Lebaran Tanpa PRT

Estu Fanani – www.konde.co

Apa jadinya jika
rumah tanpa Pekerja Rumah Tangga (PRT)?. Menjelang lebaran seperti sekarang
ini, selain Tunjangan Hari Raya (THR) yang sering menjadi perhatian, perhatian
lainnya adalah soal Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang mudik. Orang
berbondong-bondong menghubungi yayasan atau penyalur PRT untuk mencari PRT
infal selama lebaran ini.

Pasca lebaran, hal itu juga yang dilakukan majikan, mencari PRT. Ini
mengartikan bahwa kerja-kerja PRT sangat dibutuhkan di dalam sebuah rumah
tangga.

Namun sejauh ini, mengapa banyak pemberitaan dan anggapan yang cenderung
memojokan PRT, tanpa melihat dari sisi PRT. Majikan atau pengguna jasa PRT
seperti tidak pernah mengerti atau tidak mau tahu mengenai kebutuhan PRT.
Ketika PRT tidak mau kembali bekerja di tempat mereka, mereka tidak pernah
mencari tahu apa yang telah mereka berikan atau lakukan sehingga PRT tidak
kerasan kerja di tempat mereka.

Pertanyannya, kenapa karyawan yang ingin pindah kerja karena tawaran yang lebih
baik di sebuah perusahaan tidak ada yang meributkannya? Karena selama ini
karyawan dianggap sebagai pekerja profesional, namun hal ini tidak untuk PRT.

Persoalan
tersebut di atas akan dapat diminimalisir jika hubungan kerja antara majikan
dengan PRT tersebut diakui sebagai suatu hubungan kerja dan mempunyai kontrak
kerja yang jelas yang memuat jenis pekerjaan, beban kerja (job description),
jam kerja, gaji, suasana kerja, dan fasilitas serta tunjangan yang jelas
sebagaimana layaknya pekerjaan lainnya. Sehingga hubungan majikan dan PRT ini
tidak lagi dianggap sebagai perbudakan. Mengapa karyawan yang ingin pindah
kerja karena tawaran yang lebih baik di sebuah perusahaan tidak ada yang
meributkannya? Karena karyawan dianggap sebagai pekerja profesional, namun
tidak dengan PRT.

PRT, Ditempatkan di Kelas Bawah

Seandainya para
majikan menganggap PRT sebagai pekerja dengan kontrak kerja yang jelas, jam
kerja, gaji, suasana kerja, seperti layaknya pekerjaan lainnya, tentu akan
berubah cara pandang bangsa ini terhadap PRT.

Para majikan sering memperlakukan PRT dengan tidak layak, gaji ditahan, THR
tidak diberikan dan tak jarang dianggap sebagai hak milik majikan. Perlakuan
yang tidak semestinya ini sama saja dengan praktek perbudakan di jaman
kolonial.

Perbudakan modern yang tidak sadar telah dilakukan oleh masyarakat modern. Itu
sebabnya mereka enggan mengganti sebutan pembantu rumah tangga dengan pekerja
rumah tangga. Mereka tidak rela memformalkan hubungan kerja tersebut, yang
berarti menghilangkan kekuasaan mereka terhadap PRT-nya.

Mungkin Kita bisa melihatnya dari teori kelas tentang stratifikasi social.
secara umum teori ini memiliki arti perbedaan masyarakat atas lapisan-lapisan
(kelas-kelas secara bertingkat), yang mana kelas tersebut dapat terbentuk
karena tergantung sedikit banyaknya jumlah sesuatu, yang dihargai oleh
masyarakat. Misalnya, Jika masyarakat lebih menghargai materi, maka kelas yang
paling tinggi adalah orang-orang yang dapat mengumpulkan materi sebanyak
mungkin. Sedangkan mereka yang sedikit materi atau tidak memiliki materi
apa-apa berada pada kelas paling bawah. Selanjutnya pengklasifikasian kelas
inilah yang terjadi. Ada kelas tinggi dan kelas rendah.

Teori kelas oleh Karl Marx adalah sejarah dari segala bentuk masyarakat atau
sejarah peradaban umat manusia dari dulu hingga sekarang yang disebut dengan
sejarah petikaian antar golongan /konflik antar kelas. Pandangannya tentang
stratifikasi sosial menyebutkan kelas-kelas memiliki karakteristik dimana
terdapat solidaritas yang spontan sampai tingkat tertentu.

Di dalam kelas harus terdapat benih-benih kesadaran kelas yaitu suatu benih
kepentingan bersama. Kelas yang ada itu sendiri disebut dengan class in itself
, apabila kelas itu sadar akan tempatnya di dalam proses produksi, maka
timbulah kelas bagi dirinya sendiri yang disebut dengan class for itself.
Kelas-kelas ini tergantung satu sama lainnya. Yang satu tidak dapat ada tanpa
yang lain akan tetapi kelas-kelas ini tidaklah sederajat.

