Kartika Jahja: Tubuhku Adalah Milikku

Luviana – www.konde.co

Jakarta, Konde.co – Kartika Jahja, penyanyi independen dari Tika and the Dissident dan pegiat gender mulai belajar soal feminisme ketika ia tergabung dalam band Yoko Phono dan Rhea Sisters Project ketika ia sedang belajar di the Art Institute of Seattle’. Ia tak belajar feminisme melalui bangku sekolah atau dari membaca buku. Namun dari menjadi anggota band inilah justru tempaan terhadapnya terjadi. Ia menjadi tahu bahwa musik kemudian bisa menolong perempuan, bisa mempelajari soal relasi antara suami dan istri di rumah dan bisa mengajak orang untuk mendobrak kultur yang belum berpihak pada perempuan.

Maka setelah ia selesai sekolah dan kembali ke Indonesia, ia kemudian banyak menerbitkan lagu, video sekaligus berkampanye soal kesetaraan terhadap perempuan melalui musik.

No, I’m Beautifull. It Doesn’t Matter

Lewat salah satu karya lagu dan video yang dibuatnya berjudul “Tubuhku, Otoritasku,” Kartika kemudian mewujudkan salah satu impiannya, yaitu membuat musik dan video untuk perempuan. Dalam karyanya ini Kartika kemudian menyoal tubuh perempuan dan mengajak sejumlah perempuan, ada aktivis perempuan, ada perempuan Lesbian, Biseksual dan Transgender (LBT), ada juga rupa-rupa lain seperti perempuan mengenakan kemben, ada yang mengenakan jilbab, ada yang kulitnya coklat, hitam, putih. Ada yang gendut, bertubuh sedang maupun kurus.

“Video ini memang merupakan ekspresi kami tentang perempuan. Perempuan selama ini selalu dinilai dari tubuhnya. Harus kurus, cantik dan putih. Di video inilah saya kemudian mengajak banyak teman untuk mendobrak ini, Di video ini kita menyajikan keberagaman soal umur, asal daerah, pilihan seksualitas, pilihan baju-baju yang berbeda. Yang belum terwakili hanya dari kelompok dissable,” ujar Kartika Jahja, yang ditemui di Jakarta Kamis (13/05/2016) kemarin.

Yang mengejutkan, setelah video ini dirilis, Tika banyak mendapatkan tanggapan, banyak yang positif, tapi ada juga yang negatif.

“Tanggapan positif, banyak yang mengapresi ya, namun tanggapan negatifnya misalnya dinilai kebarat-baratanlah, video ini dianggap menodai agamalah, juga pernah dapat ancaman pembunuhan.”

Padahal sebenarnya Tika justru ingin mengajak perempuan untuk mencintai tubuhnya dan merayakan keberagaman, misal gak perlu cantik untuk bisa menikmati hidup, gak perlu kurus untuk menikmati hidup, gak perlu putih untuk mencintai tubuhnya sendiri. Dengan ini, justru kita menjadi bersyukur dengan tubuh yang kita miliki. 

“Dulu saya sering ditanya, mengapa sekarang tambah gemuk, mengapa sekarang kulitnya menghitam? Lalu kemudian saya jawab, No, i’m beautifull. It Doesn’t matter. Dan ini membuat saya nyaman dan menghargai tubuh saya sendiri,” ujar Tika.

Kartika, Fokus di Isu Perempuan

Dari sejumlah kegiatan yang ia lakukan, maka pada tahun 2013 Tika kemudian bergabung dengan gerakan global anti kekerasan terhadap perempuan, One Billion Rising (OBR). Sejak itu ia memfokuskan aktivismenya pada isu perempuan.Ia kemudian mendirikan Yayasan Bersama Project pada tahun 2015 yang giat melakukan edukasi publik tentang kesetaraan gender melalui musik, seni, dan kultur pop. Ia kemudian  juga tergabung dalam beberapa kolektif perempuan, diantaranya Kolektif Betina dan Mari Jeung Rebut Kembali.

Dengan kegiatannya ini, Tika kemudian juga membantu sejumlah penyanyi, seniman dan artis untuk berkampanye soal isu perempuan. Ia senang jika ia bisa membantu banyak penyanyi, seniman maupun artis lain untuk berkampanye isu ini.

“Misalnya tiba-tiba ada teman yang mau membuat film, mereka tanya soal kampanye dan isu ini, saya dengan senang hati membantunya, juga untuk sejumlah seniman lain . Banyak yang mau menyerukan isu perempuan ini melalui kampanye-kampanye,” ujar Tika.

Kartika Jahja senang jika semakin banyak yang terlibat, maka akan makin baik kampanye untuk stop kekerasan terhadap perempuan. Sejumlah penghargaan  kemudian juga diterimanya sebagai perempuan yang konsisten mengangkat isu-isu gender dalam aktivitasnya. Selamat, Tika..

(Foto: Luviana dan youtube.com)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!