Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Mengucapkan Selamat Hari Raya Pada Teman Beda Agama Itu Bukan Dosa

Apakah mengucapkan selamat hari raya kepada teman yang beda agama itu dosa? Mengucapkan selamat hari raya pernah jadi pertanyaanku ketika ada orang yang mengatakan bahwa itu haram hukumnya.

Di bulan Ramadhan ini, Konde.co menyajikan tulisan khusus dari para perempuan muda soal refleksi  mereka tentang keberagaman. Edisi ini bisa kamu baca mulai 10-16 April 2023.

Suatu hari, seorang kawan mengatakan ini pada saya:

“Kamu mana tahu rasanya dan sulitnya menjadi minoritas, saat kamu sendiri terlahir dari kalangan mayoritas.” 

Beberapa tahun terakhir kata-kata ini mengusik sekali, apalagi saat memutuskan untuk berjuang di isu perempuan dan keberagaman, saya jadi merasakan betul makna berjuang dan keluar dari “zona nyaman.”

Terlahir dari keluarga Muslim, dan semua sanak famili juga memeluk Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, saya tidak pernah merasakan menjadi minoritas. Pun berasal dari suku Jawa tanpa campur suku dan ras lainnya, saya juga tidak menemukan proses dialogis yang sulit, karena tidak banyak perbedaan yang terjadi di lingkungan saya

Juga saat melanjutkan pendidikan di pesantren, saya juga tidak menemukan banyak proses penyesuaian, karena semua yang dikaji dan dipelajari, tentu saja hanya tentang ajaran agama Islam dan ilmu-ilmu terkait lainnya.

Namun belakangan, lagi-lagi saya mempertanyakan keberadaan saya sebagai mayoritas. Perasaan ini muncul misalnya ketika dalam sebuah pengajian, seorang pemateri menyampaikan, 

“Haram hukumnya mengucapkan natal kepada non-muslim” 

Atau di momen lainnya disampaikan 

“Jika seorang non-muslim mengucap salam padamu, maka jawablah ‘as-sam ‘alaikum (celaka bagimu).

Hingga suatu hari, saat pertama kali saya berelasi dengan seorang kawan beda agama, cukup lama sekali saya berdialog dengan diri sendiri, ‘Apa yang harus saya sampaikan kepadanya saat natal, setelah sebelumnya dia mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri dan beragam ucapan lainnya di hari-hari besar Islam.’

Cukup lama saya berdialog dengan diri sendiri atas berbagai dogma yang saya dengar dari beberapa pengajar tersebut. Terkadang saya bertanya-tanya ‘Apa iya dengan mengucapkan natal pada teman berbeda agama ini, keimanan saya luntur’ atau ‘Masa sih kita harus mendoakan seseorang celaka, padahal orang tersebut mengucap salam dan mendoakan keselamatan bagi kita.’

Dalam beberapa pengajian, terkadang saya juga masih mendengar kitab-kitab jihad dan Harb (Perang) yang terjadi pada masa awal penyebaran agama Islam itu dikaji, dan menimbulkan rasa empati yang berujung pada skeptis pada golongan lain.

Jika dipikir-pikir lagi, kenapa pembahasan ini perlu dikaji, padahal kita sudah hidup damai dalam nuansa kebhinekaan di bawah naungan NKRI. Mungkin tak masalah jika dikaji untuk mengenang sejarah, namun jika berpotensi menimbulkan perpecahan, bukankah cukup hanya dengan mengkaji teladan Nabi dalam berelasi dengan antar umat beragama pada masa itu.

Teladan Nabi Muhammad SAW dalam Berelasi dengan Antar Umat Beragama

Salah satu kunci agar terbuka dengan berbagai keberagaman dan terhindar dari fanatisme golongan adalah dengan memperbanyak buku bacaan yang beragam, menghadiri berbagai majelis dan forum keilmuan yang menambah pengetahuan, serta memperluas pergaulan.

Melalui proses belajar ini, justru saya menemukan berbagai teladan Nabi Muhammad SAW dalam berelasi dengan antar umat beragama, juga membuka wawasan saya tentang pemaknaan jihad dan peperangan di zaman Nabi yang terjadi saat menyebarkan agama Islam.

Dalam beberapa kitab Shirah Nabawiyah dan juga dari berbagai kajian, salah satu momentum penting bagi peradaban manusia terkait relasi sosial yang harmonis antar pemeluk agama itu adalah adanya Piagam Madinah. Sebuah konstitusi Madinah yang dicetuskan oleh Nabi Muhammad SAW pada tahun ke-13 kenabian (623 M).