Dalam melihat
PRT, maka disamping adanya teori kelas stratifikasi sosial tidaklah cukup,
karena di dalam kelas tersebut ternyata ada perbedaan peran dan tugas yang
menyebabkan adanya tingkatan lagi di dalam kelas tersebut. Pekerjaan rumah
tangga berarti ada perlakuan berbeda atau pembedaan antara pekerjaan yang
dilakukan di rumah tangga dan di luar rumah tangga (publik). Pembedaan ini
dapat dilihat dari nilai, peran dan fungsinya serta siapa yang melakukan atau
yang dibebankan menjalankan peran tersebut. Dalam pekerjaan rumah tangga, peran
tersebut dibebankan kepada perempuan dengan fungsi untuk menjalankan rumah
rumah tangga –sesuatu yang tidak mempunyai fungsi produksi atau menghasilkan
sesuatu, sehingga nilai yang dikenakanpun tidak besar bahkan cenderung tidak
diakui karena dianggap tidak mempengaruhi kekuasaan.

PRT, Aturan Sejak Masa Kolonial Hingga
Kini

Masalah PRT ini
sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Jaman penjajahan Belanda boleh
memiliki budak tapi dengan klasifikasi pekerjaan yang jelas. Pemilikan budak
dianggap suatu prestise dan menunjukan kekayaan atau kedudukan seseorang.
Tetapi setidaknya di jaman penjajahan Belanda ada peraturan dan
undang-undangnya yaitu  Regerings Reglement (RR) tahun 1818
(semacam Undang-undang Dasar Hindia Belanda). Dan dalam undang-undang tersebut
jelas peraturannya, seperti pada pasal 115 memerintahkan supaya diadakan
peraturan-perturan mengenai perlakuan terhadap keluarga budak.

Peraturan pelaksananya dimuat dalam Staatsblad  1825 No.44 ditetapkan bahwa :

1.     
Harus
dijaga agar anggota-anggota keluarga budak bertempat tinggal bersama-sama,
maksudnya seorang budak yang telah berkeluarga tidak boleh dipisahkan dari
istri dan anaknya.

2.     
Para
pemilik diwajibkan bertindak baik terhadap para budak mereka.

3.      Penganiayaan
seorang budak diancam dengan pidana berupa denda antara Rp.10,00 dan Rp.500,00
dan pidana lain yang dijatuhkan oleh pengadilan untuk penganiayaan biasa.

Tetapi sekarang para majikan hanya melihat kepentingannya sendiri dan mengukur
dari kacamatanya sendiri tanpa mau peduli dengan kebutuhan PRT itu sendiri.
Mereka seperti hendak melanggengakan jaman feodal dan bias kelas.

Hingga kini, tak ada aturan untuk PRT di Indonesia. Tidak diakui sebagai
pekerja, hanya ada aturan majikan yang sifatnya individual dan subyektif.
Rancangan Undang-Undang PRT pun masih terganjal di DPR.

Menghargai Peran PRT

Apakah dengan
pulangnya para PRT ketika lebaran, mereka akan sadar bagaimana beratnya
pekerjaan para PRT, bagaimana capainya mengurus rumah tangga sendirian, apalagi
kalau PRT diberikan makanan yang sedikit dan tidur ditempat yang sempit dan
tidak layak.

Sedangkan para majikan bila capek mengerjakan pekerjaan rumah tangga mereka
masih bisa makan makanan yang enak, tidur di ranjang yang empuk dengan AC atau
pergi ke salon dan mall.Dengan fenomena Lebaran yang hampir
setiap tahun kita hadapi, membuat kita semua yang berperan sebagai majikan
maupun PRT harusnya sadar, bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang
dicari, pekerjaan yang mebutuhkan keahlian dan spesifikasi, pekerjaan rumah
tangga bukanlah pekerjaan yang mudah dan simpel, pekerjaan rumah tangga adalah
pekerjaan yang membutuhkan waktu untuk mengerjakannya dan tentunya membutuhkan
istirahat. Sehingga, sekarang saatnya untuk mengakui pekerjaan rumah tangga
adalah suatu pekerjaan, pekerja rumah tangga adalah pekerja, relasi majikan
dengan PRT adalah relasi kerja, dan untuk itu semua membutuhkan pengakuan
secara hukum dan pengaturan yang jelas melalui peraturan perundang-undangan
yang diturunkan dalam kontrak kerja. Kesadaran dan komunikasi terkait hubungan
maupun spesifikasi kerja dan keahlian serta reward menjadi salah satu hal yang
utama dilakukan oleh majikan dan PRT. Semoga RUU yang mengatur tentang pekerja
rumah tangga dan perlindungannya segera bisa diwujudkan dalam waktu dekat ini.

foto :

serbasejarah.wordpress.com

www.emaze.com

koleksi Poedjiati Tan

Referensi :

Prof. Iman Supomo,SH, Pengantar Hukum
Perburuhan (edisi revisi), (Jakarta : Djambatan), 2003

Sorjono Soekanto, “Soiologi Suatu
Pengantar”, (Jakarta: Rajawali Press 1987)

Kamanto Sunarto, “Pengantar Sosiologi”, (
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1993)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!