Poedjiati Tan – www.konde.co
Kemarin, saya membaca status seorang teman. Ia bercerita sedang mendapat curhatan dari seorang ibu dengan anak difabel sensorik yang mulai menunjukan tanda-tanda memasuki masa puber dan mulai suka berdandan. Ibunya sangat kuatir dengan anak gadisnya yang senang memakai baju-baju mini.
Saya juga mendapat cerita dari teman ketika mendampingi anak-anak dengan sindroma down, bahwa ada salah seorang anak yang mulai dewasa dan ingin menikah. Orang tuanya menjadi bingung dan kuatir dengan kondisi ini.
Mendengar cerita-cerita ini, saya jadi teringat film “The Session” yang diperankan oleh John Hawkes yang berperan sebagai Mark O’Brien dan Helen Hunt sebagai Cheryl Cohen-Greene seorang terapis seksual.
Mark adalah seorang penulis yang mengidap polio sejak kecil. Akibat penyakitnya tersebut, John hanya bisa menggerakkan kepalanya, sedangkan seluruh tubuhnya lumpuh. Sebagai seorang penulis, Mark sudah cukup terkenal dengan keahliannya dalam menulis puisi. Hari-harinya dia lewati dalam sebuah iron lung atau sebuah respirator yang menyokong hidupnya.
Ketertarikannya dengan seksualitas timbul karena ia kebetulan diminta untuk membuat sebuah tulisan mengenai seksualitas pada difabel. Rasa penasaran untuk mencoba berhubungan seksual dan melepas keperjakaannya bertentangan dengan nilai-nilai Katolik yang telah dia pegang teguh sebelumnya. Hal itu dikarenakan, untuk melakukan hubungan seks, dia pertama-tama harus ‘belajar’ terlebih dahulu dengan seorang sex surrogates atau seorang terapis seksual.
Di beberapa negara di barat memang ada layanan terapis seksual buat orang penyandang difabel. Namun, masih banyak orang yang beranggapan salah tentang seksualitas orang difabel. Seks pada orang yang bukan difabel saja masih dianggap tabu, apalagi pada orang difabel. Seringkali orang beranggapan bahwa seorang difabel tidak mempunyai dorongan seksual atau aseksual. Tetapi ada juga yang beranggapan bahwa orang difabel memiliki kecenderungan tidak bisa mengontrol hasrat seksualnya.
Banyak orang tua yang memiliki anak difabel tidak siap atau gagap menghadapi situasi dimana anaknya memasuki masa pubertas dan mulai mengalami perkembangan seksualnya. Mereka sering beranggapan anak difabel tidak memiliki dorongan seksual atau emosi ketertarikan dengan lawan jenis.
Kematangan fisik serta perkembangan emosional dan kognitif yang terlambat membuat anak-anak difabel membutuhkan pendidikan seksualitas agar mereka mampu mengekspresikan kebutuhan seks dengan cara-cara yang tepat. Karena sering kali para orang tua menganggap anak difabel tidak memerlukan pendidikan seksualitas.
Hal lain, bukan hanya mengenai pubertas dan dorongan seksual saja, tetapi juga mengenai pernikahan, berumah tangga dan memiliki keturunan. Perempuan difabel paling rentan dengan stigma yang dianggap tidak mampu untuk menjadi ibu atau menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Sehingga para perempuan difabel seperti dianggap tidak layak atau tidak tepat bila ingin menikah.
Belum lagi bagaimana rentannya perempuan difabel terhadap kekerasan seksual. Dulu ketika saya bekerja di sebuah pengembang perumahan, ada seorang perempuan dengan difabel mental yang hamil.
Satpam di perumahan itu menceritakan bahwa perempuan itu diduga dihamili oleh seorang pekerja bangunan. Dan kejadian ini bukan yang pertama kali, perempuan tersebut sudah hamil beberapa kali tetapi tidak pernah ada yang tahu apakah dia sempat melahirkan atau tidak. Sampai pada akhirnya ada yang membawa perempuan tersebut ke rumah sakit jiwa.
Masyarakat sering tidak peduli atau menganggap tidak ada persoalan tentang kebutuhan seksual pada orang difabel. Apalagi masih sangat sedikit perhatian terhadap misalnya difabel mental tadi, padahal ia merupakan korban kekerasan seksual.
Di luar itu, banyak orang menganggap bahwa seksualitas bukan merupakan suatu kebutuhan bagi difabel. Kebutuhan akses pendidikan dan kesehatan, akses sarana dan prasarana ramah difabel saja belum sepenuhnya terpenuhi, apalagi memikirkan mengenai kebutuhan seksualnya.
Pendidikan seksualitas sangat dibutuhkan untuk perempuan difabel agar mereka memahami dorongan seksualnya dan menghindarkan mereka dari pelecehan seksual, perkosaan atau manipulasi dari kedifabilitasannya.
Apalagi ada beberapa anak difabel yang mempunyai kemampuan belajar yang lebih lambat dibandingkan anak-anak lainnya. Sehingga orang tuanya masih selalu berpikiran dia masih anak-anak dan harus terus dilindungi, dan sering hal ini membuat mereka mengabaikan perkembangan reproduksi serta seksualnya.
Seringkali orang tidak menyadari bahwa orang difabel juga manusia yang memiliki perasaan, emosi dan keinginan. Mereka juga mempunyai keinginan untuk dicintai dan mencintai, ingin mengekspresikan perasaannya, ingin merasakan sentuhan kasih sayang dan juga ingin merasakan seksualnya.
Mereka juga memiliki kebutuhan seksual dan hasrat seksual seperti manusia lainnya. Mereka tidak minta dikasihani, hanya perlu orang yang tidak difabel bisa memahami perbedaan situasi yang mereka hadapi. Sehingga, mereka tetap berhak atas kesempatan untuk tetap bisa maju, mandiri dan berkembang sebagaimana orang yang bukan difabel impikan. Mereka hanya perlu kita semua menghargai mereka, memanusiakan mereka seperti manusia lainnya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay.com)