Piagam Madinah ini merepresentasikan relasi persaudaraan, persatuan, dan kerjasama antar umat beragama di kota tersebut. Kisah-kisah kehidupan Nabi di masa itu semakin meneguhkan keyakinan saya, bahwa menghormati keberagaman dan menjaga hak hidup antar sesama manusia itu adalah sebuah kewajiban.

Di beberapa riwayat hadist lainnya, seperti yang tercantum dalam kitab Shahih Al-Bukhari hadist No. 7279 dan Shahih Muslim hadist No. 4438 dan 4411, Nabi Muhammad SAW juga menolak ajakan menzhalimi pemeluk agama lain.

Ketika di sekeliling kita seringkali terjadi bentrokan antar umat beragama hanya karena ingin membangun tempat ibadah, justru Nabi telah memberi teladan untuk tidak merusak rumah ibadah dan tidak melarang mereka dalam mengamalkan ajaran kepercayaannya. Sebagaimana dikisahkan dalam Sirah Ibnu Ishaq tentang sekelompok Kristen Bani Najran yang sedang mengunjungi Madinah.

Alkisah, sekelompok Bani Najran yang berjumlah 14 orang ini masuk ke masjid Nabawi dan melakukan ibadah ala Kristen, sementara umat muslim hendak melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Alih-alih melarang mereka sebagaimana desakan para sahabat kala itu, justru Nabi diam saja dan membiarkannya. Bahkan Nabi memperlakukan mereka dengan baik. 

Dengan membaca berbagai referensi dan berguru dengan banyak orang, saya juga semakin tenang karena memiliki perspektif baru dalam memahami konsep peperangan dan jihad di masa Nabi yang sempat menggelisahkan.

Dari berbagai telaah tersebut, saya tercerahkan bahwa peperangan Nabi itu bukan karena faktor berbeda agama, melainkan untuk mempertahankan komunitas Madinah yang di dalamnya pun beragam.

Misalnya Perang Badar terjadi karena orang-orang Quraish yang terus-menerus memprovokasi seluruh kabilah untuk membenci dan memusuhi komunitas Nabi Saw di Madinah. Mereka mengusir Nabi dan para sahabat, serta merampas harta secara paksa. Bahkan pasukan Quraish melakukan penyerangan duluan dan menyerbu Madinah.

Pemahaman-pemahaman ini membuat saya semakin yakin bahwa agama Islam yang saya jalani tidak pernah mengajarkan tentang kekerasan. Bahkan teladan Nabi Saw yang saya temukan dari berbagai referensi dan kajian tersebut, selalu mengingatkan bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk bertemu, saling mengenal, dan saling bekerjasama untuk kebaikan dan keadilan.

Istiqomah dalam Membangun Dialog Antar Umat Beragama 

Sungguh bersyukur sekali, setelah mengalami berbagai kegamangan, akhirnya saya menemukan ruang belajar agama yang inklusif dan menepis segala kegelisahan yang pernah dialami. Tentu ini bukan proses yang mudah, karena kita selalu dihadapkan pada beragam pemikiran dan gerakan yang ada.

Misalnya pada saat pandemi, saya dan beberapa kawan komunitas di Indramayu bekerjasama dengan Gereja Katolik melakukan vaksinasi gratis untuk warga sekitar. Dengan sabar kita mendialogkan bahwa gerakan tersebut murni atas dasar kemanusiaan, setelah mendengar adanya kekhawatiran terkait gerakan terselubung keagamaan.

Atau pada saat menyampaikan materi keberagaman di media sosial, yang mungkin jarang atau bahkan baru diketahui oleh khalayak pada umumnya, tak jarang saya juga mendapatkan komentar-komentar yang beragam, setuju dan tidak setuju yang menimbulkan polemik perdebatan.

Tentu perjuangan untuk membangun dialog antar umat beragama, di tengah gerakan penyebaran narasi ekstrim lainnya yang memecah belah umat untuk kepentingan tertentu, bukan lah hal yang mudah. Namun seiring keistiqomahan kita dan keyakinan dari diri masing-masing, semoga keberagaman ini membuat kita saling menguatkan, bukan sebaliknya.

Vevi Alfi Maghfiroh

Alumni Peace Innovation Academy, yang sedang belajar dan berkhidmat di Mubadalah.id dan Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!