKAKG
Surel: konsultasi@advokatgender.org

Yayasan Lentera Sintas Indonesia
Twitter: @LenteraID
Instagram: @lentera_id

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!