Hukum Cambuk, Catatan Pelanggaran Perempuan Atas Perda Qanun Jinayat


 

“Ada 3 macam hukuman dalam Qanun Jinayat ini yaitu penjara, membayar denda dengan emas dan dihukum cambuk yang dilakukan 10 sampai 200 kali di depan masyarakat umum.”

Luviana – www.konde.co

Jakarta, Konde.co – Komnas Perempuan mencatat hingga tahun 2016 terdapat 421 Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif terhadap perempuan. Jumlah ini bertambah dari 389 Perda diskriminatif di tahun 2016.

Qanun Jinayat atau Perda Aceh no.6/2014 merupakan salah satu kebijakan diskriminatif tersebut. Solidaritas Perempuan dalam laporan catatan pelanggaran Perda diskriminatif terhadap perempuan menyebutkan bahwa Qanun ini merupakan kebijakan atas nama syariat islam, dengan interpretasi islam yang tunggal dan tidak mempertimbangkan berbagai keberagaman yang ada di dalam islam maupun masyarakat Aceh.

Solidaritas Perempuan (SP) melihat Qanun ini menimbulkan potensi diskriminasi bahkan kriminalisasi bagi masyarakat yang memiliki interpretasi berbeda dalam memahami dan menjalankan islam.


Diskriminasi dalam Perda Qanun Jinayat

Melalui interpretasi tunggal tersebut, Qanun ini kemudian mengatur beberapa tindak pidana seperti khalwat (berdua antara perempuan dan laki-laki) dan sex di luar hubungan perkawinan, dimana kedua tindakan tersebut bukanlah tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini tidak hanya dinilai diskriminatif tetapi juga melanggar hak privasi masyarakat.

Selain itu pengaturan di dalam Qanun tidak hanya berlaku bagi orang islam, tetapi orang yang tidak beragama islam juga dapat menjadi subyek implementasi kebijakan tersebut.

“Setiap orang beragama bukan islam yang melakukan perbuatan yang dilarang Qanun bersama dengan orang islam dan memilih serta menundukkan diri secara sukarela pada hukum Qanun Jinayat serta setiap orang beragama bukan islam yang melakukan perbuatan yang dilarang Qanun yang tidak diatur di dalam KUHP tetapi diatur dalam Qanun ini.”

Melalui pengaturan tersebut, Qanun ini jelas tidak mempertimbangkan keberagaman nilai yang ada di masyarakat, bahkan cenderung memaksakan interpretasi tunggal dan syariat islam untuk diberlakukan terhadap semua pihak.

Di sisi lain, Solidaritas Perempuan melihat kebijakan ini gagal memberikan keadilan bagi perempuan, misalnya dalam kasus perkosaan, korban harus memberikan bukti dalam kasus perkosaan yang menimpanya. Hal ini sulit dilakukan karena perkosaan sering tidak dilihat atau diketahui oleh siapapun. Ketentuan ini dengan sendirinya akan membuat korban perkosaan sulit mendapatkan keadilan.


Hukuman Cambuk bagi Perempuan

Sejak berlakukan Qanun Jinayat pada bulan Oktober 2015 lalu, terdapat 33 kasus yang tercatat oleh Solidaritas Perempuan, dimana masyoritas kasus yang dieksekusi adalah khalwat atau berduaan perempuan dan laki-laki.  Eksekusi ini dilakukan di depan publik dan biasanya ditonton oleh banyak orang.

Koordinator Program Solidaritas Perempuan, Nissa Yura dalam sebuah diskusi tentang Perda Qanun Jinayat yang diselenggarakan Solidaritas Perempuan pada 6 Desember 2016 lalu di Jakarta menyatakan bahwa eksekusi ini merupakan bentuk kekerasan dan melanggar HAM.

“Eksekusi ini bukan hanya merupakan pelanggaran fisik tetapi juga psikis, yang berdampak pada trauma psikologis orang yang dicambuk. Eksekusi yang dilakukan di hadapan publik dan memperlihatkan wajah orang yang dieksekusi secara jelas juga akan berdampak pada pengucilan sosial, stigma dan stereotype perempuan,” ujar Nissa Yura.

Selain itu, seringkali aparat setempat seperti Wilayatul Hisbah (Sharia Police) menggunakan ukuran masing-masing dalam menginterpretasikan isi Qanun Jinayah tanpa melihat dampak lanjutan bagi korban yang mendapatkan hukuman tersebut.

Hingga sekarang, tidak terlihat bagaimana tindakan yang dilakukan pemerintah Aceh dalam memulihkan orang yang dicambuk, atau pemulihan apabila tuduhan yang dilakukan tidak terbukti.

“Selain melanggar Convention Againts Torture and Other cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) yang telah diratifikasi melalui UU no. 5/1998, Qanun Jinayat juga melanggar UU 11/2012 tentang sistem peradilan anak dan UU 23/2002 tentang perlindungan anak,” ujar Nissa.

Di dalam Qanun Jinayat anak akan mendapat hukuman sepertiga dari hukuman cambuk orang dewasa. Hukuman ini tentu akan berdampak pada masa depan anak apalagi eksekusi dilakukan di depan publik dan dilihat oleh banyak orang.


Temuan Khusus Terhadap Perempuan Atas Qanun Jinayat

Solidaritas Perempuan mencatat bahwa dalam implementasinya, yang banyak ditangkap kemudian adalah perempuan. Pada laporan tahunan yang dilakukan Jaringan Pemantau Aceh (JPA) yang dilakukan gerakan perempuan Aceh menyebutkan bahwa pemberlakuan kebijakan diskriminatif dalam Qanun Jinayat tidak menjamin penghapusan kekerasan terhadap perempuan, namun justru membuat kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat.

“Eksekusi yang dilakukan di hadapan publik juga akan memberikan dampak berlapis bagi perempuan. Perempuan biasanya akan menerima stigma dan diskriminasi berlapis setelah terkena hukuman cambuk. Hal ini mengakibatkan trauma dan depresi pada perempuan,” ujar Nissa Yura.

Selain persoalan tersebut, proses pembuatan Qanun Jinayat juga dianggap tidak partisipatif dalam melibatkan masyarakat terutama perempuan. Berdasarkan hasil pemantuan Solidaritas Perempuan, hanya 2,4% yang mendapatkan informasi dari pemerintah daerah, sementara 48,6% justru tidak mendapatkan informasi dan penjelasan apapun.


Rekomendasi Pelaksanaan Qanun Jinayat

Temuan ini secara jelas memberikan efek buruk bagi perempuan. Maka Solidaritas Perempuan merekomendasikan agar pemerintah Indonesia melalui Kemendagri untuk mereview dan mencabut Qanun Jinayat dan memastikan tidak ada kebijakan yang mendiskriminasi perempuan.

“Pemerintah harus membangun mekanisme yang tegas dalam prose kebijakan perundangan dan melibatkan masyarakat sipil dalam proses pembuatan kebijakan,” ujar Nissa Yura.

(Disarikan dari: Catatan Pelanggaran Hak Perempuan oleh Peraturan Daerah Aceh No.6/2014 tentang Hukum Pidana/ Qanun Jinayat oleh Solidaritas Perempuan di tahun 2016)

(Foto/Ilustrasi: Pixabay.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!